Berita
Jangan Sembarangan Membusuk-busukkan Tuhan
“Jangan Melawan Ekstremisme dengan Bersikap Ekstrem.” -Dr. Muhsin Labib
“Tuhan Membusuk:” Rekonstruksi Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan adalah tema orientasi mahasiswa baru Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya yang diadakan 28-31 Agustus lalu.
Tema itu pun ramai diberitakan media massa dan diperbincangkan di jejaring sosial. Ada yang menganggapnya sebagai penistaan terhadap agama, bahkan Sekjen FPI Jawa Timur menyebut tema “Tuhan Membusuk” lebih ekstrem dari tindakan ISIS (Islamic State of Iraq and al-Sham).
Mengapa penggunaan tema “Tuhan Membusuk” dianggap lebih ekstrem dibanding tindakan ISIS ?
Berikut hasil wawancara ABI Press dengan Dr. Muhsin Labib, seorang pakar dalam bidang filsafat.
Bagaimana Dr. Muhsin Labib melihat fenomena tema orientasi mahasiswa baru “Tuhan Membusuk:” Rekonstruksi Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan di UIN Sunan Ampel?
Fenomena keinginan mengidentifikasi diri. Ini bagian dari ekspresi. Sejak dulu, dalam belajar ushuluddin biasa membahas Tuhan dan nilai ketuhanan. Banyak orang yang baru beberapa saat belajar filsafat, mengidentifikasi diri mereka dengan pernyataan-pernyataan kontroversial yang menghebohkan. Padahal tak ada yang bisa membuat kehebohan lebih parah daripada Karl Marx, “Agama itu candu,” Friedrich Nietzsche, “Tuhan sudah mati,” Karl Jaspers, “Tuhan tak bisa diketahui,” atau Jean-Paul Sartre yang mengolok-ngolok agamawan. Kehebohan itu milik mereka dan prasasti monumental mereka, hall of fame (ketenaran)nya mereka.
Apakah bermasalah tema “Tuhan Membusuk:” Rekonstruksi Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan yang sebenarnya hanya ditujukan sebagai otokritik internal pada masa orientasi mahasiswa baru di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Ampel?
Fakultas Ushuluddin mestinya berperan ibarat pemuka agama atau protektor terhadap beragam penafsiran yang berusaha untuk mendeligitimasi agama. Kita harus tunduk pada kaedah komunikasi populer. Ini ruang umum, ruang publik. Orang melihat yang tertera. Orang itu tidak tau apa isinya atau pun apa maksudnya. Orang tidak tahu tujuan atau tulisan itu hasil dari diskusi panjang, dan bagaimana ospeknya berlangsung. Tidak harus orang Islam yang tidak terima soal Tuhan. Apalagi bila merujuk sila pertama Pancasila, negara kita ini dibentuk dengan pilar ketuhanan. Hal lain yang juga mesti diingat bahwa masing-masing kata itu simbol yang mengandung makna, baik denotasi maupun konotasinya. Jadi jangan mengharapkan bahwa setiap orang yang memandang kata atau kalimat tertentu yang kontroversial, lantas mereka pun bisa serta merta dianggap paham makna konotasinya.
Bukankah segala sesuatu dipandang pula dari maksud dan tujuannya?
Maksud saya begini. Ambil saja contoh saat sudah terjadi tabrakan. Semua orang kalau sudah mengalami tabrakan ditanyai, maka tidak ada yang maksudnya mau menabrak. Mungkin juga para mahasiswa itu jika ditanya, mereka akan menjawab, maksud saya menulis begini dan supaya (dipahami) begini.
Sudah pasti tidak ada maksud menjelekkan Tuhan. Saya yakin yang nulis tidak ada maksud menjelekkan Tuhan. Tapi siapa bisa menyalahkan jika terlanjur banyak orang salah paham dan kemudian bersikap ekstrem gara-gara munculnya tulisan itu?
Bagaimana bila tema tersebut mengacu pada manusia yang menjelma sebagai ekstremis mengatasnamakan Tuhan?
Bisa dimaklumi, seringkali memang banyak orang yang tujuannya ingin melawan intoleransi dan ekstremisme. Namun, tak banyak yang benar-benar paham bahwa melawan ekstremisme agama dengan desakralisasi terhadap agama sama halnya dengan membersihkan cermin dengan kain kotor.
Tindakan gegabah semacam itulah yang semakin kuat menggiring orang-orang memandang ekstrem bahwa fundamentalisme itu perlu, buktinya Tuhan sudah mulai dibusuk-busukkan. Jadi kedua pihak ini boleh dibilang sama-sama penganut ekstremisme. Satu ekstremisme terhadap agama dan anti terhadap logika. Sementara yang satu lagi ektremisme menolak kesakralan agama. Padahal kita seharusnya mampu bersikap moderat.
Apa yang anda maksudkan dengan moderat?
Tidak mensakralkan teks tapi juga tidak mendesakralisasi teks agama. Ambil jalan tengah sehingga moderat itu bukan ekstrem. Kalau anda mau melawan ekstremisme atas nama agama, maka anda juga jangan bersikap ekstrem. Tuhan itu adalah kata dengan signifikansi sebuah entitas adi kodrati yang sublim. Memang kata itu (Tuhan) tidak akan bisa memberikan signifikansi yang pas (tepat/sesuai) terhadap Tuhan karena Tuhan itu di luar bingkai kata. Sedangkan kita ini dituntut berkomunikasi dengan simbol-simbol.
Apa hubungan berkomunikasi dengan simbol-simbol yang anda maksudkan atas fenomena ini?
Dalam berkomunikasi, kita ini harus berurusan dengan kata, dan kata itu muncul karena makna. Artinya, pemaknaan itu yang akhirnya melahirkan sebuah kata. Kita ini berkomunikasi dengan simbol-simbol. Hubungan antara simbol dan substansi itu sebagaimana hubungan atas dan bawah. Tapi juga jangan mereduksi simbol, kembalikan dalam posisi yang seimbang antara simbol dengan subtansi.
Oleh karena itu, salah jika kita lawan ekstremisme dengan mendesakralisasi atau merendahkan simbol-simbol agama. Akhirnya, yang merasa benar-benar punya simbol hanya kelompok ekstremis. Padahal, mestinya kita juga menggunakan simbol dengan pemaknaan rasional. Sekarang ini misalnya simbol tauhid, la ilaha illallah, kenapa bak hanya milik mereka? Apa benar begitu?
Karena ada orang-orang yang menaikkan makna dan menghilangkan simbol, itu invalid. Namun, ada orang-orang yang mengeksploitasi simbol-simbol, layaknya kelompok-kelompok ekstremis agama. Mestinya kita juga berhak atas simbol la ilaha illallah, tapi dengan pemaknaan rasional dan logis. Bukan malah menolak la ilaha illallah atau bendera la ilaha illallah, melainkan membuktikannya. Inilah yang dimaksud jangan bersihkan cermin kotor dengan kain kotor tapi dengan kain bersih agar bersih.
Mengapa berbahaya tindakan mendesakralisasi atau merendahkan simbol-simbol agama?
Bila dianggap hanya sekadar ada tulisan “Tuhan Membusuk” lantas yang kita katakan Allahu Akbar, itu maksudnya apa? Jangan sampai Allahu Akbar hanya seolah dimiliki kelompok-kelompok intoleran. Jika dibandingkan antara yang intoleran mengakbarkan Allah dengan orang toleran tapi membusuk-busukkan Allah, masyarakat tentu akan memandang mereka (intoleran/ekstremis) lebih nggenah (benar). Karena sebagian besar orang akan lebih suka kepada mereka yang mengatakan Allah Maha Besar dibandingkan orang yang mengatakan Tuhan itu membusuk. Itu sebabnya jangan melawan ekstremisme dengan bersikap ekstrem. Menganggap seakan-akan semua yang bersimbol agama itu ekstremisme, ini salah. Jangan sampai tergiring oleh cara pandang yang demikian. Layaknya memaksa pakai jilbab atau sebaliknya melarang pemakaian jilbab, itu ekstremisme. Jangan-jangan desain utamanya itu, sengaja ingin membuat agama ini tidak lagi sakral. Ini berbahaya. Jika mau menolak ekstremisme jangan semua simbol agama itu anda tolak. Justru anda harus isi simbol-simbol agama itu supaya tidak menjadi identik dengan kelompok-kelompok ekstrem.
Bagaimana anda memandang tujuan sebenarnya dari tema kontroversial itu, bahwa klaim “ketuhanan” pada manusialah yang diharapkan membusuk, yaitu manusia yang melakukan kekerasan atau kejahatan dengan mengatasnamakan Tuhan?
Saya tidak menyalahkan tujuan, saya tidak menafikan tujuan baiknya, pastilah mereka itu anti intoleransi dan ekstremisme. Tapi nanti dulu, Tuhan jangan diutik-utik (dipermainkan). Tuhan kan milik semua orang, bukan hanya milk orang Islam. Mereka orang-orang yang toleran juga bertuhan. Bahkan, satu-satunya kata yang kita tidak berbeda dengan orang lain adalah “Tuhan.”
Perkara penamaannya itu beda, bisa God, bisa Lord, bisa Sang Hyang Widi, bisa Qhudha, bisa Allah, tapi substansinya, Tuhan itu sebuah entitas yang tak ternalarkan tak terpikirkan, Dia adalah sublim. Saya mengapresiasi tujuan mulia dari panitia. Meskipun tujuan mereka itu adalah ingin lebih memahamkan agama, bahwa manusia beragama tidak boleh seenaknya berbuat kekerasan, kejahatan dan tindak intoleransi atas nama Tuhan, tapi tetap saja tujuan itu sebagai sesuatu yang metafisik, kan tidak terlihat langsung. Sementara kebanyakan orang kan lebih memandang pada tulisannya, pada apa yang tertulis bahwa “Tuhan Membusuk.” Dalam hal ini, bagaimanapun bahasa publik tetap harus diakomodir. Itu baru namanya toleran.
Apakah toleransi yang anda maksudkan pada tema tersebut?
Toleran itu memaklumi orang dengan semua keragamannya. Bukan ketika kita tidak bisa menerima orang lain lantas membuat elitisme agama, pemahaman elitis, sehingga orang yang tidak paham kita biarkan. Mestinya kita bantu agar mereka juga paham. Pilihlah kalimat-kalimat yang jauh lebih bisa dipahami oleh masyarakat, misalkan “Anti Ekstrimisme” atau “Kami Menolak Eksteremisme.”
Jangan mengaitkan Tuhan dengan kata yang sangat tidak pantas. Substansi penting, tetapi simbol tidak boleh kita hilangkan. And last but not least, hal-hal macam inilah yang potensial menambah amunisi bagi orang-orang untuk menjadi ekstrem. Karena saat pandangan pertama orang melihat pada pernyataan yang melecehkan agama. Akhirnya, terkesan seperti sengaja memancing perkara.
Apakah yang terpampang pada tema “Tuhan Membusuk” hanya tulisan? Lantas, bayangkan bila tidak ada komunikasi berupa tulisan, tidak ada kata, tidak ada simbol, maka akan muncul absurditas. Jadi kata itu tetap memiliki makna, karena itu kita punya nama. Karena nama itu memberikan signifikansi substansi, harus ada korelasi antara nama dengan subtansinya. Kalau hanya subtansi saja, tak perlu ada nama dan simbol-simbol. Bahkan, nama-nama ini bisa dihilangkan.
Apa pesan untuk para pencetus ide tema “Tuhan Membusuk”?
Perlu bijak. Bijak itu mempertimbangkan semua varian, semua variabel, semua aspek kemaslahatan, kemudharatan, pada dampak positif dan negatifnya. Moderatlah, ambil jalan tengah, dengan mengagungkan agama dan mengapresiasi logika. Jalan tengah atau middle path itu namanya moderat. Moderat itu bukan berarti simbol-simbol agama boleh dilecehkan dengan bahasa-bahasa yang tidak pantas.
Bagaimana untuk mencegah terulangnya penggunaan tema-tema serupa?
Miliki kebersihan hati, seimbangkan antara perilaku dengan ilmu. Utamakan juga moderasi atau sikap moderat, dengan tetap mengagungkan agama namun tidak meninggalkan logika. (Sulton/Yudhi)