Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Diplomasi Kemanusiaan atau Diplomasi Kemunduran?

Diplomasi Kemanusiaan atau Diplomasi Kemunduran?

Oleh: Tim Redaksi Media Ahlulbait Indonesia

Ahlulbait Indonesia – Ketika Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kesiapan Indonesia mengevakuasi 1.000 warga Gaza, publik menyambutnya sebagai gestur mulia. Sebuah aksi yang tampak heroik, layaknya panglima penyelamat datang dari timur. Namun, sebagaimana pepatah lama: tidak semua yang berkilau itu emas. Dalam dunia diplomasi, terutama di kawasan yang dipenuhi reruntuhan dan asap mesiu, kilauan “kemanusiaan” bisa saja merupakan pantulan dari logam dingin bernama strategi geopolitik.

Evakuasi penduduk dari zona konflik adalah hal lazim dalam manual bantuan kemanusiaan. Tapi Gaza bukan sekadar zona konflik. Ia adalah simpul perlawanan terakhir, sisa bumi yang masih berdiri meski diterjang rudal, embargo, dan pengkhianatan. Serangan brutal pasca 7 Oktober 2023 telah mengubah Gaza menjadi laboratorium kehancuran, dan rencana “rekonstruksi” yang dibawa para donor regional hanya tampak manis di presentasi PowerPoint, tapi getir dalam kenyataan politiknya: pengosongan wilayah demi proyek kolonialisme versi 2.0 (CNN Indonesia, 2025).

Di sinilah pertanyaannya menjadi lebih filosofis: ketika kita menawarkan evakuasi, apakah kita benar-benar sedang menyelamatkan, atau justru sedang mempermudah jalannya rencana lama, yakni menjadikan Gaza kosong dari rakyatnya? Relokasi “sementara” adalah frasa halus yang biasa digunakan sebelum kata “permanen” resmi diumumkan. Dan sejarah Timur Tengah sudah penuh dengan contoh janji sementara yang tak pernah pulang ke asal.

Padahal, posisi Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia sebelumnya sangat tegas: menolak segala bentuk relokasi paksa terhadap warga Gaza (Kemenlu RI, 2025). Lalu mengapa sekarang narasinya seperti berbelok? Apakah ini bagian dari diplomasi zig-zag? Atau hanya karena Indonesia sedang butuh mitra dagang baru di Teluk dan sedikit pengakuan dari Washington?

Baca juga : ‘Libyanisasi’ Iran: Diplomasi Bom Siluman ala Trump dan Netanyahu

Pertanyaan ini penting, bukan karena kita sinis, tapi karena sejarah mengajarkan bahwa rakyat Palestina sudah terlalu sering ditinggal oleh sekutunya sendiri, terutama ketika diplomasi mulai dihitung dengan nilai ekspor dan proyek infrastruktur. Apakah Jakarta ingin menambah daftar itu?

Tentu, kita tidak menutup mata terhadap kompleksitas politik luar negeri. Tapi ketika yang dipertaruhkan adalah martabat suatu bangsa yang sedang dibantai, maka prinsip, bukan hanya kepentingan, harus menjadi kompas. Indonesia tidak bisa dan tidak boleh menjadi penonton netral dalam upaya penghapusan Gaza dari peta politik. Sebab netralitas dalam situasi ketidakadilan hanya akan berpihak pada penindas.

Sebaliknya, ada banyak bentuk bantuan nyata yang dapat dan seharusnya diambil: pengiriman kapal rumah sakit, penolakan tegas terhadap normalisasi dengan rezim apartheid, hingga pengawalan implementasi keputusan Mahkamah Internasional dan proses hukum di ICC (Detiknews, 2025).

Singkatnya, jika kita benar-benar ingin membantu Palestina, mari kita mulai dari akarnya; yakni penghentian penjajahan! Bukan dari pucuk daun diplomasi yang mudah gugur diterpa tekanan global.

Sebab dalam dunia yang terlalu banyak bicara tapi minim tindakan, diam dalam posisi bermartabat seringkali lebih kuat daripada ribut dalam posisi tunduk.[]

Referensi:

1. CNN Indonesia (2025) Prabowo Minta Dukungan 5 Negara Arab Untuk Evakuasi 1.000 Warga Gaza.
2. Kompas: Kementerian Luar Negeri RI (2025) Segala Upaya Relokasi Warga Gaza Tidak Dapat Diterima.
3. DetikNews (2025) Respons Keras Indonesia soal Rencana Trump Pindahkan Warga Gaza ke RI.

Baca juga : Di Dalam Tenda, Para Jurnalis Menjaga Dunia Tetap Tahu, Lalu Israel Membakar Mereka