Dunia Islam
Tari Sufi: Serasa Tenang dan Kadang Bagai Terbang
“Ya Nabi salam ‘alaika, Ya Rasul salam ‘alaika, Ya habib salam ‘alaika, Shalawatullah ‘alaika…” lantunan shalawat berkumandang di Rumi Cafe daerah Kebayoran Baru, Jakarta.
Saat semua pengunjung cafe berdiri, tiba-tiba, masuk 2 anak berkostum khas penari Sema. Anak pertama, yang di depan, warna kostumnya putih, disusul anak kedua dengan kostum warna kuning.
Sema adalah nama tarian yang diciptakan oleh Jalaludin Rumi, seorang sufi abad ke-13 dari Turki.
Para penari Sema atau yang lebih dikenal dengan nama dervish, berasal dari bahasa Persia darwish yang berarti kerangka pintu, selalu memakai peci panjang 27 cm menjulang ke atas.
Kedua Dervish melangkah ke tengah, membelah barisan jamaah. Kedua tangan menyilang di dada, keduanya menghadap ke pimimpin majelis, menundukkan badan, lalu melangkah mundur, dan mengambil posisi berjarak 3 meter. Si baju putih di Selatan dan si kuning di Utara.
“Sebelum tampil mereka wudhu dulu, lalu memakai pakaiannya dengan dicium tiga kali lalu bershalawat. Kalau sempat, sebelum tampil melakukan shalat 2 rakaat. Lalu saat akan menari dalam majelis, mereka menghadap ke mursyid dulu untuk menyambung rabithah ke Maulana Jalaludin Rumi,” jelas Muhsin.
Diiringi lantunan shalawat dan irama tabuhan rebana, keduanya memutar-mutarkan tubuh berlawanan arah jarum jam bagai bumi mengelilingi matahari. Berporoskan kaki kanan sebagai tumpuan, keduanya berputar konstan, tak melambat maupun bertambah cepat. Kain melingkar yang terpasang di pinggang pun turut berputar. Kain tersebut memutar bergelombang, dari kuncup berangsur mekar.
Hampir bersamaan keduanya mengangkat tangannya ke atas bagai memohon doa dengan telapak tangan terbuka menengadah. Lima menit kemudian kedua tangan turun dengan membentuk pola. Tangan kanan menekuk ke atas, dengan telapak tangan menghadap ke atas. Sedang tangan kiri melingkar mendatar dengan telapak tangan menghadap ke bawah.
Tak kurang dari satu setengah jam, para dervish menari. Mereka baru berhenti berputar dan meletakkan kedua tangannya menyilang di dada. Menundukkan badan memberikan salam hormat dan melangkah mundur meninggalkan majelis.
Acara diakhiri dengan doa maulid oleh pimpinan majelis dan dilanjutkan dengan makan bersama jamaah pengajian.
Muhsin, pengurus Rumi Cafe menjelaskan tarian Sema punya daya tarik tersendiri. Tarian itu bermakna bahwa ada hubungan manusia dalam mendekatkan diri kepada pencipta-Nya, yaitu Allah.
“Islam itu indah, dengan doa dan bershalawat kita beribadah, tarian Sema atau tari sufi itu sebagai representasi kehidupan yang berpusat atau terhubung antara Allah Al-Khaliq dengan makhluk-makhluk ciptaan-Nya,” jelas Muhsin tentang tari Sema.
“Rasanya tenang dan kadang bagaikan terbang, seperti tak ada beban sama sekali…” jelas Ridwan, penari Sema berbaju kuning, tentang apa yang dirasakannya saat menari Sema.
Ridwan mengenal tari Sufi dalam pengajian Gus Ali Gondrong di Ponorogo. Semula, saat tampil dalam pengajian akbar, Ridwan sempat mendapat ledekan dari teman-temannya.
“Tari apa itu ? Cuma muter-muter ngga jelas,” tutur Ridwan saat menirukan ledekan teman-temannya. Meskipun sebagian teman-temannya tak acuh, tapi banyak juga yang mendukung. Termasuk guru SMP nya.
“Banyak teman saya malah, nyuruh saya jangan berhenti belajar hanya sampai di sini, terus tingkatkan,” tutur Ridwan.
“Bapak dan Ibu mendukung semua, bahkan sampai minta agar adik juga diajak belajar, supaya keluarga tambah adem,” ungkap Ridwan menjelaskan dukungan kedua orang tuanya. Anak sulung dari tiga bersaudara itu mengaku baru belajar tari sufi sejak Februari 2014. Sambil menunggu masuk sekolah Madrasah Aliyah, Ridwan mencari dan menghubungi majelis-majelis pengajian yang mau menerimanya belajar tari sufi. Hingga sang paman memanggilnya dari Ponorogo ke Jakarta selama Ramadhan, tujuannya untuk belajar tari sufi di Rumi Cafe.
“Siapa saja boleh ikut atau belajar termasuk Ridwan,” jelas Muhsin. Menurutnya, tari sufi lebih sebagai penarik agar orang mau melihat Islam lebih dekat dan damai. Dia mengenang saat pengajian malam hari di Museum Fatahillah lima tahun lalu, yang menarik banyak perhatian dari berbagai kalangan.
“Mulanya orang yang datang pengajian sedikit. Sementara di luar pengajian dekat museum, justru banyak berkumpul mulai dari anak-anak punk, penyuka musik reggae, metal, ada juga sekumpulan gay dan lesbian. Waktu tari sufi tampil, mereka mendekati lokasi. Mulai berbondong-bondong mendekati pengajian. Nah, setelah itu, sisanya tergantung hidayah dari Allah,” jelas Muhsin. (Sulton/Yudhi)