Berita
Ali dan Sanggar Pelangi
Siang yang terik di Asrama Putra STAI Madinatul Ilmi (STAIMI) Depok (21/11), seorang pemuda memarkir kendaraan di depan asrama. “Assalamu‘alaikum,” ucapnya dengan senyum merekah, menyapa teman-temannya.
Muhammad Ali Imron namanya, pemuda bersemangat ini biasa disapa Ali. Bercita-cita menjadi teknisi ternyata kuliah di jurusan Tarbiyah, di usia 21 tahun, bersama 8 orang teman dari STAI Madinatul Ilmi, Ali mendirikan bimbingan belajar bagi anak-anak yang tinggal di pemukiman pemulung Desa Rangkapan Jaya Lama RT 1/RW 3, Pancoran Mas, Depok.
Bermula dari tugas perkuliahan Civic Education, Pak Sulistyo, dosennya, meminta agar mahasiswanya melakukan observasi tentang masyarakat kurang mampu dan dilanjutkan dengan membuat proposal untuk bantuan sosial. Diawali dengan pengobatan gratis dan makan bersama, Ali Imron bersama mahasiswa yang lain berinisiatif mengadakan bimbingan belajar, mengingat banyak anak di pemukiman pemulung yang putus sekolah.
“Awalnya bulan Mei, bimbingan belajar setiap hari Minggu. Tapi yang mengajar terbatas beberapa mahasiswa. Semenjak dipublikasikan oleh BEM STAIMI, relawan yang mengajar bertambah,” tutur alumni SMK Informatika Darus Sholihin Puger, Jember itu.
Sebelumnya, kata Ali hanya ada 9 orang relawan, sekarang sudah 45 orang yang membantu. Padahal di lokasi hanya 30 anak yang dibimbing. Oleh sebab itu, Ali dan relawan yang lain membaginya menjadi 4 kelompok mengajar.
“Anak-anak itu datang sendiri, kadang kalau dipanggil malah lari. Jadi kita biarkan, lama-lama mereka yang bergabung,” jelas Ali tentang minggu-minggu awal sosialisasinya terhadap anak-anak para pemulung itu. Sebetulnya masing-masing orang tua mereka di pemukiman sudah mengizinkan tapi soal kemauan diserahkan ke anaknya masing-masing.
Anak-anak putus sekolah itu kadang ada yang usianya sudah 11 tahun tapi masih kelas 2 SD. Oleh sebab itu, kelas bimbingan belajarnya dibagi berdasarkan umur. Secara rutin, yang belajar ada 30 anak. Yang bercampur antara yang masih sekolah, putus sekolah, dan belum sekolah. Sehingga untuk memudahkan kelas dibagi berdasarkan umur anak.
Meski sudah dimulai sejak Mei, namun format kegiatannya baru lahir pada minggu terakhir September dengan nama ‘Sanggar Pelangi.’ Nama itu untuk mencerminkan potensi anak dengan beragam karakter seperti keindahan warna-warni pelangi. “Sanggar Pelangi adalah ide bersama semua relawan,” jelas Ali. Di Sanggar Pelangi, anak-anak belajar tentang kesehatan, budaya atau kesenian, bahasa, sains, dan eksak. Aktivitas di Sanggar Pelangi dimulai dari pukul 9 pagi hingga pukul 12 siang.
“Kalau bisa senang, mengapa dibikin susah,” tukas Ali penuh semangat ketika ditanya apa motto yang dipegangnya. Bagi Ali, kesibukan ini menyenangkan karena belajar bersama anak-anak dan mengabdi di lingkungan yang memang membutuhkan.
“Suara saya kalau di sanggar sering diprotes kurang keras, padahal kalau ngobrol biasa sering diprotes terlalu keras,” cerita Ali tentang bingung menghadapi permintaan teman-temannya dan anak-anak. Di samping itu, ia berpesan buat calon guru-guru yang sekarang menjadi relawan di Sanggar Pelangi, berbuatlah ibarat air yang membasahi pori-pori tanah, sekecil apapun bergeraklah sesuai dengan kapabilitas masing-masing.
Ali acapkali dikritik karena lebih sering berkegiatan di luar kampus. Namun ia tetap melanjutkan aktivitasnya menghampiri panti-panti asuhan. Di semester VII yang seharusnya fokus menyiapkan skripsi, Ali lebih memilih berkeliling.
Menurutnya, semester akhir adalah masa untuk mulai bersosialisasi melakukan pengabdian ke masyarakat. Bagi mereka yang telah terbiasa dengan kegiatan di dalam kampus, silakan, itu pun baik. Namun bagi Ali, berkegiatan di luar kampus atau di masyarakat, dinamikanya lebih cepat. Sehingga membutuhkan pergerakan oleh yang sepemikiran agar cepat dalam bergerak sesuai dengan kebisaannya.
“Kita butuh yang memiliki kesamaan pemikiran agar bergerak lebih cepat,” jelasnya. “Mari bersama menebar kebahagiaan, dan bersama membangun peradaban,” pesan Ali, tentang menumbuhkan semangat pengabdian dalam masyarakat.
Bagi Tri Wahyuni, guru relawan Sanggar Pelangi, mendidik anak-anak di pemukiman pemulung banyak memberikan pembelajaran dan pengalaman dalam bekal mengajar ke depan. Menurutnya, kegiatan-kegiatan di Sanggar dapat mengurangi kekerasan antar anak mengingat lingkungan yang keras.
“Alhamdulillah, perubahan itu terlihat dari tidak adanya anak-anak yang kalau berbicara kadang sambil membentak lalu memukul,” terang Tri.
Sebagai teman sesama relawan, Tri Wahyuni mengakui bahwa Ali Imron adalah tipe orang yang berkomunikasi cepat. Dialah yang lebih sering berkeliling menghubungi orang tua anak sebelum adanya Sanggar Pelangi.“Semoga saja ide-idenya terus muncul. Tapi harus diimbangi dengan tindakan langsung, segera dikerjakan,” harap Tri. (Sulton/Yudhi)
Continue Reading