Buku
Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan: Mungkinkah?
Bulan lalu (3-4 April 2007), Indonesia menjadi tuan rumah sebuah event internasional bertajuk Konferensi Ulama Sunni-Syiah. Konferensi yang berlangsung di Istana Bogor ini diprakarsai oleh NU, serta didukung oleh Muhammadiyah dan pemerintah. Sebagaimana tercermin dalam pernyataan Hasyim Muzadi dan Dien Syamsuddin tentang pentingnya menggagalkan upaya usuh dalam memecah-belah Muslimin, konferensi ini diharapkan mampu menghasilkan piagam persatuan umat Islam.
Namun, masih saja ada segelintir orang, yang melakukan aksi-aksi yang bertentangan dengan semangat persatuan itu. Pernyataan provokatif Syaikh Yusuf Qardhawi (salah seorang ulama esar) bahwa kaum Syiah Irak telah membantai kaum Sunni di sana—saat berkunjung ke Indonesia (Januari 2007)—adalah salah satu di antaranya. Meskipun, pernyataan beliau itu pada kenyataannya tidak memperoleh porsi pemberitaan yang besar. Hal ini dikarenakan dunia pers tentu lebih mampu memilah berita dan opini, bahwa yang terjadi di Irak bukanlah konflik Syiah dan Sunni, apalagi pembantaian kaum Syiah terhadap kaum Sunni.
Sayang sekali, tanpa disadari beliau telah terjebak dalam propaganda yang dihembuskan dan dimotori Amerika, yang didukung oleh kelompok takfiriyah (yaitu segelintir ekstremis Muslim yang menganggap kafir Muslim lainnya yang tak sepaham dengan mereka), dan sisa-sisa pengikut Saddam atau partai Ba’ats. Rekaman video juga membuktikan bahwa tentara AS telah melakukan aksi-aksi teror dengan mengenakan pakaian milisi Irak. Dan sebagaimana yang diberitakan, sekitar 70 persen dari korban tewas akibat teror yang dilakukan selama ini adalah justru orang-orang Syi’ah—di Samarra, Kazhimain, Najaf, Karbala, dan kantung-kantung Syi’ah lainnya—melalui aksi-aksi bom mobil dan bom bunuh diri yang mengatasnamakan jihad. Jadi,
sebenarnya tak ada konflik sektarian di Irak, melainkan kaum Syiah dan Sunni telah sama-sama menjadi korban konspirasi musuh.
Tak hanya itu, pernyataan provokatif kembali beliau lontarkan pada Muktamar Doha (Qatar), di bulan yang sama, bahwa Al-Quran Iran telah mengalami distorsi (tahrif), alias berbeda dengan Al-Quran yang berada di tangan Muslimin. Pernyataan ini jelas mengorek kembali tuduhan-tuduhan klasik, yang telah dijawab oleh banyak ulama Syiah.
Bahkan belakangan muncul “para pemain lama”, yang berupaya memprovokasi Muslimin di Indonesia agar melenyapkan Syiah dari negeri ini. Peristiwa teror terhadap jama’ah Syiah di Bondowoso, Sampang, dan Bangil boleh jadi hanya sebagian kecil dari akibat provokasi ini.
Padahal, aksi mereka itu tak membawa manfaat apa pun kecuali menjadikan mereka sebagai bagian dari konspirasi Zionisme Internasional, khususnya dalam upaya menghancurkan Muslimin.
Melihat kenyataan yang amat memprihatinkan itu, Dr. Quraish Shihab— melalui buku ini—mencoba untuk mengajak ke arah persatuan umat, apa pun mazhab mereka. Sunni dan Syiah, meskipun memuat banyak perbedaan dalam terminologi Ushuludin dan Furu’udin, tidak berarti mustahil untuk bergandengan. “…tiada lain tujuan penulis kecuali terjalinnya hubungan harmonis antar semua kelompok umat Islam, bahkan seluruh umat manusia,” ujar beliau (hal ix).
Dalam buku ini—yang sebenarnya merupakan kumpulan dari makalah beliau dalam acara diskusi di Masjid al-Aqsha, Ujung Pandang, pada 1980—terkesan seolah beliau “membela” pandangan-pandangan Syia. Akibatnya, beliau pun dituding oleh sebagian orang sebagai seorang
Syiah. Bahkan hanya mencantumkan argumen Allamah Thabathabai saja dalam kitab beliau Tafsir al-Mishbah, tudingan serupa juga terlontar. Namun, tudingan-tudingan tersebut beliau tampik. Sebagai gantinya, beliau mengatakan, “Amanah ilmiah menuntut agar menyampaikan apa yang diyakini, khawatir jangan sampai sikap diam dinilai Allah sebagai menyembunyikan kebenaran.” (hal viii)
Sebenarnya apa yang dilakukan beliau itu wajar saja, karena posisi Syiah adalah minoritas di antara komunitas Muslimin di dunia. Sehingga, sudah selayaknya kelompok mayoritas mengenal ajaran dan pandangan Syiah yang sesungguhnya. Dengan demikian, tudingan-tudingan klasik—sebagaimana yang dikorek kembali oleh Syaikh Yusuf Qardhawi di atas—diharapkan tidak muncul lagi di tengah masyarakat seiring membaiknya pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap ajaran Syiah.
Dengan gaya bahasa santun, buku ini mengajak pembaca untuk meneropong isu-isu penting mazhab Syiah—seperti Imamah, Sahabat, Taqiyah, Tahrif, Raj’ah, Bada’, dan lain-lain—yang kerap didistorsi dan disalahpahami, sehingga banyak memancing cemooh bahkan hujatan oleh kalangan pengikut mazhab non-Syiah.
Memang telah banyak buku-buku dari kalangan ulama Syiah, yang membahas secara mendalam isu-isu tersebut. Namun, yang menarik dari buku ini adalah penulis mengambil referensi dari para ulama Ahlusunnah kontemporer, seperti Muhammad Rasyid Ridha, Abdulhalim Mahmud, Muhammad `Imarah, Mahmud Syaltut, dan lain-lain. Bahkan disertakan pula teks asli bahasa Arabnya pada kalimat-kalimat kutipan.
Meskipun beberapa bahasan dalam buku ini masih perlu didiskusikan lagi, namun secara umum buku ini bagus, ilmiah, dan perlu dibaca. Terutama, yang perlu disoroti adalah misi buku ini, yaitu persatuan umat Islam dan terjalinnya hubungan harmonis di antara berbagai pengikut mazhab dalam Islam. Wallahul Musta’an. (Muhammad Anis Maulachela)