Dunia Islam
Tantangan Puasa Di Negeri Seberang
Bagi warga Indonesia yang tinggal di Tanah Air, menjalani bulan suci Ramadhan saja sudah penuh dengan pernik-pernik warna. Lalu bagaimana dengan mereka yang menjalani ibadah puasanya di luar negeri? Apa saja cerita dan pengalaman unik mereka menjalankan ibadah puasa jauh di negeri seberang?
Untuk mengetahuinya lebih jauh, ABI Press menghubungi dua orang Muslimah yang tinggal di luar negeri. Erna Melianti Schneiter, seorang pebisnis sekaligus ibu rumah tangga yang tinggal di Swiss dan Dian Kuswandini, mahasiswi S2 jurusan International Strategic Management Université Paris Ouest, Perancis.
Puasa di Paris, 20 Jam Menahan Lapar
Bagi Dian, mahasiswi S2 jurusan International Strategic Management Université Paris Ouest ini, puasa kali ini adalah tahun kedua ia berpuasa di Perancis. Tahun pertama baginya lumayan berat karena waktu puasa mencapai 19-20 jam, apalagi saat ini sedang musim panas, jadi cuaca sangat panas. Tapi di tahun ke-2 ini Dian mengaku sudah mulai terbiasa.
Di Paris, Dian bergabung dengan komunitas Muslim seperti para pendatang dan keturunan Aljazair, Maroko, dan Tunisia. Di Paris sendiri sudah ada Komunitas Hijab Paris, yang didirikan oleh sahabatnya, keturunan Maroko dan satu lagi teman Perancis yang mualaf. Di komunitas inilah acara bersama saat bulan Ramadhan diadakan. Anggotanya terdiri dari Muslimah dari berbagai negara, baik yang berhijab dan yang tidak.
Dian menuturkan, ibadah puasa di Paris lebih terasa kesederhanaannya. Buka puasa ala kadarnya, tidak berlebihan. Jauh dari segala komersialisme Ramadhan seperti di Indonesia. Tetapi Dian mengakui puasa di Indonesia jauh lebih nyaman karena suasananya semarak. Di Paris tak ada azan Maghrib dan seruan sahur, tanpa tarawih di mesjid, tanpa keluarga, tanpa jajanan-jajanan khas Indonesia, dan di mana-mana melihat orang makan.
Menurut Dian, teman-temannya sangat tertarik dengan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penganut Islam terbesar di dunia. Banyak juga dari teman Dian menyatakan sangat ingin pindah dan tinggal di Indonesia. Mereka memimpikan bisa menikmati Ramadhan dengan suasana Islami ala Indonesia.
Ada juga cerita unik dari Dian. Antusiasme Dian untuk menjalankan ibadah puasa ternyata mampu membuat Irina, teman Muslim asal Rusia untuk ikutan berpuasa. Meski terlahir sebagai Muslim, Irina belum pernah berpuasa sekali pun seumur hidupnya. Karena dia begitu tergoda dengan “cerita-cerita” Dian tentang puasa, dia pun akhirnya berikrar untuk berpuasa. Sejak hari pertama sampai saat ini, dia berpuasa tanpa bolong.
Puasa di Tengah Sentimen Anti-Islam di Swiss
Lain Dian, lain pula cerita Erna Melianti Schneiter. Warganegara Indonesia yang menikah dengan warga asli Swiss, Ueli Schneiter ini menjalani ibadah puasa Ramadhannya di Swiss di tengah-tengah gencarnya sentimen anti Islam yang disuarakan oleh partai anti Islam, Social Volks Party (SVC).
Ibu dua anak yang akrab dipanggil Ibu Yanti ini menuturkan puasa di Swiss memang lebih panjang waktunya dibanding di Indonesia. Di Swiss ia sekeluarga berpuasa 18 jam lamanya. Ditambah saat ini masa musim panas. Untungnya musim panas kali ini tidak terlalu panas sehingga puasa tidak terlalu berat.
Ibu Yanti mengakui puasa di Swiss tidak senyaman di Indonesia yang menurutnya sudah ½ surga. Ini karena di Swiss Mesjid jaraknya jauh, sedikitnya Muslim di sekitarnya, dan siaran penerangan tentang Islam di Swiss TV atau radio hampir tak ada. Apalagi sikap warga Swiss itu 80% menolak puasa dan Islam. Partai politik di sini menolak keras adanya menara masjid. Berkali-kali Muslimin di Swiss mengajukan izin mendirikan Masjid tetapi ditolak.
Meski begitu, Ibu Yanti tetap yakin dan khusyuk menjalankan ibadah puasanya. Ia mengisi puasa Ramadhannya dengan mengikuti kegiatan di sebuah bangunan yang dijadikan mushalla kecil, al-Wazaan, yang berjarak 10 km dari rumahnya. Pemerintah Swiss sendiri sebenarnya tidak mengijinkan didirikannya Masjid, tetapi karena tempat itu adalah milik privat, maka dibiarkan.
Di situlah banyak Muslimin dari berbagai tempat berkumpul untuk berbuka puasa. Banyak yang bersedekah, membawa kurma, roti, dan panganan lain. Rata-rata mereka dari Timur Tengah dan Asia Tenggara.
Meski dengan semua kesulitan yang dihadapinya, Bu Yanti menyebutkan ada satu hal yang disyukurinya di Swiss. Yaitu tidak adanya isu sektarian seperti di Indonesia. Semua Muslim di Swiss tidak pernah membeda-bedakan soal Sunni atau Syi’ah. Semua menerima apa adanya dan menghormati saudara seiman se-Islamnya.
Di akhir wawancara, Bu Yanti berharap sebagaimana di Swiss yang semangat ukhuwahnya erat, agar umat Islam di Indonesia yang sekarang dilanda fitnah sektarian menyadari betul bahwa sesama umat Islam itu satu dan bersaudara. “Jangan hanya mencari perbedaan, carilah persamaan dengan rasa toleransi dalam beribadah,” pesannya. (Muhammad/Yudhi)