Berita
Mengenang Kembali Spirit Multatuli Dalam Max Havelaar
Max Havelaar, novel fenomenal karya Multatuli (nama pena) yang telah berusia sekitar 150 tahun ini mencoba diangkat kembali oleh sekelompok pegiat sastra dan sejarah. Sabtu (18/10) sore, Media Indonesia bekerjasama dengan Mizan Publishing House dan Freedom Institute, mengadakan acara obrolan pembaca, membahas karya klasik yang telah diterjemahkan ke dalam 46 bahasa itu. Bagaimana tidak fenomenal, selain diterjemahkan dalam berbagai bahasa, “Karya itu telah dicetak hingga 400-600 kali cetak,” ungkap Ubaidillah Muchtar, narasumber dalam acara yang diselenggarakan di Freedom Institute Jakarta itu.
Dalam upayanya menghidupkan kembali karya Multatuli itu, Ubaidillah membuat sebuah taman belajar yang ia namai “Jaman Buku Multatuli” di wilayah Lebak, Banten, wilayah yang menjadi tempat tinggal Multatuli sekitar tahun 1860-an silam.
Di dalam bukunya, Multatuli menggambar sosok Indonesia, khususnya daerah Lebak, yang di dalamnya termuat potret sosial yang difiksikan, dan menginspirasi banyak orang. Seperti yang telah diramalkan Multatuli dalam bukunya, daerah Lebak saat ini tak jauh beda dengan seratus tahun lalu.
Ubaidillah sengaja memilh Lebak sebagai lokasi belajar memahami buku Multatuli itu, karena dari situlah Multatui menulis karyanya.
“Banyak orang terdorong dan terinspirasi dengan membaca novel ini,” ungkap Ubaidillah. Walau sebenarnya, Multatuli bukanlah penduduk asli pribumi.
Lahir di Amsterdam Belanda, Multatuli memiliki nama asli Eduard Douwes Dekker. Walau bukan warga pribumi, ia memiliki karya besar berjudul Max Havelaar, sebuah novel yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda (saat ini menjadi Indonesia). Hal itu menurut Ubaidillah sangat penting karena dapat mendorong gerakan nasionalisme.
“Problemnya bukan masalah orang asing, atau tidak asing, yang terpenting adalah adil dan tidak adil,” ungkap Ubaidillah.
Menurutnya, walau Multatuli adalah orang Belanda, namun ia bisa adil dalam menilai dan memperlakukan warga pribumi. Sebaliknya, banyak warga pribumi yang justru berlaku tidak adil dan bekerjasama dengan penjajah.
Multatuli sendiri, dari bahasa Latin yang memiliki arti “banyak yang aku sudah derita.” Hal itu menggambarkan penderitaannya saat ia berada di Lebak, bersama pribumi asli yang tengah menderita akibat penindasan bangsa Belanda saat itu. (Malik/Yudhi)