Berita
JASMERAH Pengibar Bendera Proklamasi
Sebagai bangsa yang besar, tentulah Indonesia tidak akan melupakan sejarah perjuangan yang telah dilaluinya hingga tercapainya kemerdekaan. Namun, mengingat sejarah ternyata tidaklah semudah apa yang disangka. Misalkan saja tentang pengibar bendera Sang Saka Merah Putih yang pertama kali di Pegangsaan Timur 56, Jakarta 69 tahun silam.
Seorang bapak yang tinggal di sebelah timur apartemen Kalibata City bernama Ilyas Karim, mengklaim bahwa dirinya adalah pengibar bendera merah putih pertama kali bersama Shondanco Singgih. Hal itu berawal ketika pada malam hari, 16 Agustus 1945, Chaerul Saleh, meminta pada Angkatan Pemuda Islam (API) tempat Ilyas tergabung, agar bersiap dan mandi pagi-pagi sekali.
Pagi, tanggal 17 Agustus 1945, setelah sekitar 50 anggota API mandi dan bersiap, Chaerul pun membawa mereka menuju Pegangsaan Timur, lokasi acara Proklamasi Kemerdekaan RI akan dilakukan. Ilyas mengaku pada saat itu tidak mengerti apa yang akan terjadi, namun tanpak memang ramai orang telah berkumpul di rumah kediaman Bung Karno tersebut. Sambil berlari-lari kecil, Ilyas bersama yang lain mendekati rumah Bung Karno.
Sesampainya di sana, Ilyas segera ditarik tangannya oleh Abdul Latief Hendraningrat yang pada saat itu, menurut Ilyas menjadi protokol upacara. Ilyas mengaku dirinya adalah sosok pria bercelana pendek yang posisinya membelakangi kamera dan yang berada di belakangnya adalah Ibu Fatmawati dan Rahmi Hatta. Saat itulah, kenang Ilyas, lagu Indonesia Raya kemudian dikumandangkan oleh murid-murid SD Menteng.
Ilyas bersama Sundanco Singgih kemudian menarik tali bendera terus ke atas hingga lagu kebangsaan tersebut selesai dikumandangkan dan bendera telah terkibar di puncak tiang bendera.
Begitulah pengakuan Ilyas Karim kepada ABI Press saat ditemui di rumahnya, di sebelah barat rel kereta api dekat Apartemen Kalibata City.
Gedoeng Joeang 45
Namun, informasi berbeda didapat ketika ABI Press berkunjung ke Gedoeng Joeang 45 yang merupakan bekas gedung Menteng 31 dan saat ini menjadi museum. Dalam museum tersebut didapati bahwa pengibar bendera Merah Putih pertama kali adalah Abdul Latief Hendraningrat yang merupakan prajurit PETA (Pembela Tanah Air) yang mengenakan seragam PETA dan didampingi oleh H.R Suhud yang mengenakan celana pendek dan membelakangi Ibu Fatmawati dan SK Trimurti.
Begitupun dalam buku sejarah “Detik-detik Proklamasi” yang ditulis oleh Nugroho Notosutanto yang diterbitkan oleh Pusat Sejarah (Pusjarah) ABRI, pada halaman 36 juga menyebutkan bahwa pengibar bendera Merah Putih pada saat Proklamasi adalah Abdul Latief Hendraningrat didampingi oleh Suhud Marto Kusumo.
Juga yang terdapat pada buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia Karya Cindy Adams, pada halaman 333 menyebutkan bahwa pengibar Bendera Merah Putih pada masa Proklamasi adalah Abdul Latief Hendraningrat. Serta pada halaman 332 disebutkan tidak ada protokol pada saat upacara kemerdekaan RI saat itu.
Bukan Satu-satunya
Polemik dalam sejarah seperti ini ternyata memang bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia. Sebelumnya juga terjadi, yaitu pada saat Andaryoko Wisnuprabu (88) dari Semarang yang mengaku dirinya adalah Shondanco Supriyadi, pemimpin pemberontakan Pembela Tanah Air (PETA) di Blitar.
Muklis, pemandu di Museum Gedoeng Joeang 45, Menteng, Jakarta juga mengamini hal ini. Muklis mencontohkan bagaimana informasi tentang sejarah memang terkadang terjadi polemik seperti halnya pada cerita tentang senjata bambu runcing. Senjata bambu runcing yang menjadi senjata andalan para pejuang menghadapi Belanda ternyata adalah ide dari pasukan Belanda, bukan dari bangsa Indonesia sendiri.
Menurut Muklis, pada saat Jepang akan mendarat di tanah Jawa, Februari 1942, pasukan Belanda menyiapkan banyak bambu runcing yang ditancapkan ke tanah dengan bagian runcing menghadap ke atas di wilayah Kalijati. Hal ini dimaksudkan agar saat pasukan Jepang terjun dan mendarat di Kalijati maka pasukan Jepang tidak akan dapat menghindari bambu runcing tersebut.
Namun ternyata, pasukan Jepang mendarat di tepi laut Eretan dan langsung menuju Sumedang. Setelah Belanda pergi, bambu-bambu runcing tersebut digunakan oleh kelompok-kelompok pasukan yang dilatih oleh Jepang. Hingga pada masa perang kemerdekaan, bambu runcing menjadi senjata pasukan Indonesia untuk pengusir para penjajah, baik Jepang maupun Belanda.
Catatan sejarah bukanlah harga mati yang mustahil akan berubah, namun tentu saja selama bukti-bukti yang diajukan cukup kuat untuk mengubah apa yang telah ada dan tercatat dalam sejarah, tentu kita tidak serta-merta menolak untuk mengubahnya. Namun bila bukti-bukti yang disampaikan seseorang yang mengaku sebagai pelaku sejarah kurang kuat, maka yang bersangkutan tidak perlu untuk terus ngotot agar catatan sejarah disesuaikan dengan keinginannya. (Lutfi/Yudhi)