Ikuti Kami Di Medsos

Akhlak

Seni Berdoa

oleh Musa Kazhim

Doa merupakan kegiatan naluriah manusia. Sepanjang sejarah manusia, doa senantiasa hadir dalam ruang-ruang kehidupan, baik disadari ataupun tidak. Temuan-temuan arkeologis menunjukkan bahwa doa telah menjadi bagian inheren dalam sejarah peradaban manusia. Keinginan “berbicara” dengan dan mengeluh kepada Tuhan telah dan senantiasa ada. Hanya saja, seiring perkembangan manusia, keinginan ini mengemuka dalam ekspresi-ekspresi yang beragam. Pada tahap-tahap awalnya, doa dan ibadah bersifat sangat fisikal dan dramatis, dengan kandungan yang sedehana dan sepele. Misalnya, doa hanya berisi permintaan agar dijauhkan dari segala bencana. Dan karena bencana alam dipahami secara mistis, maka doa itu dipusatkan pada kegiatan penolakan terhadap roh-roh jahat dan semisalnya. Perkembangan selanjutnya ialah doa-doa meminta kesejahteraan dan kesehatan dan demikian seterusnya hingga kita menemukan ekspresi doa yang lebih abstrak, delicate dan subtil: meminta kesempurnaan yang tak terbatas, sebagaimana kandungan doa dalam buku di hadapan Anda ini. Kalau kita perhatikan, perkembangan ekspresi dan kandungan doa itu sebenarnya menunjukkan tingkat pemahaman manusia terhadap dirinya dan Tuhan Penciptanya. Dalam gambaran orang-orang kuno, Tuhan bersifat antropomorfis dan “dekat”, sehingga doa terekspresikan secara fisikal dan dramatis, seperti dalam gerakan-gerakan fisik yang dramatis atau simbol-simbol visual yang mencolok. Dalam gambaran itu, kita juga melihat bahwa kandungan doa hanya berisikan hal-hal keseharian yang sepele. Dan kandungan yang sedemikian itu sebetulnya menunjukkan pemahaman manusia akan dirinya sebagai makhluk yang hidup di dunia untuk dunia. Akan tetapi, ketika manusia makin menyadari bahwa Tuhan lebih dari apa yang disangkanya dan bahwa manusia adalah makhluk yang bisa menyempurna tanpa batasan, maka ekspresi doa menjadi tidak lagi fisikal dan dramatis, melainkan lembut dan halus. Kandungan doanya pun lebih abstrak dan subtil.

Paparan singkat di atas memperlihatkan watak paradoksal doa. Di satu sisi, doa merupakan ungkapan kelemahan, kekurangan, kepapaan, kesulitan, kehilangan, kesedihan dan penghambaan si hamba kepada Tuhan yang Maha segala-galanya. Oleh karena itu, Nabi bersabda, “Ad-dua mukhkhul ibadah (doa adalah saripati penghambaan”. Akan tetapi, pada sisi lain, doa merupakan kunci pembuka pintu Kemahasepurnaan, Kemahakayaan, Kemahakuasaan, Belas-kasih dan Rahmat Allah. Arahnya yang menuju kepada Allah membuat sebuah doa bisa mengandung segala kesempurnaan dan kebaikan yang terbayangkan oleh manusia. Karena itu, tatkala berdoa, si pendoa seolah-olah berada dalam ruang kemungkinan yang tak berhingga. Tidak ada kemustahilan dalam “dunia doa”. Hanya dengan berdoa, manusia bisa mewujudkan segala sesuatu yang semula terasa mustahil baginya. Al-Quran banyak menceritakan mukjizat-mukjizat para nabi yang “disulut” oleh doa. Dalam pelbagai riwayat juga disebutkan betapa doa dapat mengubah “takdir dan nasib” yang telah ditetapkan Allah untuk seseorang. Tidak hanya itu, doa juga disebutkan dapat mengubah dan mempengaruhi hukum-hukum universal alam semesta. Hal itu karena isi dan muatan doa kita sebanding dengan pemahaman kita tentang Tuhan. Makin luas dan sempurna pemahaman kita mengenai Tuhan, makin luas dan “mustahil” kandungan doa yang kita panjatkan. Inilah paradoks doa: interaksi dan perjumpaan antara ciptaan yang lemah dan Pencipta yang Mahaperkasa. Dalam interaksi itu, si lemah menyatakan segala kekurangannya dan dan Si Mahaperkasa melimpahkan dan membuka pintu-pintu kasih-sayang dan anugrah-Nya yang tak terbatas. Dengan demikian, terciptalah “semesta” yang menembus segala kemustahilan dan menolak segala kekeliruan.

Mengingat doa sebetulnya merupakan interaksi dialogis antara hamba dan Tuhan Sejati, bahasa yang dipakai dalam doa akan menentukan hubungan antara kedua pihak. Hamba akan berbicara mengenai dirinya dalam bahasa keluhan dan kerendahan. Sebaliknya, saat berbicara mengenai Tuhan, hamba akan menggunakan bahasa penghormatan dan pemujaan dan pengagungan. Bahasa semacam ini sebenarnya sangat cocok dengan watak dasar manusia yang merendah dan menyerah di hadapan kekuatan dan kekuasaan. Bahasa doa bisa juga memuat semacam “paradoks”, seperti yang diperlihatkan Nabi Isa dalam surah Al-Maidah ayat 116-118. Dalam ayat-ayat itu, terjadilan “argumentasi” sebagai berikut: “Dan ingatlah ketika Allah berfirman, Hai Isa putra Maryam, adakah engkau mengatakan kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah? Isa menjawab: Mahasuci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jikapun aku pernah mengatakannya, tentulah Engkau telah mengetahuinya. Sesungguhnya Engkau segala apa yang ada dalam diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada Diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Mahamengetahui semua perkara yang gaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (untuk mengatakannya), yaitu: Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian! Akulah saksi mereka selama berada di antara mereka. Maka setelah Engaku wafatkan aku, Engkaulah yang (senantiasa) menjadi Pengawas mereka. Dan Engkau Mahamenyaksikan segala sesuatu. Jika Engkau (berkehendak) menyiksa mereka, maka sebenarnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau (berkehendak) mengampuni mereka, maka sebenarnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

Nada-nada argumentatif seperti di atas sebetulnya juga banyak terdapat dalam doa-doa Nabi Muhammad dan manusia-manusia suci lainnya. Misalnya, dalam Munajat Orang Bersyukur, Imam Ali Zainal Abidin menyatakan seperti ini: “Bagaimana pula caranya aku (dapat disebut) bersyukur, sementara (setiap ungkapan) syukurku itu sendiri menuntut syukur (yang lain kepada-Mu). Doa itu seolah ingin mengatakan bahwa manusia memang sering teledor, lalai dan enggan untuk bersyukur atas semua nikmat-Mu. Namun, andaipun aku ingat untuk bersyukur kepada-Mu, maka ingatan itu memerlukan pada pernyataan syukurku pada-Mu dan demikian seterusnya, sehingga sulit rasanya aku dapat sepenuhnya bersyukur kepada-Mu.

Bila kita tilik lebih jauh, paradoks dalam bahasa doa-doa termaktub menunjukkan sifat paradoksal doa itu sendiri suatu permintaan dari yang lemah kepada Sang Mahakuasa dengan perkataan: “Tuhan, karuniakan ini dan itu kepadaku!” Perintah Tuhan kepada hamba untuk meminta-Nya berbuat sesuatu adalah inti paradoks doa. Itulah yang disebut oleh Ibn Arabi sebagai sirr khafy atau rahasia yang tersembunyi. Tidakkah sedemikian paradoksal apabila Tuhan menyuruh hamba untuk menyuruh-Nya berbuat sesuatu?! Tetapi, memang begitulah hakikat doa perintah untuk meminta. Dengan doa, Tuhan menganugrahkan hak meminta kepada hamba. Tuhan berkehendak untuk “membagi” Wewenang Mutlak-Nya kepada sang hamba. Dan dalam doa itu, si hamba meminta keinginannya kepada Sang Pemilik Wewenang Sejati. Dengan demikian, terjadilan interaksi misterius antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya. Jalinan misterius antara hamba dan Tuhan ini membutuhkan pada suatu pengetahuan yang pelik dan delicate. Doa yang muncul dari ketidaktahuan dan ketidakpekaan akan kerumitan jalinan itu hanya akan menjadi sia-sia. Oleh sebab itu, doa-doa hebat mengandung dialog dan munajat (baca: bisikan halus-lembut) yang hebat pula. Dan tentu saja, tidak semua orang bisa menelurkan doa-doa hebat semacam itu.

Salah satu “ilmu” doa yang jarang kita pahami ialah proses pewujudan doa. Seperti semua fenomena lainnya, objek yang kita minta dalam doa itu juga akan mewujud sesuai dengan prinsip kausalitas. Misalnya, saat kita minta jadi orang kaya, maka mau tidak mau ada konsekuensi-konsekuensi yang niscaya kita terima. Kekayaan harta bukan hanya mempunyai aspek positif, tapi juga mempunyai aspek negatif. Akibatnya, saat kita ingin jadi orang berharta, kita juga mungkin akan kehilangan banyak waktu untuk bersenang-senang dengan teman atau keluarga. Nah, pada saat kita harus menerima konsekuensi semacam itu, pada sebagian orang muncul keengganan. Selanjutnya, dia akan meminta kepada Allah untuk diberi kebahagiaan dan waktu bersenang-senang dan berkumpul dengan keluarga dan teman. Pada saat itu, batu bata kekayaan harta yang sedang Allah susun itu, terpaksa dibongkar kembali, lantaran konsekuensi permintaan kita yang kedua ini akan berbenturan dengan konsekuensi permintaan yang pertama, kecuali ada penyesuaian-penyesuaian. Jadi, banyak doa kita yang sebenarnya mengandung kontradiksi, sehingga pewujudannya di alam nyata menjadi sesuatu yang mustahil.

Pada titik ini, kita harus menyadari bahwa kemustahilan itu tidak ada dan tidak mewujud di alam nyata. Di sini manusia sering tidak berpikir secara rasional, sehingga meminta sesuatu yang mustahil kepada Allah. Imam Ali bin Abi Thalib pernah menuturkan, “Thalabul mustahil minal jahl.” Meminta sesuatu yang tidak mungkin terjadi itu adalah kebodohan. Meminta sesuatu yang kontradiktif, sama dengan meminta sesuatu yang mustahil, sama dengan berlaku bodoh dan sia-sia.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *