Buku
Moralitas Ekonomi Bung Hatta
Mohammad Hatta, salah-satu proklamator RI terlanjur dicap sebagai Muslim sekuler, padahal pemikiran Hatta tidak terlepas dari pandangan keagamaannya.
SURAU : Dalam buku ini Anwar Abbas mengelaborasi pandangan-pandangan Hatta yang jika ditilik dari perspektif Islam sangat sesuai dengan maqhasid al-Syariah atau tujuan-tujuan syariah.
Maqashid al-Syariah mencakup perlindungan terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kehormatan, jiwa, dan harta.
Buku yang diangkat dari disertasi penulis ini di UIN Syarif Hidayatullah ini mengungkap secara mendalam pemikiran ekonomi Hatta yang telah dilupakan banyak orang
Sayangnya para pendukung ekonomi Islam sekarang tidak banyak yang membaca karya-karya Hatta.
Dalam karya-karya Hatta banyak terkandung nilai-nilai spiritual yang mendalam. Relijiusitas Hatta sangat terlihat dari pandangan-pandangannya.
Oleh karena itu tudingan bahwa Hatta seorang nasionalis sekuler juga tidak tepat.
Hatta dituding ikut berperan menghapuskan tujuh kata dalam piagam Jakarta yang membuat geram pada pendukung penegakan syariat Islam.
Namun Hatta sebenarnya cendekiawan Muslim yang berpikiran substantif.
Ia lebih mementingkan isi daripada simbolisme keagamaan.
Baginya, ekonomi Islam adalah ekonomi yang berketuhanan dan berkemanusiaan.
Hal itulah yang terkandung dalam spirit Pancasila, sehingga sebenarnya tak ada perbedaan filosofis antara ekonomi Pancasila dan ekonomi Islam.
Ekonomi yang bermoral adalah inti pandangan Hatta.
Hatta adalah seorang ekonom sekaligus intelektual.
Mungkin tidak tepat menyebutnya sebagai seorang ideolog.
Tapi tak ada yang menampik bahwa Hatta adalah seorang nasionalis, namun di sisi lain ia adalah seorang muslim yang inklusif.
Hasil pembacaannya terhadap berbagai wacana pemikiran ekonomi di dunia menyebabkan Hatta terbuka pemikirannya.
Keinginannya untuk tidak hanya menjadikan Islam sebagai hanya agama ritual, melainkan agama yang juga berkorelasi dengan nilai-nilai keadilan sosial ekonomi.
Dalam pandangan Hatta, setiap Muslim berkewajiban membawa semangat perdamaian dan kemakmuran untuk dunia.
Dalam pergulatan intelektual dan spiritualnya, Hatta meyakini betul nilai-nilai universalisme Islam yang sesuai dengan ajaran-ajaran agama lain.
Hatta bisa dibilang seorang sosialis Islam atau sosialis relijius.
Hatta kemudian mencetuskan istilah ‘ekonomi rakyat’ dan demokrasi ekonomi. Dalam demokrasi ekonomi, rakyat harus mempunyai akses ke cabang-cabang produksi yang penting.
Hatta mencoba merekonstualisasikan ajaran Islam dengan kondisi kemodernan.
Hatta beranggapan bahwa ilmu ekonomi yang hanya menganggap kepentingan individualisme sebagai sarana untuk mencapai kemakmuran harus diluruskan.
Dalam pandangan Hatta, kepentingan bersama yang harus diutamakan ketimbang kepentingan individu.
Inti dari pandangan ekonomi Hatta adalah kemaslahatan bersama.
Menurut Hatta, keadilan adalah sarana untuk mencapai masyarakat yang adil dan sejahtera.
Manusia adalah khalifatullah fi al-ardh yang bermakna sebagai pengemban misi Tuhan untuk memakmurkan dunia.
Manusia hanya memiliki hak guna pakai bukan hak milik untuk mendayagunakan bumi dan isinya.
Untuk mencapai tujuan kemakmuran bersama, manusia harus saling bekerja sama dan tolong-menolong.
Sikap altruisme (mau menolong orang lain) lebih penting ketimbang sikap mau untung sendiri.
Kalau berpijak pada pandangan Hatta, ilmu ekonomi yang kini dipelajari di sekolah dan perguruan tinggi harus direvisi total.
Ilmu ekonomi yang diajarkan di sekolah menengah dan fakultas ekonomi berpijak dari individualisme semata.
Manusia itu rakus, homo economicus, dalam pandangan mazhab ekonomi neoklasik.
Pandangan Hatta ini jelas bertolak belakang dengan Adam Smith yang menganggap manusia pada dasarnya egois dalam bukunya Wealth of the Nations.
Hatta menganggap setiap hak milik pribadi mempunyai fungsi sosial.
Kesesuaian pandangan Hatta dengan sosialisme bukanlah suatu kebetulan sejak mudanya Hatta membaca karya-karya Marx, Robert Fourier, dan Proudhon.
Bahkan Hatta menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara Islam dan sosialisme.
Hatta bukan Marxis. Hatta adalah Muslim sejati.
Pergulatan intelektual dan spiritual Hatta itulah kurang dibahas dalam buku ini.
Dalam konteks Indonesia, Bung Hatta menawarkan ilmu ekonomi yang khas Indonesia dan tidak terlalu terpaku dengan teori-teori konvensional dari Barat.
Hatta menawarkan ilmu ekonomi yang khas Indonesia dengan mempertimbangkan aspek sosiologis dan historis bangsa ini.
Masyarakat Indonesia sejak dahulu dikenal dengan kegotong-royongannya.
Dengan kata lain, Hatta menekankan pada semangat tepa salira antar sesama anggota masyarakat.
Ilmu ekonomi syariah atau ekonomi Islam yang dipelajari di Indonesia hanya berkutat pada masalah-masalah fikih semata. Jarang sekali mengkaji substansi dari pemikiran ekonomi.
Pengajaran ekonomi syariah di Indonesia kurang mengangkat sisi intelektualisme dari sebuah wacana.
Karya-karya klasik Ibnu Khaldun dan Ibnu Taimiyah yang sering dijadikan rujukan para pengkaji ekonomi Islam memang sarat dengan nilai, akan tetapi belum tentu pemikiran mereka juga relevan dalam konteks keindonesiaan mengingat kondisi zaman dan setting sosial historis yang berbeda.
Seharusnya wacana pemikiran alternatif dibuka kembali.
Dengan demikian wacana ekonomi syariah tidak menjadi dogma.
Dalam silabus ilmu ekonomi syariah di berbagai universitas saat ini nama Hatta jarang disebut.
Ilmu ekonomi syariah tidak dilihat dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu lain seperti politik, sosiologi, dan antropologi.
Dalam konteks kebangsaan, ilmu ekonomi seharusnya tidak boleh terpisah dari berbagai macam aspek dalam kehidupan.
Terlepas semua itu di atas, pandangan Hatta ini patut direnungkan di tengah bangsa yang sedang mengalami kegalauan akan masa depannya.
Buku ini adalah satu-satunya buku yang mengelaborasi pandangan Hatta di bidang ekonomi.
Jika kita melihat ke dalam kondisi sekarang ini, maka apa yang diidealisasikan oleh Hatta sangat jauh berbeda dengan kenyataan.
Hatta tidak terlalu setuju dengan pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan asas kekeluargaan.
Bumi, air, dan cabang-cabang produksi yang penting dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar.
Rakyat kecil hanya mendapat sedikit tetesan dari keuntungan perusahaan-perusahaan tersebut.
Buku ini merupakan perenungan dari apa yang telah disampaikan Hatta.
Penulis menggunakan bahasa yang bisa dicerna bagi orang yang tidak berlatar pendidikan ekonomi.
Pandangan Hatta terlihat sangat relevan dengan kondisi kebangsaan kita hari ini di saat kenaikan harga-harga yang membebani rakyat.
Buku ini bisa menjadi sarana introspeksi bagi pemimpin bangsa dalam membangun negeri.
Hanvitra, adalah penulis lepas, pernah kuliah di Program Studi Timur Tengah dan Islam (PSTTI) Universitas Indonesia.