Berita
Cara Belanda Melepaskan Diri Dari Belenggu BBM
Kenaikan harga BBM yang diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 18 November 2014 sontak mendapatkan berbagai reaksi dari masyarakat terutama para mahasiswa yang melakukan demo. Meski bukan yang pertama kali terjadi, namun kebijakan semacam itu selalu saja ditanggapi beragam oleh masyarakat.
Musababnya, kenaikan harga BMM akan selalu berimbas pada kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok dan secara langsung akan juga berimbas pada makin tingginya biaya hidup masyarakat. Sehingga seolah-olah hidup masyarakat Indonesia terbelenggu dan tergantung dari harga BMM yang ditetapkan oleh pemerintah.
Bila harga BBM rendah maka harga kebutuhan pokok masyarakat akan terjangkau, namun bila harga BBM naik, akan terjadi yang sebaliknya. Lalu bagaimana melepaskan diri dari belenggu harga BMM ini? Adakah negara yang kehidupan kesehariannya tidak terpengaruh oleh harga BBM?
Jika kita coba cermati negeri Belanda, harga BBM mereka saat ini adalah nomor tiga paling mahal di dunia. Sedangkan harga BBM Indonesia saat ini menempati posisi tiga puluhan termurah di dunia (Gasoline Prices).
Tapi mengapa seolah Belanda tidak peduli dengan naiknya harga BBM sedangkan di Indonesia seperti persoalan hidup-mati?
Ketika Harga BBM Belanda Naik
Pada tahun 70an, sebenarnya Belanda mengalami hal yang sama dengan Indonesia saat ini, dimana pertumbuhan ekonomi meningkat yang diikuti pula meningkatnya kendaraan bermotor baik roda dua ataupun roda empat. Terutama saat terjadi gejolak di Timur Tengah, berupa penyerangan yang dilakukan Mesir dan Suriah terhadap Israel yang dikenal dengan perang “Yom Kippur.”
Perang itu tidak hanya melibatkan Mesir dan Suriah melawan Israel tapi juga melibatkan Amerika dan Belanda yang pada masa itu membantu Israel. Dengan posisinya saat itu, akhirnya OPEC pun mengembargo Amerika dan Belanda dan menyebabkan harga minyak naik melambung tinggi hingga 70% dari harga minyak yang awalnya hanya $3 dolar perbarel naik menjadi $5.11 dolar perbarel. Akibat selanjutnya dari embargo ini, harga minyak pun melonjak lebih tinggi lagi hingga $12 dolar perbarel hanya dalam jangka waktu satu tahun.
Dampaknya, Belanda mengalami krisis energi sekaligus krisis ekonomi. Krisis energi ini memaksa parlemen Belanda bekerja keras untuk mengatasinya, hingga pada tanggal 4 November 1973, Belanda mengeluarkan kebijakan yang dikenal dengan “Car Free Sunday” yaitu hari tanpa kendaraan bermotor di hari Minggu yang dimulai pada tanggal 4 November 1973 hingga 6 Januari 1974.
Upaya Pemerintah Belanda Terlepas Dari Belenggu Minyak
Setelah pelaksanaan “Car Free Sunday,” muncullah sejumlah wacana dan diskusi mengenai perlunya peraturan trasportasi publik. Kemudian pada tahun 1975 perusahaan sepeda Belanda membuat sebuah tempat kecil, tempat pejalan kaki mendapatkan prioritas, sementara pengendara kendaraan bermotor dibatasi. Itulah yang kemudian dinamai “Woonerfs,” tempat lebih khusus bagi para pesepeda.
Lambat laun sepeda menjadi sangat populer di Belanda dan pengguna sepeda kian hari kian bertambah, terutama antara tahun 1976 hingga 1983. Antusias masyarakat Belanda untuk menggunakan sepeda itu pun pada akhirnya menarik perhatian pembuat kebijakan di negara Belanda.
Bukan hanya pemerintah Belanda yang tertarik akan fenomena melonjaknya peminat transportasi sepeda di tengah warga Belanda, namun juga sejumlah aktivis termasuk organisasi-organisasi di daerah. Pada tahun 1976, saat perencanaan pembangunan jalur jalan raya diumumkan, terdapat penegasan tentang pemberian prioritas kepada para pengguna sepeda. Promosi penggunaan sepeda hanya mungkin dilakukan dengan membangun jalur sepeda di sepanjang jalan raya. Kemudian pada tahun 1978, rencana pembangunan jalur sepeda diperluas. Pelaksanaan pembangunan jalur sepeda dibangun pada awal 1979 dengan perencanaan yang disebut “Traffic Plan 1980-1990.”
Perencanaan yang dibuat dapat disebut sebagai sebuah revolusi yang dituangkan dalam perencanaan jangka pendek: “Perencanaan Trasportasi Publik 1976-1980,” dimana jalur sepeda menjadi kebijakan utama dalam perencanaan ini. Tujuannya adalah memelihara fungsi kota, meningkatkan kualitas hidup dan membuat laju kendaraan di jalan menjadi lambat untuk meningkatkan keselamatan pengguna jalan. Kebijakan tersebut tertuang dalam perencanaan untuk mencapai tujuan berikut:
– Membatasi laju pertumbuhan mobil.
– Meningkatkan kualitas trasportasi publik.
– Menerapkan kebijakan parkir yang ketat.
– Membangun jalur sepeda yang aman dan menarik.
Dengan banyaknya jalur sepeda yang telah dibangun oleh pemerintah Belanda, pada akhirnya membuat warga Belanda memutuskan sepeda sebagai pilihan transportasi mereka. Karena berdasarkan pengalaman warga secara keseluruhan, jarang terjadi keterlambatan ketika menggunakan sepeda di jalur sepeda dan lebih merasa aman dibandingkan dengan mereka harus bercampur dengan kendaraan yang melaju cepat di jalan raya.
Prinsip paling dasar yang dibuat Belanda pada tahun 1973 dalam membuat rencana dan pembangunan transportasi masa depan adalah berpegang pada prinsip dasar: “Semua pengguna jalan memiliki hak yang sama.” Bagi pembangunan jalur sepeda akan membutuhkan lebih banyak simulasi dalam rancangan jalan sepeda di sepanjang jalan utama. Rekomendasi awal yang diajukan pemerintah Belanda adalah “Bicycle Memorandum (1974)” yang berisis kontruksi rute jalur sepeda dan fasilitas parkir.
Tahun demi tahun Belanda terus memperbaiki kebijakan dan pembangunan transportasi sepeda mereka. Hingga pada tahun 1990-an pemerintah Belanda memfokuskan lagi kebijakan aturan sepeda mereka dengan proyek yang dinamai “The Bicycle Master Plan (BMP).” Selain warga Belanda memang memiliki tradisi bersepeda sejak dulu, sejumlah faktor lain juga mendukung bersepeda menjadi tranportasi pilihan yang masuk akal bagi warga di Belanda.
Dian Tri Irawaty, peneliti Rujak Center yang pernah hidup di Belanda selama satu tahun menerangkan kepada ABI Press bahwa pada jaman dulu kondisi Belanda hampir serupa dengan kondisi Indonesia saat ini
Menurut Dian, titik balik di Belanda terjadi ketika masyarakat melihat kualitas hidup makin buruk dan terjebak pada posisi sudah tidak ada lagi ruang untuk kendaraan bermotor, lalu ditambah lagi korban kecelakaan semakin meningkat dan embargo minyak dari Timur Tengah.
“Sehingga mau tidak mau mereka harus memikirkan langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada BBM,” terang Dian.
Belajar dari pengalaman Belanda tersebut, setelah berkali-kali rakyat Indonesia dibuat terlunta-lunta dengan kenaikan harga BBM, mungkinkah pemerintah akan mencari jalan revolusioner, seperti halnya yang dilakukan oleh Belanda untuk melepaskan diri dari belenggu BBM yang selama ini terus menyusahkan rakyat? (Lutfi/Yudhi)