Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Syiah, Kambing Hitam, Bangsa Arab dan Bebek-bebeknya

Orang Arab, kata kolumnis Mesir, Wael Abdel Fattah, punya kambing hitam favorit untuk setiap ketidaknyamanan dalam hidup mereka. Jika harga kismis atau harga daging kambing melesat naik seperti punuk unta, atau jika ada penguasa sebentar-sebentar main tangkap dan penjara, mereka bakal menimpakannya ke Naksa — istilah untuk kekalahan memalukan pasukan Arab dalam Perang Enam Hari melawan Israel pada 1967. Bahkan jika ada lelaki Arab yang impoten, mereka pasti menyalahkan Naksa, kata Wael.

Naksa terjadi pada 5 Juni 1967. Israel, yang mencium Mesir akan mengomandani negara-negara Arab menyerang Tel Aviv, menggempur lebih dulu 600 lebih jet tempur yang terparkir di bandara Mesir. Sehari kemudian, Mesir, Jordan, Suriah dan Irak membariskan 100.000 serdadu menuju perbatasan Israel. Perang darat pecah dan berakhir enam hari kemudian dengan kemenangan Israel. Telak. Di garis depan, orang mendapati di saku para pejuang Arab yang gugur foto-foto Ummi Kalsum, penyanyi lagendaris Timur Tengah, favorit Nasser. Sebaliknya, di saku tentara Israel hanya ada Talmut dan Torah, semacam Al-Qur’an dan Hadis bagi kaum Yahudi.

Perang secara keseluruhan menelan 16.000 nyawa pasukan Arab, utamanya Mesir, dan 800 orang tentara Israel. Kemalangan Arab tidak berhenti di situ. Mesir juga kehilangan Sinai dan Jalur Gaza, Jordan kehilangan kendali atas Tepi Barat sementara Daratan Tinggi Golan lepas dari Suriah. Bagi bangsa Palestina, yang mendiami Tepi Barat dan Gaza, Naksa memaksa mereka terasing dari kampung sendiri, untuk kedua kalinya setelah Israel mencaplok tanah mereka pada 1946. (Dalam sebuah resolusi pada 22 November 1967, resolusi 242, PBB menyerukan Israel untuk melepas semua wilayah yang mereka duduki pada 1967 dan mengizinkan kembalinya para pengungsi Palestina. Israel mengabaikan resolusi itu hingga kini.

Pada Oktober 1973, Nasser kembali menggalang kekuatan Arab. Mereka menyerang Tel Aviv bertepatan dengan perayaan Yom Kippur. Yang tak mereka ketahui, Israel telah mengantispasi serangan itu. Mesir akhirnya kalah lagi dan di titik ini, bangsa Arab seperti kelereng pecah.

Di banyak kedai kopi di seantero Teluk, orang mulai menyebut Israel sebagai Al Jaizullazi la yuhzam, pasukan yang tak terkalahkan. Sebagian menduga-duga kemenangan Israel dua kali berturut-turut itu karena bantuan “tangan-tangan gaib”. Ada yang pesimis, ada pula yang menyesal telah memeluk Islam; agama nenek moyang yang mereka anggap inferior. Michael Aflak, salah seorang yang berpandangan seperti ini, belakangan merumuskan ideologi sosialisme lewat Hizb Baath (Partai Baath) dan mendapat sambutan di seluruh penjuru, utamanya Irak.

Belakangan, orang Arab seperti terkena petir di siang bolong ketika Anwar Saddat, penerus Nasser, meneken kesepakatan damai dengan Israel di Camp David, Amerika, pada 1979. Banyak yang merasa dikhianati, ditikam dari belakang. Orang merasa jika Mesir saja sudah mau damai, padahal jelas-jelas dia yang paling dirugikan selama perang melawan Israel, apa guna lagi bangsa Arab lainnya bersikukuh memperjuangkan hak-hak warga Palestina yang ternista oleh Israel. Hingga 40 tahun kemudian, pesimisme ini terus bercokol, seperti luka dalam yang sulit disembuhkan. Bahkan, luka dalam itu menyebar ke juru bicara PLO, Saeb Erakat. Dalam sebuah forum regional, dia meminta Iran agar berhenti menelorkan wacana penghapusan rezim Zionis dari peta Timur Tengah. Yang terbaik, katanya, Iran membantu Palestina meneken perdamaian dengan Israel. Orang Pelestina saja mau damai, kata Erakat.

Sekarang, atau setidaknya pasca meletusnya pemberontakan takfiri di Suriah, orang-orang Arab punya kambing hitam yang jauh lebih istimewa lagi: Syiah dan segala pernak-pernik dan kaitan-kaitannya. Untuk semua problem mereka, ada Syiah yang harus menanggungnya. Pengangguran meningkat, prestasi merosot, kekalahan melanda, kehinaan menimpa, kekecewaan meluas, semuanya tanpa terkecuali adalah karena Syiah, Iran, Hizbullah dan rezim Alawi Suriah.

Maka itu, tak perlulah kita mencari akar-akar masalah yang sebenarnya. Jika kita bertanya pada ulama, umara, aktivis, media dan pemerhati Arab belakangan ini ihwal keterbelakangan wacana, sikap, aksi dan budaya Arab, maka semuanya tinggal tunjuk kambing hitam favorit baru mereka: Syiah!.

Masalahnya tentu kita patut bertanya: Jika ternyata kambing hitam itu kian gemuk, kambing warna apalagi yang akan mereka jadikan sasaran hujan sumpah serapah dan kutukan tersebut—dua “keahlian” yang paling dikuasai bangsa Arab? Marilah kita tunggu kelanjutan sejarah kebodohan ini.

Dan ini anehnya, di antara elemen bangsa Indonesia, ada saja yang dengan bangga dan gigih membebek kebodohan di atas, dan menjadikan Syiah sebagai kambing hitam seluruh persoalan yang menimpa umat Islam Indonesia—seolah-olah Syiah itu barang baru dan seolah-olah persoalan umat ini juga barang yang baru?

Jika kita mau berpikir adil sejenak saja, maka tentu semua drama pengutukan dan kebencian ini takkan mengubah apapun dari realitas yang terjadi: Syiah dan segala perkakasnya akan terus dengan cara mereka dan takkan terganggu sedikit pun, sementara Arab dan bebek-bebeknya di Indonesia juga takkan bisa membuat peluncur satelit atau berpikir membuat pesawat ulang-alik untuk mengutuk Syiah di angkasa. Tidak akan! Percayalah! [It/Mk/Bh]

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *