Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Nasionalisme: Sebuah Perspektif Etika (Bagian dua)

Nasionalisme: Sebuah Perspektif Etika (Bagian dua)

Oleh: Musa Kazhim

Yang lebih spesifik terkait tema ini kita dapat merujuk pada hadis masyhur ihwal cinta wathan. Dalam hadis itu disebutkan bahwa hubbul wathan minal iman. Arti harfiahnya: cinta wathan adalah bagian dari keimanan. Lantas, apa maksud dari wathan di sini? Para ahli fiqih menjelaskan bahwa wathan adalah tempat lahir kita atau tempat mukim kita selama setidaknya 6 bulan tanpa keluar darinya sama sekali. Artinya di sini unsur kedekatan, keterikatan, afinitas fisik, dan kemanunggalan memang digarisbawahi. Kriterianya bukan ideologis melainkan geografis.

So, tempat yang disebut wathan, yang mencintainya merupakan bagian dari keimanan, adalah tempat kelahiran kita atau tempat yang kita tinggali dalam kurun waktu yang cukup lama. Ia bukan tempat singgah, tempat kerja, tempat wisata, bahkan bukan tempat ziarah. Inilah tempat kita hidup, beribadah, bergaul, membesarkan keluarga, merajut mimpi dan cita-cita, bersosialita, berdagang, bergotong royong, dan bersama-sama membangun. Inilah yang kemudian disebut dalam konsep modern dengan state atau negara.

Adalah konyol dan bertentangan dengan moralitas paling dasar bilamana ada orang yang menyatakan bahwa nasionalisme—dalam perspektif di atas—bertentangan dengan Islam sebagaimana yang dikatakan oleh Ustadz Felix Siauw.

Argumen salah yang sering dikemukakan oleh para penentang nasionalisme ialah ekses yang ditimbulkannya berupa primordialisme, rasisme, sukuisme, chauvanisme dan segala rupa fanatisme lain. Jika kita menerima argumen ini maka kita juga harus melarang agama yang eksesnya juga bisa menimbulkan fanatisme yang sama atau bahkan lebih.

Argumen keliru lain yang juga sering dipakai untuk menolak nasionalisme ialah dasar universalisme yang dianut Islam, yakni bahwa misi  nubuwah  Muhammad adalah rahmat bagi seluruh alam. Tapi lagi-lagi argumen ini sebenarnya tidak menolak gradualisme, yakni proses yang bertahap sebagaimana yang juga Allah ajarkan: “Jauhkan dirimu dan keluargamu dari neraka” (QS. 6:66). Ayat ini bukan menolak universalitas tanggungjawab kita menyelamatkan seluruh manusia bahkan alam semesta. Tapi, penyelamatan harus dimulai dari yang paling dekat.

Last but not least, Mukadimah Konstitusi Indonesia sesungguhnya telah meletakkan nasionalisme dalam konteks etika yang kuat dan sangat selaras dengan Islam. Ada beberapa dalil yang perlu kita perhatikan di sini.

Pertama, ia didudukkan dalam prinsip kemerdekaan sebagai hak semua manusia dan bangsa.

Kedua, nasionalisme dalam Mukadimah dijelaskan dengan istilah yang lebih bijak dan tepat, yakni Persatuan Indonesia, sebagai ganti dari istilah nasionalisme yang relatif multi tafsir. Persatuan Indonesia lebih menukik pada substansi etis nasionalisme seperti yang kita uraikan di atas ketimbang istilah nasionalisme itu sendiri.

Ketiga, Persatuan Indonesia itu pada saat yang sama, dalam satu tarikan napas, diletakkan dalam konteks “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial….”.

Keempat, dan inilah inti kekuatan, keindahan dan kefasihan teks Mukadimah Konstitusi kita, bahwa Persatuan Indonesia, yang tidak lain adalah nasionalisme dalam arti etis, didasarkan pada konsep Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Di atas prinsip-prinsip seperti itu, jelas nasionalisme tidak akan melenceng dari jalur keadilan hingga dapat menimbulkan ekses primordialisme, chauvanisme, rasisme dan beragam fanatisme bodoh lainnya.  Sebaliknya, dalam genggaman kuat prinsip ketuhanan, kemerdekaan dan keadilan, gagasan negara-bangsa atau nasionalisme bertemu dengan prinsip kemanusiaan universal (rahmatan lil ‘alamin) yang menjadi fondasi sosial Islam. Ini nasionalisme yang benar.

Wallahu a’lam bi shawab.