Berita
Buya Hamka: Biografi Sang Pembaharu
Dalam dekade 1970-an sampai awal 1980-an kalau orang bertanya, siapa pemimpin ulama Indonesia? Jawaban yang pasti adalah Buya Hamka. Sosok Hamka sebagai ulama dan pujangga Islam Indonesia tidak hanya dikenal luas di tanah air, tapi juga di luar negeri.
Saya masih ingat tulisan Dr. Nurcholish Madjid dalam buku 70 Tahun Buya Hamka (1978) mencatat peranan dan ketokohan Hamka sebagai figur sentral yang telah berhasil ikut mendorong terjadinya mobilitas vertikal atau gerakan ke atas agama Islam di Indonesia, dari suatu agama yang “berharga” hanya untuk kaum sarungan dan pemakai bakiyak di zaman kolonial menjadi agama yang semakin diterima dan dipeluk dengan sungguh-sungguh oleh “kaum atas” Indonesia merdeka. Hamka berhasil merubah postur kumal seorang kiyai atau ulama Islam menjadi postur yang patut menimbulkan rasa hormat dan respek. Cak Nur lebih lanjut mengutarakan, melihat keadaan lahiriah yang ada sekarang, sulit membayangkan bahwa di bumi Indonesia akan lahir lagi seorang imam dan ulama yang menyamai Buya Hamka.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo yang terkenal dengan nama Hamka dilahirkan di Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat pada 16 Februari 1908 (13 Muharram 1326 H). Dari segi keturunan, Hamka mewarisi darah ulama dan pejuang yang kokoh pada pendirian. Ayahnya Dr. H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), ulama besar dan salah seorang tokoh utama dari gerakan pembaharuan atau modernisme Islam di Minangkabau yang terkenal dengan sebutan Kaum Muda. Hamka meresapkan dalam pikirannya pesan ayahnya yang diucapkan ketika Muktamar Muhammadiyah tahun 1930 di Bukittinggi, “Ulama harus tampil ke muka masyarakat, memimpinnya menuju kebenaran.”
Hamka semasa kecil dididik pertama kali di Diniyah School dan Sumatera Thawalib Padang Panjang, di samping ditempa di lingkungan pendidikan surau. Dia mewarisi dari ayahnya kecerdasan dan daya ingat yang sangat kuat. John L. Espito dalam Oxford History of Islam menyejajarkan Hamka dengan Sir Muhammad Iqbal, Sayid Ahmad Khan dan Muhammad Asad.
Modal Hamka yang utama sebagai seorang intelektual-otodidak adalah keberanian dan ketekunan. Karena dedikasinya di bidang dakwah, pada tahun 1960 Universitas Al-Azhar Cairo menganugerahkan Doktor Honoris Causa kepada Hamka yang membawakan pidato ilmiah berjudul “Pengaruh Ajaran dan Pikiran Syekh Mohammad Abduh di Indonesia”.
Kemudian, dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Hamka memperoleh Doktor Honoris Causa (Doktor Persuratan) yang pengukuhannya tahun 1974 dihadiri Perdana Menteri Tun Abdul Razak. Semasa hidupnya dalam kapasitas sebagai Guru Besar yang dikukuhkan oleh Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama, Jakarta, Hamka sering memberi kuliah di berbagai perguruan tinggi. Demikian pula ceramah dakwah Hamka melalui Kuliah Subuh RRI Jakarta dan Mimbar Agama Islam TVRI diminati jutaan masyarakat Indonesia masa itu.
Ulama Berjiwa Independen
Sosok Hamka yang ramah, akrab dengan anak muda dan tiada jarak dengan segala lapisan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari sejarah Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta. Hamka saat itu baru pindah ke Jakarta diminta saran oleh Yayasan Pesantren Islam (YPI), manakah yang akan dibangun lebih dahulu, bangunan sekolah ataukah masjid, mengingat dana yang ada sangat terbatas?. Dia memberi saran, bangunlah masjid lebih dahulu!
Hamka kemudian sebagai pemimpin, khatib dan Imam Besar Masjid Agung Al-Azhar yang pertama kali menggerakkan kegiatan masjid yang paling luas pengaruhnya di tanah air itu. Ceramah-ceramah subuh di Jakarta dipelopori oleh Masjid Agung Al-Azhar. Seperti diketahui dari sejarah, masjid Al-Azhar menjadi kubu pertahanan umat Islam terhadap Komunis/PKI yang hendak menguasai Indonesia sebelum lahirnya Orde Baru. Dari kompleks Masjid Agung Al-Azhar yang selesai dibangun tahun 1957 itu Hamka menggerakkan penerbitan majalah Gema Islam, dan memimpin majalah Panji Masyarakat sejak terbit hingga ditinggalkan untuk selamanya.
Hamka menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama tahun 1975 sampai 1981. Dia berhasil membangun citra MUI sebagai lem-baga independen dan berwibawa untuk mewakili suara umat Islam. Hamka menolak mendapat gaji sebagai Ketua Umum MUI. Mantan Menteri Agama H.A. Mukti Ali mengatakan, “Berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara. Tanpa Buya, lembaga itu tak akan mampu berdiri.”
Dalam sejarah hidupnya kita membaca Hamka mengisi tempat yang penting di dalam perjuangan kemerdekaan nasional di Sumatera Barat. Selanjutnya tahun 1950-an dia aktif dalam Dewan Pimpinan Masyumi. Salah satu statement yang melukiskan muruah (martabat) sebagai pemimpin umat, antara lain tatkala politik menjadi “panglima” sekitar 1950-an, dia mengatakan, “Kursi-kursi banyak, dan orang yang ingin pun banyak. Tetapi kursiku adalah buatanku sendiri.”
Sebagai pengawal akidah umat, Hamka sebagai Ketua Umum MUI, menyampaikan masukan kepa-da Presiden Soeharto mengenai persoalan Kristenisasi, dan sikap Presiden sejalan dengan pandangan MUI bahwa kalau hendak menciptakan kerukunan beragama, maka orang yang sudah beragama jangan dijadikan sasaran untuk propaganda agama yang lain.
Pada awal dekade 70-an Hamka mengingatkan umat Islam terhadap tantangan al-ghazwul fikri (penjajahan alam pikiran). Menurut Hamka, penjajahan alam pikiran beriringan dengan penghancuran akhlak dan kebudayaan di negeri-negeri Islam. Sekularisasi atau sekularisme adalah setali tiga uang dengan ghazwul fikr yang dilancarkan dunia Barat untuk menaklukkan dunia Islam, setelah kolonialisme politik dalam berbagai bentuk gagal.
Di mata tokoh Nahdlatul Ulama (NU) K.H.A.Syaikhu dalam buku Hamka Di Mata Hati Umat, Hamka menempatkan dirinya tidak cuma sekedar pimpinan Masjid Agung Al-Azhar atau organisasi Muhammadiyah saja, tetapi juga sebagai pemimpin umat Islam secara keseluruhan, tanpa memandang golongan.
Teguh Pada Prinsip dan Pemaaf
Tafsir Al-Quran yang diberi nama Tafsir Al-Azhar, sesuai dengan nama masjid Al-Azhar tempat Hamka selalu memberi kuliah subuh, adalah karya terbesar Buya Hamka di antara lebih dari 114 judul buku mengenai agama, sastra, filsafat, tasauf, politik, sejarah dan kebudayaan yang melegenda hingga hari ini.. Karya-karya Hamka mempunyai gaya bahasa tersendiri yang khas. Tafsir Al-Quran lengkap 30 juz itu disusun ketika dia berada dalam tahanan politik rezim Orde Lama selama 2 tahun lebih.
Kalau orang lain bebas dari tahanan politik mengeluarkan buku kecaman terhadap rezim penguasa. Tapi Hamka, keluar dari tahanan menghasilkan tafsir Al Quran. Malahan dia pun secara terbuka lewat tulisannya memaafkan semua orang yang pernah menyakitinya saat mereka berkuasa. Ketika mantan Presiden RI pertama Ir. Soekarno wafat 21 Juni 1970 Hamka bertindak sebagai imam shalat jenazahnya. Suatu akhlak mulia dan suri tauladan bagi bangsa Indonesia. Menjelang pertengahan 1981 Hamka meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum MUI. Dia berhenti karena mempertahankan prinsip daripada mencabut peredaran Fatwa MUI yang menyatakan bahwa mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Ulama besar Hamka wafat di Jakarta 24 Juli 1981 (22 Ramadhan 1401 H) dalam usia 73 tahun.
Buya Hamka, seorang ulama, pemimpin, pujangga, pengarang, sejarawan, dan pendidik dalam arti yang luas sudah lama meninggalkan kita. Namun pengabdian, karya dan sumbangannya dalam membangun kesadaran umat Islam dan cita-cita bangsa tetap dikenang dan menjadi inspirasi bagi generasi masa kini. (Fuad Nasar).
Sumber : www.depag.go.id