Berita
Lika-Liku Jalan Sufi Yasta (Bagian Ketiga)
Awalnya terbersit keraguan untuk berangkat ke tempat pengajian Nasya, namun pada akhirnya Yasta kesampingkan semua keraguan tersebut dan dengan tekad bulat dia putuskan untuk datang. Kebetulan pada hari itu pemimpin kelompok Sufi, Maulana Syaikh Hisham Kabbani juga hadir dalam pengajian tersebut. Ditatapnya sosok teduh dengan janggut putih yang dikerubuti para santri untuk bersalaman.
“Siapa nih orang? Siapa sih Loe? Ini siapa sih, apa sih yang mau Loe ajarin? Kalo memang Loe itu hebat, gue pingin kenal Loe lebih jauh, deh.” Begitu tanya Yasta dalam hati, sambil terus menatap Syaikh Hisham.
Pada saat yang bersamaan berkecamuknya berbagai pertanyaan dalam hati Yasta tentang Syaikh Hisham, pada saat itu pula Syaikh Hisham menoleh dan memandang Yasta sambil melemparkan senyuman yang membuat Yasta akhirnya menundukkan wajahnya.
Tak berapa lama kemudian Yasta mendapat kesempatan berbincang langsung dengan Syaikh Hisham. Kesempatan itu digunakannya untuk meminta doa kepadanya.
“Saya nggak bisa apa-apa nih, saya nggak tau apa-apa, dan saya juga tidak tahu apa yang harus saya lakukan,” keluh Yasta kepada Syaikh Hisham. Pada momen itu Syaikh Hisham menyarankan Yasta beristighfar, minimal 300 kali setelah shalat dan berhenti merokok.
Semenjak pertemuan pertama itu tidak ada perubahan yang berarti dalam diri Yasta, masih tak jelas mau apa. Kembali ke rumah hari-hari Yasta masih diisi rutinitas ngopi, ngerokok, mengkhayal dan bengong.
Hidayah Malam Ramadhan
Setelah pertemuan pertama itu pun, rasa penasaran ingin tahu siapa sosok Syaikh Hisham semakin kuat. Akhirnya Yasta mencari-cari info dari buku-buku adik iparnya dan juga searching di internet tentang siapa sebenarnya pribadi yang begitu diagungkan para santrinya itu.
Setelah membaca sejumlah buku karya Syaikh Hisham mulai timbul rasa ketertarikan Yasta pada Syaikh Hisham.
Termasuk di antaranya saat dia baca kalimat “Islam itu lembut, Islam itu rahmat, Islam itu menggunakan cinta kasih dan sayang, sebelum turun murka Allah itu turun rahmat-Nya terlebih dahulu,” Yasta merasa seperti Syaikh Hisham sedang membimbingnya dan berkata jangan takut, jangan malu, jangan putus asa, Allah menghendaki siapa saja hamba-Nya yang Allah kehendaki untuk kembali ke jalan yang lurus. Kita ini bukan siapa-siapa, kita ini bukan apa-apa, kita ini hanya hamba Allah. Begitulah buku-buku Syaikh Hisham yang Yasta baca serasa membimbingnya.
Tiba-tiba pada malam pertama bulan Ramadhan, serasa dada Yasta sesak oleh dosa-dosa yang telah dilakukannya di masa lalu. Semua bayangan dosa dan kesalahan yang telah Yasta lakukan seolah-olah tergambar semua malam itu.
Yasta pun terduduk di lantai dan air mata tak terbendung lagi saat gambaran dosa-dosanya di masa lalu membuat dirinya merasa sangat hina, kotor dan menjijikkan.
Setelah sekian lama larut dalam tangis penyesalan, Yasta kemudian bangkit dari duduknya dan melaksanakan “mandi besar” untuk membersihkan kotoran yang ada di dirinya.
Setelah selesai melaksanakan mandi besar, Yasta pun kemudian mengucapkan niat “Ya Allah pada bulan puasa ini, apa mungkin bulan puasa ini adalah bulan puasa yang terakhir buatku, aku mau memanfaatkan sebaik-baiknya, sebanyak banyaknya untuk beribadah, dari mulai membaca Al Quran, tarawih, i’tikaf, pokoknya semua akan aku jalanin.”
Yasta pun berniat mengubah penampilannya dengan memakai baju koko layaknya kebanyakan Muslim di Indonesia.
Dengan memaksakan diri, Yasta berhasil melaksanakan apa yang diniatkannya.
Dalam kesehariannya, Yasta kini mengenakan kopiyah haji dan gamis warna hijau. Tentu pada awalnya rasa risih tetap ada, bahkan untuk keluar kamar pertama kali mengenakan pakaian gamis, Yasta menengok dulu keluar kamar untuk mengecek ada orang apa tidak.
Sepuluh hari pertama bulan Ramadhan tahun itu dilalui Yasta dengan “seragam barunya.” Saat itu dia masih tinggal di rumah adiknya bersama adik iparnya.
Memantapkan Langkah
Setelah sepuluh hari pertama perubahan itu, akhirnya Yasta dengan keputusan bulat kembali ke tempat Ibundanya. Sesampainya di rumah, Yasta disambut pelukan haru serta ciuman kasih sayang sang Ibu di pipi kanan dan kirinya. Ciuman yang sudah puluhan tahun belum pernah lagi dirasakan olehnya.
Sepuluh hari kedua di bulan Ramadhan tersebut Yasta baru mengikuti dzikir di tempat pengajian adiknya di Rumicafe yang pernah di kunjunginya. Di sini Yasta kembali mengucurkan air mata ketika mengumandangkan asma-asma Allah dan semakin mantap dengan apa yang dijalaninya.
Di pengajian tersebut Yasta juga diajarkan untuk memangkas egonya dan hal ini semakin membuatnya larut dalam kecintaan kepada Allah.
Setelah bulan puasa, pada kedatangan Syaikh Hisham ke majelis dzikir pada pertemuan kedua, barulah timbul rasa hormat Yasta karena memang Syaikh Hisham orang yang saleh.
Sejak itulah Yasta benar-benar berubah. Banyak orang bilang, Yasta mendapatkan hidayah.
Pesan Sang Bunda
Dua tahun berlalu. Saat itu barulah Ibundanya mengakui bahwa perubahan yang Yasta lakukan tidak main-main. Ibundanya pun mengatakan, “Mama tidak menuntut kamu menjadi orang kaya atau apa. Asal kamu jadi anak saleh, kamu jaga shalatmu, akhlakmu terus perbaiki. Buat Mama, itu sudah cukup. Meninggalpun Mama sudah bisa tenang,” ujar sang Bunda kepada Yasta. “Gak perlu deh kamu beliin Mama rumah, atau apa lah segala macem. Gak perlu, Mama cuma pingin kamu sekarang istiqamah sampai akhir hayat kamu. Mama dah seneng, ini buat Mama adalah hadiah paling besar.”
Mendengar pesan yang disampaikan sang Bunda, Yasta pun langsung sujud syukur.
Perubahan yang dilakukan oleh Yasta bukan berarti tanpa pro dan kontra. Sejumlah temannya pun melontarkan beragam komentar. Ada yang bilang, “Loe kayak orang sarap lho.”
“Wah gini ya Loe sekarang. Loe ekstrim lho, jangan-jangan Loe sekarang ikut ngerakit bom.”
“Ah Loe mau nipu apa lagi Loe?”
“Wah ini. Ini nih muka Quran hati Iblis.”
Pendeknya, habislah semua cercaan dan hinaan menimpa Yasta.
Tapi ternyata dari situ tersaring juga, siapa sahabat sejati siapa yang bukan. Ternyata sahabat SMA Yasta yang dulu sering ditipunya, sampai sekarang mereka mendukung perubahan yang Yasta lakukan dan mereka ikut senang.
“Alhamdulillah, Gue seneng Loe sekarang begini,” support mereka.
Dari situ mulailah dia terpisah dari teman-teman yang mengejek perubahan yang dilakukannya itu.
Di kehidupan barunya kini, Yasta dikaruniai seorang Istri dan tiga orang putri.
Untuk menghidupi keluargannya, Yasta kini bekerja sebagai personal asisten seorang warga asing yang bekerja di Indonesia.
Kali ini Yasta tetap mabuk, bukan lagi mabuk seperti dulu, melainkan mabuk tenggelam dalam cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Sehingga pandangan-pandangannya pun berubah, tentang cinta tentang manusia, semuanya kini berubah. Kehidupannya kini pun berubah seratus delapan puluh derajat.
Rumah Sakit Jiwa
Sosok Yasta bukanlah satu-satunya orang yang berawal dari kehidupan dunia kelam dan mampu bangkit dari lembah hitam kehidupan. Menurut Muchsin, pengurus Rumicafe Jakarta, banyak anggota dari jamaah Rumicafe yang pada awalnya merupakan orang-orang yang tenggelam dalam dosa-dosa tapi kini mampu bangkit dan meninggalkan semua kebiasaan buruk yang membelenggu diri dan jiwa mereka.
“Kami biasa mengatakan bahwa mereka yang datang ke Rumicafe ini adalah orang yang sakit jiwa”, kata Muchsin.
Arti sakit jiwa di sini menurut Muchsin, mereka yang datang ke Rumicafe biasanya tidak memiliki keseimbangan hidup antara jiwa dan raga. Mereka terlalu larut dalam dunia materi atau raga sehingga melupakan bahwa sisi jiwa mereka juga sangat penting diperhatikan untuk menyeimbangkan hidup. Hal itulah yang Muchsin sebut dengan sakit jiwa. Itu pula sebabnya kenapa Rumicafe hadir memberikan sejumlah hal yang dibutuhkan oleh ruh.
Rumicafe telah enam tahun berdiri. Ada kajian dan dzikir setiap malam Senin di situ. Tidak hanya menjadi obat bagi mereka yang sakit jiwa tapi kini mereka berusaha juga untuk dapat memberikan sumbangsih lebih kepada masyarakat sekitar dengan jalan berbagi kasih dengan anak-anak yang kurang beruntung di sekitar Jakarta.
“Setiap selesai Shalat Jumat, kami membagikan makanan gratis kepada anak-anak marjinal sekitar Jakarta,” ujar Muchsin.
Apa yang dilakukan oleh Rumicafe membalik pandangan orang tentang Sufi yang biasanya hidup menyendiri dan berada di wilayah pelosok atau pegunungan.
Bahkan pandangan sebagian orang yang menuduh Sufi itu meninggalkan kehidupan dunia seluruhnya, kini terbantahkan oleh adanya Rumicafe di dekat kawasan Blok M Jakarta, yang tetap bisa menjalankan ke-Sufi-annya meski berada di kota dan membaur dengan hiruk-pikuk kehidupan Metropolitan.(Lutfi/Yudhi)
(Tamat)