Berita
Din Syamsuddin : Ana La Syi’i, La Sunni, Bal Islami
(Transkrip lengkap, sambutan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Din Syamsuddin dalam peluncuran buku Kapita Selekta Mozaik Islam, karya Prof. Dr. Umar Shihab di Hotel Pan Pasific pada Jumat 17 Oktober 2014)
Assalamu’alaikum wr wb
Alhamdulillahi haqqa hamdih, wa syukrulillahi haqqa syukrih, wa la hawla wala quwwata illa billahil aliyil adhim, al Mukaromun yang saya muliakan para ulama, zu’ama, sesepuh dan pinisepuh serta semua tamu undangan.
Al Mukarromun ashabul fadhilah al-sufara’ min al-duwal al Islamiyah al syafiqah, Yang Mulia para Duta Besar negara-negara sahabat, hadirin dan hadirat khususnya “sang pengantin,” penulis buku, Prof. Dr. Umar Shihab yang berbahagia.
Atas nama pribadi dan atas nama dewan pimpinan Majelis Ulama Indonesia saya ingin mengungkapkan rasa syukur dan rasa bahagia atas peluncuran buku Kapita Selekta dan Mozaik Islam karya prof Dr. Umar Shihab, seorang dari Ketua Majelis Ulama Indonesia yang kebetulan termasuk yang tertua yang telah mencapai usai 75 tahun, terpaut hampir 20 tahun dari saya, seorang yang kalau boleh saya katakan sebagai mozaik dalam dirinya, karena selain sebagai seorang ulama dan juga Muslim, guru besar, tapi juga seorang pendidik dan banyak juga pengalaman dalam bidang politik.
Judul buku ini, Kapita Selekta yang tadi dibicarakan terpengaruh oleh Pak Natsir yang juga menuliskan Kapita Selekta tapi juga karena, meskipun saya belum membaca secara tuntas, buku ini mengangkat isu-isu, persoalan-persoalan dalam rentangan disiplin ilmu keislaman yang luas dari akidah, fikih, hukum, kalau tidak salah juga tasawuf dan juga diskusi kontemporer termasuk isu-isu politik, maka dia menjadi bunga rampai yang sangat kaya dan ketika dinyatakan sebagai mozaik Islam, ini mengandung pesan bahwa Islam bisa dikatakan sebagai sebuah entitas keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang satu sama lain terjalin dalam tali temali yang erat sekali dan menjadikan Islam sebagai Die Wende dan sekaligus sebagai mozaik yang indah.
Ini menegaskan bahwa ada persoalan kemajemukan, ta’addudat, termasuk di dalamnya persoalan ikhtilaf dan juga keragaman yang sesungguhnya merupakan sunnatullah karena begitu banyak ayat suci menegaskan bahwa Allah menciptakan semua yang ada di bumi, langit, alam semesta ini dalam keragaman, ikhtilafu alwanikum wa alsinatikum, syu’uban wa qabaila, dan seterusnya yang di akhir ayat itu, Allah mengatakan semuanya adalah tanda-tanda lil ‘alimin bagi orang-orang yang berilmu yang mengetahui, yang menggunakan akal pikiran.
Prof. Dr. Umar Shihab ingin membawa pesan ini, pesan kemajemukan keragaman yang perlu kita sikapi dengan penuh kasih sayang maka ikhtilafu ummati rahmah dan banyak disebut tadi, perbedaan di antara umatku itu adalah rahmat, ini dalam arti secara esensial perbedaan itu sebagai rahmat tetapi juga ada pesan, ada imperatif dalam ungkapan itu bahwa perbedaan-perbedaan di antara kita perlu kita sikapi dengan rahmah dan penuh kasih sayang di antara kita.
Inilah yang menjadi pesan Islam yang kemajemukan umat dalam pemikiran, dalam mazhab, dalam orientasi politik dan di Indonesia juga dalam instrumen perjuangan di organisasi-organisasi kemasyarakatan, sesungguhnya adalah sunnatullah itu sendiri. Maka oleh karena itu pesan Islam yang ingin disampaikan oleh Prof. Dr. Umar Shihab adalah pesan Islam agar dialog di antara kita perlu kita tingkatkan dan agar kita tidak mudah terjebak kepada yang beliau sampaikan tadi itu, takfir dan tadhlil, yaitu pengkafiran dan penyesatan yang memang akhir-akhir ini menjadi salah satu fenomena di dunia Islam, di kalangan dunia Islam, takfir yaitu ada gerakan takfiri dan gerakan tadhlil, yang walaupun di dalam Islam dibandingkan dengan agama-agama lain relatif memiliki kriteria keyakinan kepercayaan keagamaan yang sangat ketat sekali, best marking of Islamic faith, yang mungkin bagi agama-agama lain yang terlalu longgar dalam hal keyakinan sehingga memungkinkan dan memang secara empiris terdapat sekte-sekte yang berbeda satu sama lain, tapi Islam sangat ketat sekali menyangkut al-aqidah al-Islamiyah, namun sangat tergantung pada kita apakah kita membawanya pada kriteria maksimal ataukah menurunkannya pada kriteria minimal. Kalau saya pribadi ingin kriteria minimal lah yang kita pakai, yaitu syahadatain, maka semua yang bertumpu pada syahadatain, keyakinan terhadap keesaan Allah dan kerasulan Muhammad sebagai rasul terakhir, semuanya berada di dalam wilayah keislaman.
Maka tidak salah dalam hadis man qala la ilaha ilallah dakhalal jannah, didahului la ilaha ilallah saja ini, kalau kita berangkat dari kriteria yang minimal ini, maka perbedaan-perbedaan yang ada itu sesungguhnya berada pada wilayah cabang-cabang, furu’iyyah bukan pada ushul, dasar agama, dan ketika ada percabangan-percabangan, kemajemukan dan keragaman dalam banyak hal lain yang menurut sejarah yang bisa kita baca itu semuanya adalah perkembangan pasca Rasulullah Saw, Sunni-Syiah, mazhab-mazhab, adalah dinamika perkembangan pasca Rasulullan Saw.
Sehingga itu adalah produk sejarah, produk budaya yang memang mengacu kepada dasar-dasar agama dan bahkan tidak sedikit dalam perkembangan perbedaan itu sendiri ada faktor politik yang kemudian ditarik ke teologi seolah-olah perbedaan teologis, padahal pada pangkalnya adalah perbedaan politik, kalau ini kita sikapi secara jernih, tenang dan sedikit santai maka kita mungkin bisa berlapang dada, dan inilah pesan Rasulullah Saw yang sangat senang saya kutip, yaitu hadis yang berbunyi ahabbuddin lillah atau ilallah al-hanafiyyatu as-samhah, bahwa agama yang paling dicintai di sisi Allah, pada Allah adalah keberagaman yang bertumpu pada kehanifan, al-hanafiyyah dan memang agama-agama samawi termasuk Islam, sangat mengacu kepada pengikut Ibrahimi, Ibrahim as yang menyatakan dirinya dan dinyatakan sebagai hanifan musliman.
Sebagai muslim yang hanif yang menampilkan al-hanafiyyah dan ini pulalah sedikit kita lakukan konteks analisis terhadap doa-doa dalam shalat betapa shalat yang merupakan tiang agama itu diawali dengan komitmen Ibrahimi, hanifan musliman menukilkan pernyataan Ibrahim as tapi di ujung shalat dalam tahiyat kita ulang kembali kama barakta ‘ala Ibrahim, Ibrahim kita munculkan kembali seolah-olah komitmen Ibrahimi ini meliputi shalat yang merupakan tiang agama itu, dan itulah kehanifan, al-hanafiyyah, kalau pesan Rasul tadi itu al-hanafiyyatu as-samhah, yang berlapang dada, yang bertoleransi, yang terbuka untuk tidak mengklaim absolute truth dalam pemikiran kita yang absolute, al-haq itu dari Allah, tapi apa yang kita pahami, apa yang kita pikirkan adalah wilayah dengan kenisbian manusia.
Nah, dengan demikian maka umat Islam akan tergerak untuk melakukan komunikasi, dialog, silaturahim, silatulfikri, hubungan kasih sayang dalam hal pemikiran dan ini akan menjadi modal bagi persatuan umat Islam.
Terakhir khususnya di Indonesia, saya kira agenda mendesak untuk kita dorong bersama-sama adanya as-samhah sesama umat Islam untuk kita hadapi fenomena takfiri, pengkafiran, tadhlil, penyesatan, yang kurang berdasarkan al-hanafiyyatu as-samhah tadi itu, yang hanya akan menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Terus terang, saya ingin secara terus terang, terbuka, persoalan besar dunia Islam sekarang, persoalan Sunni-Syiah, bagi yang belajar Islam semua perkembangan pasca Rasulullah Saw hanyalah perbedaan tafsir terhadap hadis yang mungkin juga terhadap Al-Quran, muncullah perbedaan ini maka saya lebih senang mengutip ulama-ulama, mufti-mufti sebagian di Timur Tengah sana, yang mengatakan walaupun banyak yang tidak setuju bahwa ana la Syi’i la Sunni bal Islami, tidak Sunni-tidak Syiah tapi Islam.
Bahkan ada ulama mufti dari Suriah kalau tidak salah, dengan kata-kata ana syi’iyyun fi mahabbati aali Rasulillah, wa ana sunniyyun fi mahabbati ashhabi Rasulillah, mungkin di situ titik temu. Nah, upaya kecenderungan kita untuk bicara titik temu inilah, adalah sebuah perjuangan besar, sebuah jihad yang perlu kita lakukan, maka Majelis Ulama Indonesia diharapkan dapat menjadi tenda besar bagi seluruh kekuatan umat Islam termasuk yang mungkin, yang kita anggap jauh dari Islam tapi mereka sendiri mengaku Islam dan oleh karena itu perlu ada sebuah tenda besar yang semua pihak merasa nyaman untuk bernaung di bawah tenda itu. Ini tidak mudah, ini tantangan kita bersama tapi dengan bangkitnya kekuatan umat Islam tengahan yang moderat, yang toleran, yang penuh dengan al-hanafiyyatu as-samhah ini, ada keyakinan itu akan menjadi kenyataan dan kita akan terhindarkan dari silang sengketa, perselisihan, bahkan permusuhan, apalagi jika terjadi al-fitnatul kubra pada era modern ini, na’udzu billahi min dzalik.
Oleh karena itulah buku Prof. Dr. Umar Shihab ini, walaupun saya sudah baca sepintas saja antara lain memesankan itu, maka oleh karena itulah mari kita ciptakan mozaik Islam yang indah, keragaman sebagai sebuah keindahan.
Selamat terhadap Prof. Dr. Umar Shihab atas bukunya yang kesekian kalinya ini, dan selamat atas usia 75 tahun, semoga dapat terus berkiprah, bagi umat, bagi bangsa dan negara, dan tetap aktif menjadi salah satu tulang punggung Majelis Ulama Indonesia untuk menjadi tenda besar bagi Umat Islam dan bagi Indonesia.
Wa billahit taufiq wal hidayah wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Kapita Selekta Mozaik Islam: Sikapi Kemajemukan dengan Kasih Sayang