Berita
Penghayat: Jalin Komunikasi dengan Tuhan Melalui Alam
“Kita harus menyadari, agama tamu sangat dihormati di negeri ini, dan itu juga akibat dari agama-agama lokal yang mempersilahkan saudara-saudaranya hadir dengan ajaran-ajaran baru. Tapi, kita jangan melupakan agama-agama lokal yang ada di Nusantara, apalagi meninggalkan dan berusaha menghapusnya dari peradaban.” (Aktivis Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika/ANBTI, Nia Sjarifudin)
Data Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2013, yang juga dinukil oleh laman Wikipedia, mengungkapkan, ada sebanyak 245 aliran kepercayaan yang terdaftar dengan jumlah penganut sebanyak 400 ribu jiwa di Indonesia.
Sebelum ada istilah‘enam agama’ yang diakui di Indonesia; Hindu, Budha, Islam, Kristen, Katolik, dan Konghucu, di belantara Nusantara ini telah hidup berbagai masyarakat adat yang memiliki karakteristik dan keyakinan yang berbeda-beda. Jauh sebelum ada ‘enam agama’ tersebut, mereka telah lama tinggal menjadi ‘tuan rumah’ di negeri yang kemudian dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang di dalamnya terangkum berbagai aliran kepercayaan, agama dan budaya, yang kemudian dari situ terbentuklah sebuah semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dan bermakna, berbeda-beda, tetapi tetap satu jua.
Tanpa ada kesepakatan meleburkan diri menjadi satu kesatuan, tentu NKRI tak akan terbentuk. Sebab itulah, dapat dikatakan bahwa berbagai macam latar-belakang tadi menjadi sebuah pondasi atas berdirinya NKRI ini.
Sebagaimana bangunan yang akan hancur ketika pondasinya rusak, NKRI pun demikian adanya. Ketika sebagian masyarakat menolak perbedaan, dan berusaha menghilangkan tradisi dan budaya leluhur, itu adalah awal dari usaha untuk meruntuhkan pondasi yang akan berdampak pada bangunan bernama NKRI.
Bagi masyarakat modern jaman sekarang ini, mungkin terasa asing ketika mendengar istilah ‘agama Penghayat‘ atau ‘Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Penghayat)’. Bagi mereka, mungkin itu dianggap suatu agama ‘sesat’ yang baru muncul dan menjadi sesuatu yang harus segera di ‘karantina’ atau bahkan dihilangkan dari peradaban karena tidak sejalan dengan kehidupan modern yang cenderung berfikir praktis dan rasionalis.
Namun, ‘Penghayat’ ini justru merupakan tradisi leluhur yang bisa dikatakan hampir sulit ditemui, seiring berjalannya kehidupan. Mereka telah lama ada sebelum ‘enam agama’ tadi bertamu. Tidak berlebihan jika disebut ‘tuan rumah’ bagi ‘enam agama tamu’ itu.
“Kami punya tradisi ‘Seren Taun’ yang sempat dilarang selama 13 tahun pada masa Orde Baru, karena dianggap aliran sesat,” kata Dewi Kanti Setianingsih, penganut Sunda Wiwitan, salah satu bagian dari Penghayat Kepercayaan masyarakat Sunda di Jawa Barat.
Menurut Dewi, ritual Seren Taun dimaksudkan sebagai ucapan syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam ritual tersebut puncaknya adalah menumpuk padi. “Tradisi itu sebenarnya sarat filosofi dan tuntunan, meskipun puncaknya sekedar menumpuk padi tapi itu sebuah tradisi sebagai masyarakat agraris, bukan menganggap padi memiliki kekuatan, apalagi menuhankannya,” tambah Dewi.
Cara Penghayat Memperlakukan Alam
Ada cara unik yang dilakukan Penghayat dalam berhubungan dengan alam yang justru seringkali dianggap ‘musyrik’ oleh sebagian orang. Misalnya dalam hal mengusir hama tanaman padi. Menurut Dewi, mereka tidak menggunakan ‘insektisida’ atau bahan kimia pembunuh serangga, melainkan dengan ritual (sesaji) berdoa, memohon kepada Yang Maha Pencipta agar hama itu tidak mengganggu tanaman, tanpa kita harus membunuhnya. “Karena bagaimana pun, hama itu juga ciptaan Yang Maha Kuasa,” ungkap Dewi.
Sementara itu, Apendi Sukarta Putra, warga Bogor Jawa Barat yang juga Penghayat, mencoba memberikan penjelasan lebih rinci kepada ABI Press terkait apa yang mereka yakini.
Sesuai dengan namanya, ‘penghayat’ mereka melakukan penghayatan, atau menghayati apa saja yang ada di dunia ini, demi mengenal dan lebih dekat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Apendi menyontohkan, dalam ritual mengunyah daun sirih misalnya, ada dua sisi daun yang memiliki struktur berbeda; halus dan kasar. “Tapi kalau dikunyah menjadi sama, ibarat manusia ada laki-laki dan perempuan, sebenarnya semuanya sama, hanya amalnya yang berbeda,” kata Apendi menjelaskan makna mengunyah daun sirih.
Contoh lain misalnya, dalam sebuah tradisi ‘nasi tumpeng,’ ada ujung atas hingga bawah, dan berbagai isi di dalamnya. “Ujung adalah pimpinan, bawah adalah bawahan atau rakyat, kalau bersatu menjadi kuat. Dan di dalam tumpeng itu hanya pembuatnya yang mengetahui isinya,” tambah Apendi.
Hal yang juga sering menjadi salah paham ketika mereka memberikan ‘sesaji’ pada pohon besar terutama pohon Beringin, yang kemudian hal itu dimaknai orang sebagai tindakan musyrik karena menganggap orang yang menaruh ‘sesaji’ mempercayai ada kekuatan dalam pohon itu, atau bahkan menuhankan pohon. “Pohon Beringin, adalah simbol persatuan. Yang berteduh, kehujanan, bermacam-macam orang tanpa membedakan. Termasuk pohon lain. Semakin besar, semakin meneduhi, memberi manfaat. Itu harus dijaga,” kata Apendi menjelaskan.
Mengenai‘sesaji’yang diletakkan dekat pohon itu, Apendi menjelaskan bahwa itu hanyalah ‘simbol’ atau cara berinteraksi kepada Tuhan melalui ciptaanya yang telah memberi banyak manfaat. “Bukan berarti menganggap ada kekuatan dalam pohon itu,” tambah Apendi.
Dalam memaknai Tuhan, kata Apendi, seorang ‘Penghayat’ selalu berhubungan dengan alam sekitar. “Kita bicara dengan pohon, juga dengan hewan. Saya kemarin bicara dengan kucing, saat kucing ‘meong-meong,’ saya kasih ikan asin dia diam. Ternyata dia ingin makan. Esoknya lagi bunyi, saya kasih air, diam ternyata haus ingin minum. Bicara dengan pohon juga begitu. Kalau ada pohon layu, disiram. Biar tumbuh, hijau dan segar. Kita sendiri yang akan menikmatinya,” cerita Apendi.
Dalam hal menebang pohon misalnya, baik Dewi maupun Apendi hampir menjelaskan hal yang sama. Terkadang mereka harus melakukan ritual (doa) dengan pernik ‘sesaji’ ketika ingin menebang pohon, terutama pohon yang besar atau yang sudah sangat ‘tua.’ Dalam doa tersebut di antara permintaan mereka adalah agar kelak ditumbuhkan kembali pohon yang memberi manfaat seperti yang telah ditebang.
Dalam menjalankan nilai-nilai luhur yang ia pahami, tak jarang apa yang Apendi lakukan menuai tanggapan negatif dari orang yang tidak memahaminya. Dianggap musyrik adalah hal biasa baginya. Namun, demi menghadapi sikap yang demikian, Apendi menjawabnya dengan bijaksana, dengan memperlihatkan kemampuan, kontribusi kepada masyarakat, serta menunjukkan nilai-nilai luhur yang ia yakini kepada masyarakat luas. Terutama sikapnya dalam bersentuhan dengan alam.
“Manusia, hewan, tumbuhan harus ada keseimbangan. Kalau menebang ya menanam,“ pungkas Apendi kepada ABI Press.
Sementara itu, Manajer Penanggulangan Bencana Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Mukri Priatna mengungkapkan, apa yang para ‘Penghayat’ lakukan dalam melestarikan alam merupakan kearifan lokal yang tidak dikenal oleh konteks modern.
Sebagai orang yang memahami ini secara positif, Mukri menyadari bahwa apa yang Penghayat lakukan bukanlah sebuah bentuk penyembahan terhadap pohon atau apapun dalam ritual-ritualnya, melainkan ia memahami bahwa sebetulnya para ‘Penghayat’ itu sedang melakukan komunikasi dengan Tuhan-nya melalui perantara alam sebagai ciptaan.
“Mereka melakukan ini, karena dahulu belum ada masjid, pura, untuk mengungkapkan rasa syukur mereka atas ciptaan Tuhan,” tambah Mukri.
Penyelamatan lingkungan sangat penting untuk dihargai. Walau sebagai lembaga yang peduli dengan lingkungan belum melakukan kerjasama dengan masyarakat adat seperti ‘Penghayat’ dalam melestarikan alam, Mukri menilai apa yang dilakukan ‘Penghayat’ harus dijunjung tinggi dan dijaga, “karena tradisi penyelamatan lingkungan seperti yang mereka lakukan hampir punah,” kata Mukri.
Di akhir perbincangan dengan ABI Press, Mukri memberikan pandanganya terkait sering munculnya tuduhan ‘perbuatan musyrik’ yang dialamatkan kepada pelaku ‘Penghayat.’ Menurutnya, yang perlu dipahami oleh pelaku agama adalah, memahami bahwa dahulu, ketika mereka ‘berkomunikasi kepada Tuhan’ melalui alam, belum hadir ‘agama tamu’ yang enam tadi, sehingga mereka berinteraksi dengan Tuhan dengan cara mereka sendiri. (Malik/Yudhi)