Nasional
Rektor UII: Netizen Indonesia Harus Mampu Berpikir Mandiri
Rektor UII: Netizen Indonesia Harus Mampu Berpikir Mandiri
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Fathul Wahid meminta pengguna media sosial di Indonesia tidak mudah terbawa arus narasi publik dan mampu berpikir secara mandiri.
“Tidak mudah terbawa arus narasi publik, terutama jika kredibilitas informasi yang beredar tidak bisa diverifikasi,” kata Fathul Wahid dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Sistem Informasi di Kampus UII Yogyakarta, Senin (30/5), seperti dikutip Antaranews.
Dengan mampu berpikir mandiri, menurut Fathul, bangsa Indonesia dapat memanen manfaat media sosial sebagai penyubur demokrasi. Dengan begitu, informasi yang menyebar melalui media sosial diharapkan sudah tersaring.
“Sudah tersaring meski tidak sempurna sehingga dapat diharapkan untuk menghadirkan pencerahan dan kesadaran baru,” ujarnya.
Menurut Fathul, di era demokrasi, media sosial memberikan harapan untuk membebaskan warga negara dari rezim yang otoriter. Namun, di sisi lain, media sosial juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan represi atau memanipulasi opini publik, bahkan membangun kediktatoran.
Tak hanya itu, Fathul menambahkan bahwa politisi menggunakan medsos secara manipulatif, tidak jarang memainkan perasaan publik untuk mendapatkan atensi dan keterlibatan.
Baca juga : Hari al-Quds, Masyarakat Kalbar: Satu Solusi untuk Palestina, One State Solution
Bahkan, berdasarkan hasil wawancara ahli strategi media sosial yang terlibat dalam kampanye calon presiden pada awal 2016, Fathul menyampaikan bahwa oknum politisi pengguna medsos ada yang menyewa para pesohor (Influencer) dengan cacah pengikut yang banyak.
“Sebuah cuit sepanjang 140 huruf, misalnya ketika musim pemilihan presiden bahkan bisa berharga Rp100 juta,” katanya.
Dalam konteks perhelatan politik, kata Fathul, kebebasan memungkinkan direnggut oleh oknum tertentu dengan manipulasi dan penggiringan opini melalui media sosial sehingga akal sehat menjadi sulit berfungsi.
Oleh sebab itu, ia mengatakan, di samping mampu menjadi pemikir mandiri, pengguna medsos yang tercerahkan perlu mengkonter dengan narasi tandingan untuk meluruskan informasi.
“Pengguna media sosial yang tercerahkan dan mempunyai kesadaran etis baik akan dampak buruk informasi palsu dapat secara kolektif melakukan,” katanya.
Seperti diketahui, media sosial telah menghubungkan miliaran manusia di muka bumi sehingga informasi dapat menyebar dengan kecepatan yang sangat tinggi.
“Ketika yang menyebar adalah informasi menginspirasi, maka semakin banyak orang yang akan teredukasi,” tuturnya.
Baca juga : Peringati Hari al-Quds, Ribuan Massa Aksi Semarang Pekikan “Mampus Israel”!