Nasional
Pakar UI: Isu Gender Masih Jadi Persoalan Pendidikan
Pakar UI: Isu Gender Masih Jadi Persoalan Pendidikan
Ketua Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia (UI), Mia Siscawati menyebut masih ada ketidakmerataan pendidikan bagi sebagian kaum perempuan di Indonesia.
Hal tersebut menurutnya dipengaruhi banyak faktor di antaranya adalah faktor ekonomi dan sosial.
Ditinjau dari segi sosial, menurut Mia, tidak sedikit keluarga yang mendukung anak laki-lakinya untuk bersekolah lebih tinggi daripada anak perempuan.
Ini disebabkan Stereotype bahwa anak perempuan tidak harus bersekolah, karena kodratnya menjadi istri dan ibu. Stereotype ini merupakan salah satu faktor kesenjangan pendidikan antara laki-laki dan perempuan.
Kondisi ini masih menunjukkan adanya kesenjangan gender di dunia pendidikan.
“Gender merujuk pada konstruksi sosial yang mengatur perempuan harus bagaimana dan laki-laki harus bagaimana. Adanya konstruksi sosial ini menjadi masalah dari masa ke masa. Bahkan, ketika perempuan dan laki-laki sudah berada dalam suatu institusi pendidikan yang sama, diskriminasi gender yang disengaja maupun tidak masih banyak terjadi,” kata Mia, Rabu (3/5), dilansir Kompas.com.
Ia membagi diskriminasi gender dalam dunia pendidikan menjadi tiga ranah, yaitu individual, kultural, dan struktural. Ketiganya saling berkelindan.
Baca juga : Di Hari Pendidikan, Pakar Tekankan Pentingnya Pendidikan Literasi Digital
Persoalan struktural, dapat dilihat dari belum terciptanya fasilitas pendidikan yang memadai dan mendukung perbedaan kebutuhan antara perempuan dengan laki-laki.
Pada 2020, dalam Profil Sanitasi Sekolah yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) disebutkan bahwa terdapat satu dari tiga sekolah yang tidak memiliki jamban atau toilet yang terpisah.
“Fasilitas jamban atau toilet yang terpisah merupakan hal yang sangat penting bagi anak perempuan,” ujar Mia.
Namun, lanjutnya, di daerah tertentu, anak-anak perempuan memilih tidak sekolah pada tiga hari pertama mereka menstruasi, karena sangat tidak nyaman di sekolah.
Sementara itu, dari segi kultural, masyarakat secara tidak sengaja sering menomorduakan anak perempuan dalam kehidupan sehari-hari
Misalnya, jika ada kegiatan fisik yang berat, anak perempuan dianggap tidak mampu dan lemah.
Bahkan, ika ada pemilihan pemimpin atau ketua, anak perempuan sering dijadikan orang kedua setelah laki-laki. Masalah struktural dan kultural ini kemudian menurutnya dinormalisasi melalui internalisasi pada individu.
Mia menilai permasalahan diskriminasi gender di dunia pendidikan harus dituntaskan, sebab ini menurutnya merupakan komponen penting dalam menciptakan kemajuan bangsa.
Cara untuk menghapus diskriminasi ini, menurutnya diperlukan kerja sama dan kesadaran pada setiap individu, baik secara kultural maupun struktural.
Setiap individu harus memperhatikan lingkungannya. Perubahan kultural diperlukan untuk membentuk keyakinan pada masyarakat bahwa sekolah merupakan hal yang menyenangkan.
“Ini didukung dengan perubahan struktural melalui penciptaan kondisi dan fasilitas sekolah yang aman dan nyaman,” tegasnya.
Baca juga : Peringati Al-Quds Day 2023, Teriakan “Mampus Israel” Menggema di Tolitoli