Berita
Pesan Peradaban dari Karbala
Oleh: Syafinuddin Al-Mandari*
Pembunuhan merupakan kisah tertua di dunia. Bahkan ketika jumlah manusia di dunia ini masih “dihitung jari”, pembunuhan telah terjadi; Qabil membunuh saudara kandungnya, Habil. Silih berganti setiap zaman diwarnai dengan pertikaian.
Tanggal 10 Muharram 61 Hijriah, juga telah terjadi pembunuhan. Pembunuhan mana, tercatat sebagai paling kejam dalam sejarah kemanusiaan. Bumi Karbala, nama tempat pembunuhan yang dimaksud, dapat dibaca sebagai kitab abadi yang menceritakan peristiwa tragis itu. Karbala bukan satu-satunya tempat terjadinya peristiwa pembunuhan. Akan tetapi, peristiwa Karbala satu-satunya catatan yang membawa pesan agung tentang manusia dan peradabannya. Suatu pesan tentang pengorbanan suci seorang manusia suci dalam membela ajaran suci.
Bila peristiwa lain merupakan cerita pengorbanan yang bermotif kepentingan individu, keluarga, bangsa, kepentingan ekonomi dan politik, maka yang satu ini adalah pengorbanan bermotif ruhani. Apa keistimewaan pengorbanan ini?
Pertama, pilihan sadar. Bacalah betapa dahsyatnya pengorbanan Socrates, filsuf Yunani. Suatu cerita tentang seorang yang memilih mengakhiri hidupnya dibibir gelas beracun. Socrates memilih, bukan terpaksa. Justru karena itulah, pengorbanannya demikian agung dan dikenang dengan penuh kebanggaan. Bandingkan dengan pengorbanan pasukan Thariq bin Ziyad! Di sana memang ada kisah heroisme tapi di-setting sedemikian rupa sehingga pelaku-pelakunya tak punya pilihan lain. Sejatinya, pengorbanan Socrates dari sudut pilihan sadarnya, lebih patut dibanggakan dibanding pengorbanan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa.
Seperti Socrates yang tahu benar bahwa di depannya ada kematian, dan juga memiliki kesempatan untuk lolos dari kematian, Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. di Karbala pada 10 Muharram 61 Hijriah, juga tahu bahwa dirinya tengah dihadang oleh pengkhianatan yang akan mengakhiri hidupnya. Beliau juga punya kesempatan untuk menghindari peristiwa itu. Pasukan-pasukannya juga memiliki kesempatan yang sama.
Jelang pertarungan tak seimbang antara pihak Al-Husain ra. berjumlah 73 orang dengan ribuan tentara Yazid, Al-Husain memberi kesempatan kepada pengikutnya untuk segera menyelamatkan diri. Berbeda dengan Thariq bin Ziyad, alih-alih memberi kesempatan kepada pasukannya untuk meloloskan diri, ia justru menciptakan kondisi agar pasukannya itu tak surut. Al-Husain dan pengikutnya berkorban dengan pilihan sadarnya.
Kedua, panggilan peradaban dan kemanusiaan. Seorang preman Pulo Gadung juga bisa menempuh kematian karena harga dirinya dihina. Kaum buruh pabrik juga bisa memilih mati karena ketersinggungan kelas. Mereka bisa mengamuk untuk kehormatan kelas proletar yang dirampas oleh kelas borjuis, ataupun penduduk negeri yang berjuang karena semangat kebangsaan.
Bukan desakan dan keterjepitan ekonomi dan politik, juga bukan sentimen kebangsaan, kelas, keluarga atau pribadi, yang menyebabkan Al-Husain menjemput maut. Beliau terpanggil untuk menjadi pelanjut risalah suci kemanusiaan yang mentradisi dalam diri para utusan Tuhan semenjak awal. Beliau terpanggil untuk memproteksi kejahilan berkelanjutan yang telah direncanakan para tirani. Beliau tergugah akan nasib umat manusia dan peradaban masa depan.
Pelajaran yang didiktekan oleh Imam Husain as. dari teriknya Karbala 10 Muharram 61 Hijriah. tersebut adalah; pertama, buat para penguasa, Imam Husain menyalinkan pesan keadilan dan pengayoman kepada rakyat. Kehadiran Imam Husain ke Karbala adalah untuk mempersaksikan diri bahwa pemimpin adalah orang yang paling pertama yang harus menentang ketidakadilan. Peristiwa Karbala juga sekaligus memberi contoh paling sempurna bagaimana perbedaan pemimpin yang jiwanya hidup ditengah rakyatnya, dengan pemimpin yang hidup di istana megah sambil membiarkan hak-hak masyarakat terampas.
Usai peristiwa Karbala, terbukti bahwa kekuasaan berjubah agama kian hari kian menyimpang dari nilai suci dan watak fitrah manusia. Dapat dibayangkan seandainya tak berdiri tegar seorang Husain untuk mengantarkan pesan peradaban pada umat manusia ke akhir zaman. Sebagai pemimpin, seyogyanya kesyahidan Al-Husain ditiru sebagai kesyahidan dalam melindungi rakyat dan masa depannya.
Kedua buat kaum intelektual, kaum yang seyogyanya menjadi suluh sosial. Terhadap mereka, dari langit karbala terpancar pengumuman panjang yang berisi pesan untuk memompakan keberanian yang cerdas kepada masyarakat. Keberanian yang cerdas adalah konsistensi untuk tetap berada pada pilihan kebenaran kendatipun seluruh manusia tidak berada di pihaknya.
Tugas para intelektuallah untuk memberi keyakinan akan prinsip-prinsip yang tak tertipu dengan slogan berjubah agama dan doktrin-doktrin yang “seolah-olah” suci. Karbala berpesan agar setiap intelektual tak menjadi tukang stempel pada kebijakan para tiran. Al-Husain melakukannya dengan menolak tunduk kepada kekuasaan Yazid.
Alim-ulama dapat dimasukkan pada bagian ini. Adalah dosa besar bagi mereka jika berdiam diri menyaksikan ketertidasan diperagakan dengan berbagai macam model. Jangankan mengendarai ayat-ayat Allah sebagai alat justifikasi atas suara penguasa zalim, berdiam diri menyaksikan kezaliman merupakan dosa besar bagi mereka.
Sebagai pemilik ilmu, mereka mestinya memilih kesyahidan dalam kebebasan menyatakan yang benar dan memperjuangkan yang adil. Tiada berarti ilmu yang dipersembahkan ke hadapan penguasa zalim. Itulah pesan Al-Husain yang kecerdasannya merupakan warisan kecerdasan Rasulullah saw, untuk memilih kematian yang indah dalam kemerdekaan mengajarkan kebenaran, tak berkompromi pada kemunafikan penguasa, tidak tergoda oleh bujukan, dan tidak pula dapat ditakut-takuti dengan kematian.
Ketiga, buat orang kaya, Karbala memberi pesan untuk tak menjadi penopang rencana-rencana jahat para tiran. Demikian juga, agar tidak meniru konglomerat yang terpaksa tunduk kepada Yazid karena takut kehilangan harta.
Keempat, buat rakyat, peristiwa Karbala mengandung ajaran untuk bersatu padu dalam kesetiaan tulus terhadap pemimpin yang benar. Para pengikut Al-Husain adalah bukti nyata kesetiaan itu, ketika rakyat yang lainnya berlepas tangan dan mencari selamat.
*Pengurus Sekolah Cinta Bangsa