Berita
Cara Malu Menjadi Indonesia
“Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman.
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar.“
Bait di atas adalah penggalan puisi karya pujangga Taufiq Ismail yang berjudul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Puisi yang isinya mengungkapkan betapa kondisi Indonesia saat ini jauh dari cita-cita perjuangan para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia tercinta. Lalu apa sebenarnya yang melatarbelakangi Taufik menulis puisi tersebut?
Dalam acara Kenduri Cinta (KC) bersama Emha Ainun Najib yang biasa disapa Cak Nun pada 15 Agustus 2014 lalu di Taman Ismail Marzuki, Taufik yang hadir pada malam itu memberikan penjelasan tentang latar belakang penulisan puisi “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.”
Dalam penjelasannya, Taufik menceritakan bahwa ketegangan politik yang terjadi pada tahun 50an dan 60an, tragedi berdarah PKI dan krisis ekonomi yang begitu hebat pada masa itu, akhirnya memaksa pergantian kepemimpinan. Ditandai tumbangnya rezim Orde Lama dan berganti dengan rezim Orde Baru.
Pergantian rezim ini menumbuhkan harapan baru akan perubahan yang lebih baik terhadap bangsa ini, namun ternyata menurut Taufik rezim Orde Baru hanya bertahan “bersih” selama tiga tahun dan kemudian marak terjadi salah guna kekuasaan. Melihat hal tersebut, Taufik yang terlibat dalam proses pergantian pemerintahan, merasa bertanggung jawab.
“Kami berusaha mengembalikan pemerintahan yang baru pada jalur yang benar, tapi tidak berhasil,” jelasnya.
Nah, terpicu oleh kekecewaannya itulah, Taufik kemudian menorehkannya dalam bait-bait puisinya. Taufik menjelaskan bahwa ada sebuah perjuangan yang dilakukan dan berhasil, akan tetapi gantinya tidak memuaskan, berusaha untuk diubah tetapi tidak berhasil juga.
“Saya malu, kemudian saya sebut kumpulan puisi itu dengan judul ‘Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia’,” kata Taufik.
Tentu saja rasa malu yang Taufik ungkapkan dalam puisinya bukan untuk kita menangisi diri sendiri terus menerus, namun sebagai renungan seluruh anak bangsa terhadap kondisi Indonesia saat ini. Sekaligus sebagai penyemangat untuk terus berjuang mengubah Repubik Indonesia tercinta menjadi lebih baik lagi. (Lutfi/Yudhi)