Berita
Asyura: Melawan Kezaliman dengan Revolusi Cinta
Asyura, bukan sekadar sejarah tentang tragedi pembantaian yang menimpa Imam Husein cucu Nabi Muhammad Saw. Lebih dari itu Asyura hendaknya dipahami sebagai simbol perlawanan terhadap kezaliman dan menjadi sarana untuk memperkuat persatuan umat Islam.
Demikian salah satu hikmah peringatan Asyura yang disampaikan Ustad Muhsin Labib di Balai Latihan Kerja (BLK) Palu, Senin (3/11).
Asyura adalah hari kesyahidan Imam Husein di Karbala pada 10 Muharram tahun 61 Hijriyah atau 680 Masehi.
“Husein (memang) sudah wafat, tapi Huseinisme, yakni perlawanan terhadap kezaliman, kesombongan, tidak akan pernah mati,” kata doktor filsafat di UIN Syarif Hidayatullah ini. Menurutnya, Imam Husein juga menuntun sebuah filosofi tentang kebenaran yang tidak menyenangkan. Ini berbeda dengan paradigma kepentingan yang enak, pragmatis dan nikmat.
Selain itu, Imam Husein mengajarkan sebuah ajaran, yakni revolusi cinta atau revolusi kasih. “Atas nama Islam kita selalu saling memojokkan, bahkan dengan mengatasnamakan Husein. Jangan mudah terpengaruh sehingga menghambat revolusi Husein,” tambahnya.
Mengingat ajarannya sarat makna, karena itu hendaknya Asyura yang diperingati setiap tahun tidak sekadar menjadi ajang reuni bahkan sinetron semata. “Saatnya beradaptasi dengan masyarakat, menjadi bagian dari bangsa ini,” tukas anggota Dewan Syura DPP Ahlulbait Indonesia (ABI) ini.
Ustad Labib juga mengutip salah satu pesan dari Imam Ja’far Shadiq yang meminta umat Islam untuk tidak memperlakukan orang lain dengan hal-hal yang tidak kita senangi. Semangat keberagamaan juga lahir karena kita menginginkan ada kebaikan dari Allah Swt. “Untuk apa ada kesabaran kalau ada balasan. Karena derita, surga jadi bermakna, pahala jadi berarti,” tandasnya.
Peringatan Asyura yang dihadiri sekitar 50-an orang ini ditutup dengan doa bersama. (Indar/Yudhi)