Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Memahami Pemikiran Islam Soekarno Sang Prokamator

Islam yang kita catut dari Kalam Ilahi dan sunnah bukan apinya, bukan nyalanya, bukan! Tapi abunya, debunya, ach, ya asapnya, abunya yang berupa celak mata dan surban……..abunya yang bisanya cuma baca Fatihah dan tahlil, bukan apinya yang menyala-nyala dari ujung zaman  satu ke zaman yang lain.

 

(Ir. Soekarno, 1940)

Dalam diskursus politik Islam Indonesia, Sukarno selalu diposisikan sebagai penentang gerakan Isam paling wahid yang harus berhadapan dengan pemikir-pemikir Islam taat seperti M. Natsir. Bahkan, H. Agus Salim pernah menuduhnya telah keluar dari Islam. Tidak hanya itu, tidak jarang namanya diidentikkan dengan Kemal at-Taturk yang menghapus lembaga khilafat dan melakukan sekularisasi menyeluruh di Turki. Sangat gampang mencari pembenaran atas sekularisme Sukarno. Dia-lah penentang gigih visi Islam sebagai asas negara. Dia pula yang telah membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi.

Parahnya, dia sempat diposisikan sebagai musuh Islam karena hubungan dekatnya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Begitulah aktivis Islam Politik pada waktu itu merayakan kebenciannya pada Sukarno dengan mendukung Suharto naik tahta. Tentu, sangat tidak adil kalau hanya menuduh tanpa menelaah pemikiran dan dasar-dasar keyakinannya. Risalah pendek ini berambisi membuka (kembali) lembaran pemkirian keIslaman dan relijiusitas Sukarno.

Menggunakan pernyataan Robert N. Bellah, sebagai analogi, bahwa ajaran (nabi) Muhammad sangat modern dan justeru karena terlalu modern sehingga masyarakan Arab belum siap menerimanya. Maka banyak ajarannya yang kemudian diselewengkan. Dalam tingkatan yang berbeda, juga bisa dikatakan bahwa pemikiran keIslaman Sukarno terlalu maju, sehingga masyarakatnya belum siap menerimanya. Maka dia harus rela ditentang oleh umat yang justeru mau dibela. Sukarno sadar akan kondisi ini, menurutnya hal itu terjadi karena jiwa umat Islam sudah begitu lama dikerangkeng oleh doktrin kolot. Mereka sudah menjadi umat Islam sontoloyo yang enggan melangkah. Padahal Islam itu sendiri sangat progress, Islam adalah kemajuan (Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, LP3ES, 1987).

Sebelum terlalu jauh memasuki alam fikir Islam Sukarno, risalah ini akan memulai pengembaraannya dengan mencatat biografi singkat dan proses sosialisasi politik Sukarno dengan harapan bisa melacak jejak pengaruh dalam proses pematangan pemikirannya. Setelah itu, risalah ini akan  berusaha masuk ke dalam dunia fikir Islam Sukarno yang pada masanya selalu mengandung daya kejut atau dalam bahasa Nurcholis Madjid Psycological Striking Force.

Biografi dan Sosialisasi Politik Sukarno

Sukarno lahir pada tanggal 06 Juni 1901, tapat pada saat fajar bersiap menyinari bumi manusia. Karena itu, ibunya selalu memenggil Sukarno sebagai putra fajar yang pada suatu saat akan membawa cahaya penerang bagi tanah airnya. Lahir dari hasil perkawinan silang budaya memeliki pengaruh kuat terhadap Sukarno. Ayahnya, Raden Sukemi, bangsawan rendahan Jawa sedangkan ibunya, Ayu Nyoman Rai Sarimben, putri Bali kasta Brahmana. Perkawinan Sukemi dan Ayu Nyoman ini adalah bentuk pemberontakan terhadap tradisi. Sebab pada waktu, kasta Brahmana tidak boleh kawin dengan orang Jawa. Kawin dengan orang Jawa berarti menjadi Islam, itu tidak diinginkan oleh kasta Brahmana yang memiliki strata terhormat di Bali.

Nama Sukarno kecil adalah Koesnososro, tapi karena sering sakit, kemudian namanya diganti Sukarno.  “Nama kelahiranku adalah Kusno. Aku memulai hidup ini sebagai anak yang penyakitan. Aku mendapat malaria desenti, semua penyakit dan setiap penyakit. Bapak menerangkan, namanya tidak cocok dan harus diganti supaya tidak sakit lagi. Aku belum mencapai masa pemuda ketika bapak menyampaikan penggantian nama padaku. Dia bilang “Kus engkau akan kami beri nama Karno”. Karno adalah pahlawan terbesar dalam cerita Mahabarata”. Begitulah Sukarno menceritakan kisah hidupnya. (Cindy Adam, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Gunung Agung, 1966)

Sukarno melewati masa kecilnya di Tulungagung (Kediri) bersama kakeknya yang kesohor, Raden Hardjodikromo. Di Tulungagung Sukarno selalu menikmati malam dengan menonton pertunjukan wayang. Dia menghayati cerita-cerita wayang yang diambil dari tokoh-tokoh sejarah dan legenda Jawa. Salah satu cerita kesukaannya adalah perang Bharata Yudha yang mengisahkan perjuangan kaum Pandawa melawan kaum Kurawa dalam memperebutkan kerajaan Ngastina yang merupakan hak kaum Pandawan tapi sudah dikuasai oleh kaum Kurawa.

Sekolah formalnya dia tempuh di Sekolah Dasar Bumi Putra Mojokerto, kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar Belanda (Eoropees Logere School, ELS). Setelah lulus dia melanjutkan ke sekolah lanjutan, Hogere Burger School (HBS) di Surabaya. Di sana dia tinggal bersama Tjokroaminoto, pimpinan Sarekat Islam (SI). Setelah itu, Sukarno melanjutkan ke sekolah tinggi teknik, Tesnische Hogere School (THS) di Bandung.

Surabaya adalah kota persentuhan Sukarno dengan dunia pemikiran. Tjokroaminito sering mengajak Sukarno menghadiri acara SI dan ikut nimbrung dalam pertemuan-pertemuan tokoh-tokoh SI di rumah Tjokroaminoto. Salah satu tokoh yang saering diikuti obrolan dan ceramahya oleh Sukarno adalah kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri dan pimpinan Muhammadiyah.

Namun, pematangan pemikiran Sukarno terjadi ketika berada di penjara Sukamiskin. Di tempat inilah Sukarno mengkaji al-Quran dalam terjemahan Inggrisnya dan juga banyak belajar dari buku-buku Lathrop Stoddard tentang sejarah Islam dan Syed Ameer Ali tentang semangat Islam. Pematangan yang ke dua terjadi di Endeh, tempat pembuangannya di Flores. Di tempat ini, Sukarno menunjukan minat yang tinggi terhadap Islam, dia selalau mengirim surat ke A. Hasan, Pimimpin Persatuan Islam (PERSIS) di Bandung, meminta buku-buku keIslaman dan bertukar pendapat. Di tempat ini juga dia menunjukkan minatnya mempelajari Hadits dan Fiqh, bahkan dia bebeapa kali mendesak A. Hasan dalam suratnya agar cepat dikirimi kumpulan Hadits Bukhori Muslim walaupun pada akhirnya A. Hasan tidak menemukan kitab itu dalam bahasa yang Sukarno mengerti (Sukarno tidak bisa bahasa Arab).

Namun justeru persentuhannya dengan Hadits dan Fiqh inilah, Sukarno menemukan penyebab kemunduran Islam, yakni banyaknya hadits dhaif  yang terlanjur diterapkan dan kerangkeng fiqh terhadap jiwa Islam. Dalam suaratnya yang ketiga kepda A. Hasan, Sukarno mengatakan bahwa hadits dhaif dan palsu inilah penyebab Islam diliputi kabut kekolotan, ditambah lagi dengan fiqh yang hampir memadamkan api Islam. Padahal menurutnya, tidak ada agama yang sangat rasional dan maju seperti Islam. Dan dalam suratnya yang keempat Sukarno mengatakan bahwa tugas utama pemimpin Islam saat ini adalah perjuangan melawan kekolotan, perjuangan melawan Islam sontoloyo agar Islam kembali pada jiwanya sebagai Islam kemajuan. (Sukarno, Surat-Surat Islam dari Endeh, dimuat kemabil dalam Dibawah Bendera Revolusi, 1964)

Menuju Islam Kemajuan

Dalam tulisannya berjudul Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, Sukarno terusik dengan perkataan Prof. Tor Andrea bahwa Islam saat ini sedang manjalani “ujian apinya sejarah. Kalau ia menang, ia akan menjadi teladan bagi seluruh dunia; kalau ia kalah, ia akan merosot ketinggalan selaman-lamanya”. Perkataan ini sangat menggelisahkan Sukarno, maka pemikiran keIslamannya ia maksudkan agar Islam menang dalam ujian apinya sejarah itu. Untuk menang, yang harus dilakukan Sukarno adalah mencari hukum-hukum sejarah, termasuk sebab-sebab kemunduran dan kemajuan umat Islam. Tema ini sebenarnya merupakan tema sentral dalam pergulatan pembaharuan Islam yang dimulai oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.

Mula-mula mereka terusik oleh kemajuan Barat, lalu bertanya kenapa Islam mundur. Kemudian, Afghani mengeluarkan diktum terkenal: Barat maju karena meninggalkan agamanya dan Islam mundur juga karena meninggalkan agamanya. Maka untuk maju umat Islam harus memperkuat tali agamanya dengan kempali pada Islam otentik (quran-hadits). Dengan pergulatan yang sama, Sukarno mengatakan bahwa penyebab kemunduran Islam adalah kesenjangan yang lebar antara perkembangan masyarakat yang tunduk pada hukum-hukum sejarah dengan pemahaman dan doktrin Islam. Masyarakat sudah hidup di zaman kapal udara sementara pemahaman dan doktrin Islam masih hidup di zaman onta. Kembali ke quran dan hadits saja tidak cukup jika cara berfikir dan pemahamannya masih pemahaman zaman onta.

Yang dibutuhkan oleh umat Islam adalah lompatan historis dan berani memandang zamannya sesuai dengan pemahaman dan cara fikir zamannya dengan dilandasi kalam ilahi. Dalam suratnya yang terahir kepada A. Hasan, Sukarno mengatakan bahwa quran dan hadits bisa menjadi pembawa kemajuan, suatu api yang menyala, kalau kita baca quran dan hadits itu berdasar pengetahuan umum dan science. (Sukarno, Surat-surat Islam dari Endeh, dimuat kembali dalam DBR, 1964)

Sukarno menyaksikan peristiwa aneh karena di zaman kapal udara masih ada orang yang mau kembali pada zaman onta, dan bahkan ada pula yang tidak mau maju tapi juga tidak mau mundur. Mereka duduk termangu menyaksikan lalu lalang perubahan dan kemajuan yang suatu saat akan melindasnya.

Dengan mengutip Heraclitos, Sukarno mengatkan bahwa seumuanya akan berubah, berubah ke arah kemajuan. Tidak mau berubah berarti menentang hukum sejarah, menentang berarti siap dipinggirkan oleh sejarah. Itulah tanda-tanda kekalahan Islam dalam ujian apinya sejarah, karena mereka lamban atau tidak mau menerima perubahan. Mereka statis dan telah terbiasa dengan Islam sontoloyo. Menurut Sukarno, penyebab statisme ini adalah pensakralan fiqh dan berbagai ijma’ ulama’ yang kemudian berujung pada penutupan pintu ijtihad. Fiqh telah menjadi algojo roh-semangat Islam. (Sukarno, Islam Sontojo dalam DBR, 1964)

Dalam tulisannya berjudul Me “muda” kan Pengertian Islam, Sukarno menguti Prof. Farid Wajdi yang mengatakan bahwa Islam bisa maju jika dilandaskan pada kemerdekaan roh, kemerdekaan akal, dan kemerdekaan pengetahuan. Maka, roh yang selama ini dirantai oleh fiqh haruslah dilepas rantainya, akal yang selama ini dipasung oleh ijma’ ulama’ haruslah dibuka pasungannya, dan pengetahuan yang selama ini ditutup oleh bab el-Ijtihad haruslah dibuka tutupnya. Dengan mengutip Sajid Amir Ali, Sukarno mengatakan bahwa Islam itu sperti karet, karena itu tidak ada yang bisa membatasi kemerdekaan roh, akal,dan pengetahuan dalam Islam.

Islam menghargai kemerdeaan roh, akal, dan pengetahuan karena Islam agama rasional. Dengan rasio kita melakukan rethinking of Islam untuk membuang abu Islam dan menangkap apinya. Dan dengan rasio juga kita menangkap makna atau roh dibalik huruf-huruf dalam kalam ilahi. Hanya dengan menangkap roh atau apinya, Islam bisa kembali menjadi Islam Kemajuan seperti yang pernah dialami oleh Islam generasi pertama.

Subairi, pegiat diskusi di Indonesian Culture Academy (INCA), Ciputat.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *