Berita
Pro-Kontra Reklamasi Teluk Benoa
Reklamasi, atau upaya meningkatkan manfaat sumber daya lahan ini, menjadi perbincangan penting terutama bagi masyarakat Bali. Khususnya terkait rencana pelaksanaan reklamasi Teluk Benoa oleh PT. TWBI (Tirta Wahana Bali Internasional), yang memunculkan pro dan kontra. Sejumlah tudingan miring pun dialamatkan kepada PT. TWBI sebagai pelaksana proyek itu.
Hal itulah yang melatarbelakangi Peradah Indonesia, sebuah organisasi pemuda Hindu Indonesia mengadakan sebuah dialog publik yang ditujukan untuk mencari pemahaman komprehensif terkait isu reklamasi itu dengan menghadirkan beberapa nara sumber dari berbagai pihak. Salah satunya dari PT. TWBI yang diwakili oleh Marvin.
Dalam acara dialog di Jakarta, Sabtu (13/9), Marvin menjelaskan sekaligus menepis beberapa tudingan negatif terkait reklamasi yang akan dijalankannya.
“Yang beredar di masyarakat reklamasi, tapi yang kita lakukan bukan hanya reklamasi tapi berbasis revitalisasi, untuk kesejahteraan bersama. Kalau perut belum kenyang, bagaimana menjaga lingkungan,” kata Marvin.
Marvin menambahkan, masih banyak permasalahan yang harus diselesaikan dalam upaya peningkatan budaya dan lingkungan di Teluk Benoa, di antaranya; keanekaragaman hayati yang cenderung menurun, banyaknya area tidak produktif, dan banyaknya sampah di kawasan itu.
“Kalau dibiarkan begini, 10 tahun ke depan mau jadi apa?” tanya Marvin.
Itulah yang menjadi alasan PT. TWBI mereklamasi kawasan itu dengan memperbaiki berbagai kerusakan yang terjadi. Hal yang dilakukan PT. TWBI di antaranya, meningkatkan jumlah pohon mangrove, dan membersihkan sampah-sampah dengan bekerjasama denga Forum Peduli Mangrove di wilayah itu.
Sejumlah tudingan, mulai dari yang menilai bahwa proyek reklamasi hanya akan menguntungkan segelintir orang, para investor, dan memberikan dampak kerusakan lingkungan yang lebih besar, menjadi alasan penolakan reklamasi itu.
“Memang ada dampak positif dan negatifnya,” kata Ari Sudijanto, dari Kementerian Lingkungan Hidup yang menjadi pembicara dalam diskusi itu mewakili pihak Pemerintah.
Menurutnya, sebelum reklamasi ini dilakukan, harus melalui proses Amdal (Analisa Dampak Lingkungan) yang tertera dalam PerMenLH (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup) No. 5 tahun 2012. Pejabat yang berwenang kemudian akan mengeluarkan ijin reklamasi dengan tinjauan dan perhitungan; harus didasari gejala tata ruang; juga kemungkinan adanya efek positif dan negatif.
Dampak negatif menurutnya bisa terjadi, jika reklamasi tidak terpadu dan memarjinalkan terutama kaum nelayan, serta terjadi degradasi kawasan lahan dan lain sebagainya.
Dalam tiap upaya reklamasi, mestinya metode Amdal (Analisa Dampak Lingkungan) bisa menjadi acuan; artinya, pihak yang pro dan kontra dapat memberikan masukan untuk menjadi bagian kajian yang kemudian akan disesuaikan bersama-sama.
Sementara itu, Gede Sumarjaya Linggih, Ketua Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Bali juga hadir selaku pembicara, mewakili masyarakat Bali.
Gede mengaku hanya ingin menyuarakan kondisi ekonomi masyarakat Bali.
“Bahwa yang namanya pertumbuhan hendaklah ada pemerataan,” katanya.
Gede juga menilai bahwa seringkali pertumbuhan tinggi justru menjadi problem di beberapa negara tertentu. Ini yang menjadi kekhawatirannya atas proyek reklamasi itu.
Investasi memang penting menurutnya, untuk pertumbuhan yang berkualitas, namun pertumbuhan yang tidak berkualitas justru akan menjadi penyebab inflasi dan kenaikan harga, di samping bisa menjadi sebab kemiskinan struktural.
“Sebab itu tolong, jangan menambah lagi kegiatan yang hanya akan menambah keuntungan bagi segelintir orang dengan memarjinalkan yang lain,” harapnya. (Malik/Yudhi)