Ikuti Kami Di Medsos

Berita

PR Jokowi: Tuntaskan Kasus Intoleransi dan Kekerasan Atas Nama Agama Warisan SBY

Setara Institute

Gegap gempita pesta rakyat telah usai digelar. Ada yang kecewa, ada juga yang berpesta atas kemenangannya.

Presiden terpilih telah ditentukan walau harus melewati jalan terjal dan berliku. Hingga akhirnya MK memutuskan Jokowi sebagai Presiden RI yang ke tujuh. Banyak tugas menanti Jokowi pasca pelantikannya, 20 Oktober 2014 nanti. Di antaranya terkait penuntasan kasus-kasus kekerasan atas nama agama, dan kepastian terjaminnya kebebasan beragama dan berkeyakinan ke depan. Apa saja warisan buruk masa pemerintahan Presiden SBY dan seperti apakah tantangan yang akan dihadapi Jokowi?

Mohammad Monib, Direktur Eksekutif ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace), menerangkan bahwa masa SBY adalah masa ketika transisi demokrasi era Reformasi masih cukup terasa. Maka wajar, saat kran kebebasan dibuka begitu lebar pada masa itu, agar tak sampai kebablasan, SBY dituntut mampu mengendalikannya dengan baik. Dalam hal itu, SBY bisa dianggap berhasil. Sayangnya, dalam hal penegakan hukum, terutama dalam hal menindak tegas pelaku intoleransi yang mengancam kebebasan beragama dan berkeyakinan, SBY dinilai tidak tegas bahkan sangat lemah.

Menurut Monib, SBY seolah hanya bisa melakukan penindakan apabila sudah ada desakan dari publik. Bila tidak maka dia tak akan melakukan tindakan apapun.

“Sebagai seorang demokrat yang paham demokrasi, sekaligus pemegang mandat rakyat, seharusnya SBY ndak perlu menunggu desakan publik,” terang Monib, kepada ABI Press.

Sementara itu, peneliti SETARA Institute, Abdul Khoir menilai bahwa penindakan pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di masa SBY tidak mengalami perubahan signifikan dalam beberapa hal.

Khoir menerangkan ada beberapa faktor utama penyebab terjadinya pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang tidak mendapatkan penangnan serius dari pemerintah.

Pertama, sikap toleransi dan kesadaran masyarakat untuk hidup berdampingan dengan orang yang berbeda keyakinan, sangat rendah. Hal yang juga diamini oleh Mohammad Monib.

Faktor kedua, masih banyak terjadi pembiaran oleh aparat negara.

Faktor ketiga, masih banyaknya regulasi wewenang dan peraturan daerah yang dijadikan dasar pembenar oleh kelompok intoleran untuk melakukan tindakan intoleransi.

Faktor keempat, tidak adanya efek jera bagi mereka yang telah melakukan tindakan intoleransi, akibat seringnya pembiaran oleh pihak berwenang itu.

Faktor kelima, terjadinya kecenderungan arus politik penyeragaman atas nama agama dan mayoritas di berbagai lini kehidupan masyarakat. Hal terakhir inilah yang kerap menjadi komoditas politik sangat ampuh demi memperoleh dukungan dari masyarakat.

“Di era kepemimpinan SBY selama ini terkait upaya menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, lebih tampak pasif,” terang Khoir.

Tantangan Jokowi

Secara otomatis, warisan persoalan yang ditinggalkan oleh SBY akan menjadi PR yang harus diselesaikan presiden selanjutnya, yaitu Jokowi.

Beberapa persoalan terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan itulah yang pastinya akan menjadi tantangan berat bagi Jokowi saat menggantikan SBY nanti.

Monib menyebut setidaknya ada tiga tantangan yang akan dihadapi oleh Jokowi. Yaitu masalah lemahnya intelektualitas, minimnya pemahaman keagamaan dan problema psikologis.

Pertama, umat Islam belum begitu memahami aturan dalam kitab suci yang dengan tegas menyebutkan bahwa Islam tidak melarang keberadaan agama atau keyakinan lain yang berbeda untuk tetap hidup. Apalagi memaksa penganutnya berpindah ke dalam Islam.

Selain itu, fakta sejarah pada zaman Nabi menunjukkan bahwa Islam dan umatnya mampu hidup berdampingan dengan para penganut agama atau keyakinan lain dalam suasana damai dan toleran.

Maka tak heran bila di masa itu, seperti apa yang tertuang secara rinci dalam Piagam Madinah, sangat jelas di dalamnya ada istilah yang disebut “saweran” biaya perang.

Karena itu jangan mengira perang dalam Islam itu perang agama sehingga yang wajib membiayainya hanya umat Islam saja.

Dalam kehidupan sosial Islam, semua warga yang berada dalam naungan pemerintahan Islam, secara administratif memiliki hak dan kewajiban yang sama bila menyangkut kepentingan bersama.

Fakta bahwa Rasulullah dan para sahabat, memaklumkan saweran biaya perang yang harus ditanggung bersama termasuk oleh warga Yahudi, bahkan kaum Pagan dan semua warga yang tinggal di Madinah kala itu, menunjukkan bahwa Nabi sejak awal memang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, meski mereka hidup di wilayah yang mayoritas warganya beragama Islam.

“Nah ini yang saya katakan fondamen komitmen teologis terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dicontohkan Nabi,” jelas Monib.

Kedua, pemahamannya terhadap landasan teks-teks suci Al-Quran. Ketiga, adalah faktor psikologi berupa inveriority atau ketidak pedean bergaul saat berhadapan dengan tantangan agama-agama lain. Minimal ketiga hal itulah yang harus diselesaikan oleh Jokowi untuk mengikis habis tindakan intoleransi.

“Jokowi harus membuat program terobosan guna membentuk karakter bangsa yang toleran agar bisa bertoleransi,” terang Monib.

Abdul Khoir juga membagi dua tantangan yang akan dihadapi Jokowi. Yaitu tantangan internal dan eksternal. Tantangan internal bagi Jokowi terletak pada bagaimana menyamakan persepsi tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan antara dirinya dengan Jusuf Kalla. Sebab menurut Khoir, pasangan ini memiliki karakter berbeda, yang nantinya pasti berdampak dalam cara penyelesaian kasus-kasus pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tantangan internal selanjutnya terletak dalam hal kelembagaan. Bagaimana Jokowi bisa melakukan harmonisasi, penyelarasan antara pemerintah pusat dengan daerah. Karena telah banyak produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah baik perda ataupun pergub yang secara jelas diskriminatif terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.

“Apakah Jokowi akan berani mencabut perda/pergub seperti di Jawa Timur dan Jawa Barat?” tantang Khoir.

Sedangkan tantangan eksternal akan terletak pada kemampuan Jokowi untuk tidak memberikan ruang gerak pada kelompok intoleran yang selama ini mendapatkan peluang dan keleluasaan pada masa pemerintahan SBY.

Suara Para Korban

Nurcholis, salah seorang pengungsi Syiah Sampang yang dua tahun lebih terusir dari rumahnya dan hingga sekarang belum mendapatkan kejelasan nasib dari pemerintahan SBY, mengatakan hampir tak ada upaya serius yang dilakukan SBY agar para pengungsi dapat segera kembali pulang ke kampung halaman mereka.

“Pemerintahan SBY hanya sekadar memberikan penampungan dan tidak memberikan kejelasan tentang arah penyelesaian masalah ini,” terang Nurcholis.

Selain Nurcholis, Ahmad perwakilan dari Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), menceritakan selama masa pemerintahan SBY beberapa masjid Ahmadiyah disegel dan dirusak, bahkan hingga saat ini penyegelan demi penyegelan masih terus terjadi.

Selama itu pula, belum ada kebijakan pemerintahan SBY yang melegakan bagi Jamaah Ahmadiyah hingga detik ini.

Nasib serupa juga menimpa Pendeta Palti Panjaitan dan jamaah HKBP Filadelphia. Penyelesaian kasus kekerasan atas nama agama yang mereka alami, seolah tak ada kemajuan berarti hingga kini. Bahkan ibarat hilang ditelan bumi.

SBY menurut Palti, sama sekali tak melakukan apa-apa untuk mennuntaskan kasus ini. Tak ada solusi apapun diberikan SBY terkait nasib jamaah HKBP Filadelphia.

Para korban kekerasan atas nama agama seperti Nurcholis, Ahmad dan pendeta Palti berharap agar pemerintahan mendatang dapat memulihkan hak-hak mereka yang selama ini terampas dan mengembalikan kondisi kehidupan mereka seperti sedia kala.

Tak hanya itu, mereka juga berharap bahwa setiap pelaku kekerasan mesti mendapat ganjaran yang setimpal.

“Tangkap, adili, dan berikan hukuman yang setimpal kepada para pelaku kekerasan itu. Saya rasa ini penting agar mereka jera, dan berpikir seribu kali untuk mengulangi perbuatan yang sama,” tegas Palti.

Sebuah keniscayaan yang tak dapat dipungkiri bahwa di dalam negara bernama Indonesia yang selama ini dikenal sangat menjunjung tinggi prinsip Bhinneka Tunggal Ika ini, sejak dulu masyarakatnya memang sudah terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama. Maka demi menjaga agar nilai-nilai kebhinekaan tetap lestari, sudah sewajarnyalah pemerintah berupaya turut menjaganya dengan cara memberikan hukuman setimpal bagi siapapun yang ingin merusak tatanan luhur kebhinekaan Indonesia itu. (Lutfi/Yudhi)