Berita
Beda Jilbab Sekolah Negeri, dulu dan kini
Jilbab merupakan busana khas perempuan Muslimah, berupa kain penutup kepala hingga dada. Jilbab juga biasa dikenal di kalangan masyarakat tradisional Indonesia dengan istilah kerudung. Pada masa sekarang para siswi sekolah bebas mengenakan jilbab untuk seragam sekolah sebagai bentuk ketaatan mereka pada ajaran agama yang dianutnya.
Namun tidak demikian pada tahun 80an. Jilbab pada masa itu dianggap sebagai sesuatu yang kampungan dan “ndeso,” menempatkannya sebagai busana yang dianggap kuno bila dibandingkan dengan busana yang biasa dipakai para perempuan kota. Sehingga dibutuhkan keberanian dan keseriusan serta kebulatan tekad untuk mengenakan jilbab di sekolah pada masa itu.
Jilbab di Sekolah Tempo Dulu
Begitu susahnya menggunakan jilbab bagi siswa sekolah pada tahun 80an disebabkan adanya Surat Keputusan (SK) 052/C/Kep/D/82, yang mengatur bentuk seragam sekolah di sekolah-sekolah negeri yang dikeluarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Departemen P dan K) Republik Indonesia pada tanggal 17 Maret 1982.
SK yang bersifat nasional dan diatur langsung oleh Departemen P dan K tidak memberi ruang para siswa untuk menggunakan seragam dalam bentuk yang lain. Akibatnya, kebijakan ini berbenturan dengan keinginan sejumlah siswi Muslimah yang berkeinginan untuk menggunakan jilbab. Bagi para siswi yang bersikeras menggunakan jilbab di lingkungan sekolah pada masa itu akan mendapatkan tekanan, pelarangan dan bahkan juga akan dipersilakan pindah ke sekolah lain.
Salah satu siswi yang pada masa itu mengalami masa-masa sulit untuk mengenakan jilbab di sekolah adalah Siti Rahmin Rauf, pelajar sebuah SMA di Mamuju, Sulawesi Barat yang biasa disapa Mimin, dan saat ini berdinas sebagai dokter di Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat.
Berawal dari cara mengajar seorang guru agama bernama Azis Makmur yang bila menerangkan pelajaran harus dari arah belakang para muridnya, membuat Mimin bertanya-tanya penyebabnya. Ternyata Asif menjelaskan bahwa dia memilih menerangkan pelajaran dari belakang karena takut matanya cepat buta akibat melihat aurat wanita yang terbuka.
Hal ini sempat membuat Mimin tersinggung, sebab pada masa itu Mimin duduk di deretan bangku paling depan dan biasa mengenakan rok mini sebagai seragam sekolah. Artinya, seolah Azis ingin mengatakan bahwa Mimin lah yang terus membuka auratnya dan membuat guru agama itu harus menerangkan pelajaran dari arah belakang para anak didiknya.
“Hari itu saya malu, saya merenung, saya ngomong sama orang tua, saya tidak mau pergi ke sekolah kalau tidak pakai jilbab,” cerita Mimin.
Maka hari itu juga, orang tua Mimin pun segera menyiapkan pakaian tertutup, seperti rok panjang sebatas mata kaki, baju putih lengan panjang dan tentu saja Jilbab sebagai penutup kepala sebagai seragam. Sehingga pada esok harinya Mimin pergi ke sekolah sudah tidak lagi memakai rok mini tapi sudah berbusana Muslimah lengkap dan serba tertutup.
Melihat perubahan drastis yang terjadi pada diri Mimin, membuat Kepala Sekolahnya saat itu, Abdul Rahim Mustafa, BA menjadi khawatir jangan-jangan Mimin ikut aliran-aliran tertentu yang ekstrem dan dapat dianggap subversif. Padahal apa yang dilakukan oleh Mimin sama sekali tak ada hubungannya dengan apa yang dikhawatirkan Kepala Sekolahnya itu. Namun tetap saja hal tersebut pada akhirnya membawa Mimin ke ruang BP.
“Eh kenapa kau itu begitu? Tiba-tiba kau pakai jilbab bukan kau ikut aliran-aliran yang mau melawan pemerintah? Hati-hati kau Nak,” cerita Mimin menirukan apa yang Kepala Sekolah katakan di ruang BP dengan logat Sulawesinya yang kental.
“Bapakmu itu saya kenal baik, dia itu pegawai negeri, kau itu juga mau jadi apa nanti kalau pakai jilbab begini?” lanjut Mimin menceritakan apa yang disampaikan sang Kepala Sekolah. “Tidak ada terima kau pekerjaan, perusahaan tidak ada mau terima kau, dimana-mana sekarang itu tidak ada terima orang karena foto ijazah itu harus kelihatan telinga,”tiru Mimin, tentang nasihat Kepala Sekolah yang setengah mengancamnya.
Mustafa pun mengambilkan gambar bentuk seragam sekolah yang seharusnya dipakai para siswi sesuai ketentuan yang ada di dalam buku pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
“Ini nih Nak yang betul, seperti mau kau begini, nah lihat itu roknya di bawah lutut, lengannya lengan pendek pakai topi, tidak pakai jilbab,” terang Mimin menirukan apa yang disampaikan Pak Mustafa kepadanya.
Namun karena Mimin sudah bertekad bulat untuk berjilbab, maka teguran, ancaman dan tekanan dari pihak Kepala Sekolah pun tidak Mimin hiraukan. Apalagi orangtuanya tetap mendukung penuh keputusan Mimin untuk berjilbab meski pada akhirnya harus berhadapan dengan pihak sekolah.
Kendati demikian, dengan berjilbab, toh Mimin tetap bisa berprestasi dan berhasil mengharumkan nama sekolahnya saat ia keluar sebagai juara lomba Matematika-IPA (MIPA) di Makasar, sekaligus juara pertama lomba Pidato Prestasi Kencana tingkat Nasional pada tahun 1990 di Magelang, Jawa Tengah.
Apa yang dialami oleh Mimin diamini oleh Kadariah, sahabat masa SMA-nya di Mamuju. Kadariah yang merupakan murid pindahan dari Makasar pada saat itu merupakan murid satu-satunya di SMA Mamuju yang pertama kali berjilbab saat ke sekolah. Sebelum itu tak satu murid pun yang berjilbab di sekolah itu.
Kadariah menceritakan bahwa beberapa kali Mimin dibujuk untuk melepas jilbabnya oleh Kepala Sekolah tapi tidak mau.
“Kamu tak usah pakai jilbab, biarlah temanmu yang dari Makasar ini pakai jilbab, kamu tak usah ikut-ikutan,” cerita Kadariah menirukan perintah Kepala Sekolah kepada Mimin.
Menjadi berbeda sendiri di antara yang lain tentu bukan tanpa tantangan, sebab tidak sedikit dari teman-teman Mimin dan Kadariah yang menjahili mereka. Ada yang menarik-narik jilbabnya dari belakang, ada yang berusaha membuka jilbabnya bahkan ada yang mengatakan jilbab sebagai taplak meja. Pendeknya, lebih banyak dari teman-temannya yang tidak percaya bahwa Mimin telah berubah.
“Udahlah lepas saja, main-main gek, cerita Mimin menirukan teman-temannya yang masih belum percaya atas perubahan drastis yang terjadi pada Mimin.
Akhirnya pada tahun 1991, SK 052/C/Kep/D/1982 yang direvisi dengan SK 100/C/Kep/D/1991 dan ditanda tangani pada tanggal 16 Februari 1991, disambut gembira oleh kalangan yang ingin memakai jilbab di sekolah. Sehingga tidak sedikit siswi yang langsung memberanikan diri berjilbab di sekolah tidak lama setelah SK tersebut turun.
Beda Dulu Beda Sekarang.
Apa yang terjadi pada kurun waktu tahun 80an merupakan masa yang sangat sulit bagi para wanita untuk menunjukkan eksistensi mereka sebagai seorang perempuan Mulsimah dengan berjilbab saat ke sekolah. Namun pada saat ini ada di beberapa tempat yang berlaku sebaliknya, setiap perempuan diwajibkan berjilbab walaupun non Muslim, dan ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi pada tahun 80an tersebut.
Misalnya saja di Sumatera Barat. Menurut hasil penelitian yang dikeluarkan oleh TIM Pusaka Padang pada tahun 2006 tentang “Implementasi Perda Bias Syari’ah” serta penelitian Jurnal Perempuan yang berjudul “Dampak Peraturan Busana Muslim (Jilbab) terhadap Guru dan Siswi Non Muslim di Sekolah-sekolah Negeri Umum” pada tahun 2008 yang menceritakan betapa sejumlah siswi non Muslim terpaksa harus mengenakan jilbab karena peraturan yang diterapkan oleh pihak sekolah.
Menurut Sudarto, salah satu peneliti dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) saat ditemui ABI Press di kantornya, Kampung Ambon, Jakarta Timur, menegaskan bahwa memang peraturan atau perda-perda yang dibuat oleh pemerintah daerah tidak secara jelas menyebutkan bahwa siswi non Muslim harus mengenakan jilbab juga.
Namun pada kenyataannya di lapangan hampir di seluruh sekolah di tingkat SMP ataupun SMA baik siswi Muslim atau non Muslim itu semua diwajibkan berilbab.
Ada yang sempat melakukan penolakan waktu itu. Dia seorang siswi dari SMA 3 Padang yang dipulangkan dari sekolah karena pada saat mengikuti ujian tidak mengenakan jilbab.
Padahal menurut Sudarto, murid tersebut telah menjelaskan bahwa dirinya adalah non Muslim, namun kemudian dikatakan kepadanya ini bukan masalah Muslim atau non Muslim tapi karena peraturan sekolah yang mewajibkan pakai jilbab.
“Waktu itu sempat diwawancarai juga oleh sejumlah media bahkan sempat juga beritanya masuk The Jakarta Post,” terang Sudarto.
Hasil dari pengamatan Sudarto bahwa memang tidak ada kata jelas dalam peraturan yang mengatakan ada kewajban bagi non Muslim untuk memakai jilbab. Tapi kata-kata itu dipelintir menjadi kebijakan di sekolah masing-masing dengan alasan tidak ingin ada siswi yang tampil berbeda.
“Suster saja pakai jilbab, ini yang selalu menjadi analogi temen-temen itu,”terang Sudarto.
Sudarto juga telah mewawancarai 3 siswi non Muslim yang terpaksa berjilbab, dan mengatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain sebab mereka bertiga akan sangat dikucilkan secara psikologis jika mereka tampil beda tanpa jilbab. Akhirnya mereka pun memutuskan untuk tetap berjilbab.
“Lalu dia pakai jilbab dan juga pakai kalung salib,”terang Sudarto, “Sebab kalau ini dianggap identitas ya saya juga harus punya identitas sebagai Kristiani atau non Muslim,”jelas Sudarto menirukan alasan salah satu dari siswi yang diwawancarainya.
Polemik tentang jilbab di sekolah negeri ternyata belum berakhir walaupun SK 100 untuk merevisi SK 052 telah diberlakukan. Kita lihat saja kabar yang terjadi di Bali dan juga di Irian Jaya beberapa bulan yang lalu tentang pelarangan jilbab di sekolah. Ada pula yang justru berlaku kebalikannya dengan apa yang terjadi di Bali dan Papua, yaitu di Sumatera Barat yang sempat ramai diliput media cetak maupun televisi.
Padahal, sebagai sekolah negeri yang memang bisa menerima murid dari kalangan umum, sudah selayaknya sekolah terlepas dari peraturan pelarangan ataupun perintah wajib berjilbab. Sehingga akan lebih mencerminkan keindonesiaan dengan adanya beragam corak yang hadir di dalam sekolah tersebut dengan memberikan kebebasan bagi para siswa-siswinya untuk mengekspresikan keyakinan beragama masing-masing.
Sekolah umum negeri selayaknya menjadi miniatur kecil dari negeri ini, yang memiliki banyak corak dan ragamnya, sehingga setiap warga negara memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga kebhinekaan yang ada di dalamnya. (Lutfi/Yudhi)