Kegiatan ABI
Mahasiswa UIII Soroti Konsistensi Media ABI Bela Palestina
Jakarta, 7 Januari – Siang itu, ruang resepsionis kantor Media Ahlulbait Indonesia (ABI) terasa hangat. Sinar matahari menembus pintu kaca, menambah suasana akrab dalam pertemuan yang sejak awal berlangsung sudah cair. “Nama saya Aufa Varrassyah Nawwaf,” ujar seorang tamu dengan senyum ramah, setelah menjawab salam dari Ketua Departemen Humas, Media, dan Penerangan (HMP) ABI, Muhlisin Turkan.
Gus Nawwaf—begitu ia disapa oleh Muhlisin—adalah mahasiswa Magister Studi Islam di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Latar belakangnya sebagai santri di sebuah pesantren di Jawa Tengah memberikan perspektif unik dan mendalam, terutama dalam isu-isu kemanusiaan.
Dalam kunjungan ini, Gus Nawwaf ingin memahami filosofi di balik pemberitaan Media ABI yang konsisten menyuarakan perjuangan rakyat Palestina. Ketika diminta menjelaskan maksud kedatangannya, ia menjawab dengan antusias. “Saya ingin memahami alasan utama Media ABI begitu gencar memberitakan isu Palestina-Israel. Apakah ini murni soal solidaritas, eksistensi, atau ada nilai yang lebih mendalam?”
Pertanyaan itu dijawab dengan tenang oleh Ketua Departemen HMP ABI, Muhlisin Turkan. Baginya, perjuangan Media ABI tidak hanya soal solidaritas, tetapi juga berakar pada nilai-nilai universal kemanusiaan.
Lebih dari Solidaritas
“Pandangan kami sederhana,” ujar Muhlisin, “Imam Ali pernah berkata, ‘Manusia terbagi dalam dua golongan: saudaramu dalam iman atau saudaramu dalam kemanusiaan’. Prinsip inilah yang menjadi landasan kami. Ketika melihat penderitaan di Palestina, kita berbicara bukan hanya soal saudara seiman, melainkan juga soal sesama makhluk Tuhan yang ditindas. Media ABI merasa bertanggung jawab untuk menyuarakan kebenaran ini.”
Muhlisin menjelaskan lebih jauh bahwa di Palestina, korban kebrutalan rezim penjajah Israel tidak memandang agama atau keyakinan. “Semua adalah korban. Ketika kita melihat penindasan itu dan memilih diam, sebenarnya kita telah mengkhianati kemanusiaan,” tambahnya.
Gus Nawwaf mendengarkan dengan saksama. Jawaban Ketua Departemen HMP ABI membuatnya teringat pada nilai-nilai yang sering diajarkan di pesantren. Kemudian, ia melontarkan pertanyaan lanjutan. “Jadi, apakah ini hanya soal solidaritas keagamaan?”
“Tidak,” tegas Muhlisin. “Ini lebih dari sekadar solidaritas. Membela Palestina adalah tuntutan akal sehat dan nurani manusia. Ini juga bukan tentang menunjukkan eksistensi Media ABI, tetapi tentang keberpihakan kepada yang tertindas, siapa pun mereka, apa pun latar belakangnya. Logika kita, hati nurani kita, selaras dengan apa yang diperintahkan agama. Dan itu berlaku universal.”
Muhlisin juga menambahkan bahwa pemberitaan Media ABI tidak hanya fokus pada Palestina saja. “Kami juga menyoroti ketidakadilan di mana pun, termasuk di belahan dunia lain. Membela kaum mustadafin adalah komitmen kami, kapan pun dan di mana pun,” jelasnya.
Percakapan Santai, Penuh Makna
Diskusi berlangsung dalam suasana santai namun berbobot. Gus Nawwaf, dengan kepribadian tenang, berbagi cerita tentang perjalanan pendidikannya. “Saya pernah nyantri di pesantren di Jawa Tengah, sekarang melanjutkan studi di UIII,” ujarnya singkat namun penuh kebanggaan.
Jawabannya membuat suasana semakin akrab. Pihak ABI mengapresiasi perjalanan akademisnya, dan diskusi pun melebar ke isu-isu global tentang pembelaan terhadap kaum tertindas. Ketika ditanya motivasi di balik pertanyaan-pertanyaannya, Gus Nawwaf menjelaskan, “Saya ingin memahami lebih dalam filosofi pemberitaan pembelaan Media ABI ini. Selain itu, wawancara ini akan menjadi bahan untuk artikel saya yang akan diterbitkan di jurnal.”
Penutup yang Berkesan
Waktu terasa berlalu cepat. Sebelum berpisah, pihak ABI menyampaikan harapan agar hasil wawancara ini dapat memberikan manfaat. “Jika artikel ini nanti terbit, kami sangat ingin tahu report-nya. Ini akan berarti besar bagi kami,” ujar Ketua Departemen HMP ABI.
Dengan senyum lebar, Gus Nawwaf merespons, “Insya Allah. Saya akan memberi kabar, dan berbagi. Saya senang bisa belajar banyak hari ini.”
Pertemuan itu berakhir dengan saling hormat dan apresiasi. Di balik diskusi santai tersebut, terjalin hubungan emosional yang kuat sekaligus pengingat bahwa perjuangan untuk keadilan tidak mengenal batas. Gus Nawwaf melangkah keluar dari kantor ABI dengan rasa puas, membawa pulang wawasan baru yang akan ia tuangkan dalam tulisan. Sementara pihak ABI berharap dapat membaca artikel tersebut ketika telah dipublikasikan ke dalam Jurnal. []