Berita
Seminar Jejak Tasawuf Filosofis Indonesia
Sejalan dengan pesan Konperensi Sufi Internasional yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta, 16 Juli 2011 lalu, yang menyerukan masyarakat khususnya umat Islam untuk terus merujuk ajaran Islam yang menebarkan cinta kasih kepada sesama manusia, penyelengara seminar ini juga berpendirian bahwa tasawuf dapat berperan penting dalam membangun jiwa dan karakter yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan universal dan pada gilirannya bisa mengurangi potensi segala bentuk kekerasan dan konflik.
Akan tetapi, kami tidak menutup mata dengan segenap paradoks yang mengisi kehidupan nyata bangsa kita hari ini. Di satu sisi, bangsa kita yang dijuluki oleh Martin van Bruinessen sebagai bangsa yang mencintai tasawuf (a Sufism-loving country) dengan karakter cinta damai, namun di lain sisi, berbagai bentuk kekerasan dan konflik atas nama agama sering terjadi dan terus berulang entah sampai kapan. Gejala fanatisme dan radikalisme pun menguat di kalangan generasi muda (menurut riset Lakip, 45 persen anak muda Islam cenderung mendukung atau setidaknya permisif terhadap gejala itu). Paradoks lain adalah bagaimana menjelaskan mewabahnya korupsi yang menjangkiti hampir seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara padahal tasawuf – yang telah menjadi elemen pokok kebudayaan bangsa kita – esensinya bertujuan membangun karakter dan integritas moral.
Paradoks itu perlu diselidiki untuk mencari faktor-faktor yang menghalangi bekerjanya dimensi cinta tasawuf dalam pembangunan mental masyarakat kita. Perlu dibuka penelitian apakah model tasawuf yang selama ini berkembang di tanah air tak lagi memiliki efek edukasi yang kuat terhadap pembentukan karakter umat yang hidup dalam zaman yang diliputi ketakpastian dan perubahan setiap saat. Mungkin saja sinyalemen Anthony Giddens (The Consequences of Modernity: Modernity and Self-Identity, 2001) benar bahwa bagi orang-orang yang hidup dalam masyarakat tradisional, tindakan-tindakan individual bukanlah perkara yang terlalu dipikirkan, karena umumnya mereka bertindak berdasarkan tradisi dan kebiasaan. Tetapi masyarakat post-tradisional, pilihan-pilihan moral sangat banyak terbentang di hadapan kita dan tindakan-tindakan individual lebih memerlukan refleksi dan pemikiran, sesuai dengan prinsip “more choices, deeper thought”.
Nah, persoalannya adalah apakah tradisi tasawuf yang dipraktekkan selama ini melatih kekuatan refleksi dan pemikiran dalam membuat keputusan-keputusan moral? Apakah pengajaran tasawuf yang terlalu syaikh-centered yang menafikan potensi akal kreatif sang murid turut meluruhkan kapasitas keotentikan dan melemahkan karakter para murid kita? Atau bagaimana kita menolak tuduhan Prof. Van Ess (dikutip oleh Hans Kung, Christianity and World Religions, 1986) yang menulis, “Muslims are unused to the idea of autonomous morality” (Kaum Muslim tidak terbiasa dengan gagasan moralitas otonom) kalau kenyataannya sebagian umat kita yang santun dan menebar kesalehan di masjid tetapi korup dan menebar fitnah di kantor.
Seminar ini bertujuan untuk mempromosikan sebuah model tasawuf yang selama ini tak berkembang di tanah air meski kita mengenal tokoh-tokoh seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani atau Syeikh Siti Jenar. Kita hendak menguji apakah tasawuf-filosofis bisa diarahkan untuk membangun tradisi intelektual umat Islam? Bagaimana kerja kognisi kreatif dalam tasawuf dapat menumbuhkan etos cinta ilmu pengetahuan dan sekaligus basis spiritual-intelektual bagi tindakan-tindakan moral dan sosial umat? Sejauh manakah tradisi tasawuf dapat berguna untuk menghadapi problema kemanusiaan hari ini? (Husein Heriyanto)