Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Menjawab Opini ‘Tendensius’ Isu Palestina-Israel

Menjawab Opini ‘Tendensius’ Isu Palestina-Israel

Menjawab Opini ‘Tendensius’ Isu Palestina-Israel

Oleh: Billy Joe

Di era digital, setiap perang niscaya memicu “perang digital” berupa pro dan kontra di dunia maya. Laga perang digital biasanya berlangsung dalam konteks rebutan klaim kebenaran dan upaya mempengaruhi opini publik.

Begitu pula dengan peperangan antara Palestina melawan Israel, yang mau tak mau menyeret netizen terlibat dalam perang digital. Menurut jurnalis senior Antaranews, Edy M Yakub dalam artikelnya yang berjudul “Indonesia dan Hoaks ‘Perang Digital’ Israel-Palestina” yang terbit di Antaranews, (Kamis, 23/11/2023) menyebut ada jebakan hoaks dalam perang digital.

Pernyataan ini tentu sangat masuk akal. Hoaks sebagai sampah informasi tak hanya bermunculan dalam perang Palestina vs Israel.  Sejak terorisasi dan konflik internal Suriah berkecamuk pada 2012, beragam hoaks menyerbu berbagai platform media sosial. Salah satu hoaks terbesar dan paling ganjil menyebutkan tentara “Suriah mengeksekusi warga sipil di jalanan.” (https://medium.com/@johnchalekson/politics-aleppo-10-fake-news-stories-mainstream-media-fed-you-228a833c131e)

Kabar eksekusi massal yang diklaim dan diberitakan oleh media arus utama Barat seperti New York Times itu sontak viral. Padahal, sampai hari ini tak ada satu pun bukti, baik berupa gambar, citra satelit atau pun video para korban eksekusi, apalagi dalam jumlah besar, sebagaimana yang diklaim media Barat.

Dalam tulisan awalnya, Edy juga membeberkan banyak contoh hoaks yang beredar luas di media sosial. Hanya saja, terkait dengan perang Palestina vs Israel, contoh-contoh hoaks yang disodorkan Edy tidak berimbang. Ia hanya mengungkap deretan hoaks yang dibuat oleh para pendukung Palestina.

Padahal, pihak pendukung Israel jauh lebih massif dan vulgar dalam memproduksi hoaks. Sebab, tindakan brutal pasukan Israel yang disebut-sebut sedang melakukan genosida terhadap rakyat Palestina memerlukan dalih dan selubung agar dianggap normal atau bahkan wajib didukung. Salah satunya adalah hoaks tentang Hamas memenggal 40 bayi, serta membakar hidup-hidup perempuan dan anak-anak.

Klaim pemenggalan 40 bayi itu kontan disiarkan di media-media mainstream Israel dan Barat, seperti Financial Times dan media Israel i24. Namun, hingga detik ini, tak satu pun bukti ditemukan yang terkait dengan isu pemenggalan dan pembakaran tersebut.  (https://www.aa.com.tr/en/middle-east/despite-refutations-from-israeli-military-headlines-that-hamas-beheaded-babies-persist/3016167)

Baru-baru ini, tuduhan yang disebarluaskan para pendukung Israel juga terbukti sebagai hoaks. Di antaranya, Hamas membantai penonton Nova Festival Music dalam serangan 7 Oktober lalu. Menariknya lagi, tuduhan itu justru dibantah oleh media internal Israel berbahasa Ibrani, Haaretz. (https://www.haaretz.com/israel-news/2023-11-18/ty-article/.premium/israeli-security-establishment-hamas-likely-didnt-have-prior-knowledge-of-nova-festival/0000018b-e2ee-d168-a3ef-f7fe8ca20000)

Massifnya hoaks yang diproduksi Israel dan para pendukungnya membuka fakta baru yang barangkali tidak dapat diantisipasi mereka. Salah satunya, muncul wacana yang justru mengolok-olok Israel dan para pendukungnya bahwa “tuduhan Israel adalah pengakuan Israel sendiri”. Umpama, tuduhan hoaks memenggal 40 bahkan ribuan bayi justru dilakukan pasukan Israel di Gaza, persis di depan mata dunia (sehingga mereka berusaha memutus jaringan internet dan menutup akses internasional ke Gaza).

Jurnalis ini selanjutnya mengungkap kepentingan Indonesia atas konflik Palestina-Israel dengan sebutan 3-D, yaitu doa (Qunut Nazilah), donasi (Bantuan Kemanusiaan), dan diplomasi (perjuangan global di forum internasional). Saat ini menurutnya ada D ke-4 yakni digitalisasi. Baginya, digitalisasi itu tak penting bahkan hanya akan mempertajam konflik, namun ia tak memberikan bukti bahwa digitalisasi (D-4) mempertajam konflik.

Jika klaim digitalisasi akan mempertajam konflik, maka seharusnya pemerintah melarang digitalisasi, sebab semua konflik, tak hanya soal perang Palestina – Israel juga akan didigitalisasi dan artinya semua konflik itu akan semakin tajam dengan adanya digitalisasi. Ini adalah generalisasi, dan hanya memandang digitalisasi dari satu sudut pandang.

Penulis tersebut juga menulis “berita hoaks yang beredar terkait perang Hamas dan Israel itu sangat berbahaya, karena menyentuh hal sensitif, yakni politik identitas dan agama.” Sepertinya ia lupa, bahwa para pendukung Palestina saat ini tak mendukung karena politik identitas atau agama tapi karena kemanusiaan. Buktinya, banyak nonmuslim yang mendukung Palestina dan mengecam Israel, karena kekejaman Israel yang menyerang warga sipil, perempuan dan anak-anak..

“Karena itu, kemajuan teknologi digital itu perlu dikalkulasi dampak fatalnya, agar dunia digital bukan seperti “memindahkan” pertengkaran orang lain ke rumah sendiri. Niatnya memberi dukungan kepada negara lain, tapi faktanya justru mengimpor “perang” alias berkelahi di dalam.”

Edy seharusnya paham bahwa informasi soal perang atau apa pun itu yang ada di luar negeri atau wilayah kita (Indonesia) tak hanya sampai ke Indonesia melalui media digital, namum bisa melalui banyak macam. Karena itu klaim “Fakta (digitalisasi) justru mengimpor perang alias berkelahi di dalam (negeri sendiri)” itu adalah tak masuk akal. Sebab, bisa jadi informasi hoaks itu di dapat dari mulut ke mulut tidak melulu melalui teknologi digital.

Dipenutup tulisannya Edy menyimpulkan bahwa kekerasan ditandingi kekerasan (Israel versus Hamas) bukanlah solusi, sebagai solusinya adalah diplomasi, dengan menambahkan rakyat palestina yang meninggal jumlahnya sangat besar.

Pernyataan penuntupnya terkesan bijak, namum ia mengaburkan persoalan sesungguhnya yang terjadi di Palestina, yaitu penjajahan Israel atas tanah palestina. Jika sudut pandangnya adalah penjajahan, maka tak ada perundingan selain mengusir si penjajah.

Sebab secara akal sehat, tak mungkin berunding dengan orang yang ingin menjajah rumah kita, mengambil rumah dan harta kita. Meskipun dengan dalih perdamaian.

Karena itu, tulisan Edy berjudul “Indonesai dan Hoaks “Perang Digital” Israel-Palestina”, telah menyajikan informasi yang bias atau tendensius, bahkan bisa disebut tidak adil dan tidak objektif. Sehingga terkesan penulis mendukung Israel.

Baca juga : APA KATA MASTER NASAB KELAS DUNIA TENTANG NASAB BANI ALAWI? Bagian II