Nasional
Pengamat Terorisme: Harus Curiga Jika Ada Kajian Mengkafirkan Orang
Pengamat Terorisme: Harus Curiga Jika Ada Kajian Mengkafirkan Orang
Pengamat Terorisme sekaligus pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail mengingatkan masyarakat agar tidak melihat penyebab paham radikal dan teror masuk hanya melalui satu jalan saja, namun banyak faktor yang mempengaruhi, seperti ekonomi, kedekatan emosional, hingga kesalahan dalam memperdalam ilmu agama.
“Diharapkan masing-masing kita bisa lebih teliti dalam berguru untuk memperdalam agama. Jangan hanya mengambil keterangan dari satu guru saja dan harus curiga jika ada kajian-kajian yang isinya menyalahkan atau mengkafirkan orang yang berbeda dengannya, bahkan sampai ada narasi untuk melawan negara dengan pemerintahan yang sah,” kata Noor Huda, Rabu (23/8) dilansir Antaranews.
Peraih gelar Ph.D. dari Monash University itu menambahkan bahwa jaringan sosial juga menjadi salah satu yang penting ditelusuri untuk mencegah masuknya pemahaman ideologi radikalisme. Jaringan sosial berpengaruh menurutnya berpengaruh terhadap penanaman ideologi tertentu, juga akan dapat mendefinisikan secara kuat afiliasi seseorang yang diiduga terlibat kelompok teror.
“Memang jaringan sosial ini yang perlu kita pahami bersama. Lingkup pertemanan, keluarga, saudara, ataupun sekolah seringkali menjadi awal masuk ideologi radikal,” ujar Noor Huda.
Baca juga : Menteri Budi: Kejahatan Digital Semakin Canggih
Ia menjelaskan bahwa ideologi yang telah tertanam akan bekerja dengan baik apabila seseorang sudah tergabung ke jaringan tertentu. Menurutnya, salah satu alasan seseorang bergabung dengan kelompok teror adalah karena adanya hubungan kekeluargaan atau pertemanan yang telah terbangun sejak lama.
Hal itu disampaikan Noor Huda merespons terungkapnya kasus dugaan tindak pidana teroris dengan tersangka DE, Senin (14/8). DE yang dikenal aktif dalam kegiatan di lingkungan rumahnya itu ternyata berafiliasi dengan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS).
Selain karena adanya jaringan sosial yang kuat, Noor Huda menilai pada kasus DE, ada keinginan memperkuat kehidupannya melalui kajian ilmu agama. Namun, permasalahan yang muncul adalah menimba ilmu agama tersebut dilakukan dengan guru dan jaringan yang salah.
Karena itu ia berpesan agar masyarakat tidak terpaku pada stereotipe atau subjektivitas yang berlaku di masyarakat. Tersangka DE, ujarnya, justru dikenal sebagai pribadi yang ramah di lingkungan tempat tinggalnya.
Baca juga : Pakar: Senpi Ilegal di Indonesia Kode Merah
“Makanya kalau kita fokusnya ke stereotipe, itu akan sering meleset dalam melakukan deteksi karena memang tidak ada stereotip atau ciri-ciri teroris itu yang seperti apa,” kata akademisi yang juga aktif sebagai pengamat terorisme itu.
Noor Huda kemudian memberi contoh kasus tertangkapnya salah seorang anggota Jamaah Islamiyah (JI) di Semarang yang bahkan menjadi Ketua RT di lingkungan tempat tinggalnya. Anggota JI itu, ucap Noor, membantu masyarakat dengan mengajar anak-anak secara sukarela.
Menurutnya, kemampuan para anggota jaringan teror makin meningkat untuk semakin berbaur dengan masyarakat.
“Berdasarkan hasil wawancara saya dengan beberapa anggota JI, justru mereka malah menjadi tokoh masyarakat di lingkungan tinggalnya,” kata Noor Huda.
Baca juga : Indonesia Kecam Keras Pembakaran al-Quran di KBRI Denmark