Dunia Islam
Pernik Cerita Ramadhan: Dilema Puasa Kuli Bangunan
Banyak cerita saat Ramadhan. Di Jakarta, misalnya. Tepat hari kedua puasa, panas terik matahari terasa begitu menyengat. Padahal, hari-hari sebelumnya, menjelang datangnya bulan puasa, Ibukota diguyur hujan lebat di beberapa tempat.
Panas matahari menyengat kulit dan asap kendaraan yang mencemari udara di jalanan itu mungkin tak begitu berarti bagi para pekerja kantoran di gedung-gedung ber-AC. Namun, bagi pekerja di pinggir-pinggir jalan dan tempat-tempat terbuka, sudah tentu cuaca terik itu adalah tantangan tersendiri.
Bagi umat Islam, puasa di bulan Ramadhan merupakan kewajiban yang tak boleh ditinggalkan. Itu sebabnya bagi mereka yang bekerja berat, seperti tukang batu, kuli bangunan, dan sebagainya, tentu akan menjadi ujian mental yang tidak ringan. Artinya, memang tak mudah bekerja berat di tengah terik cuaca panas dalam keadaan sedang berpuasa.
Hal itulah yang dialami Kasman. Kuli proyek di jalan Buncit Raya, Jakarta Selatan ini mengaku tak kuat berpuasa sambil bekerja berat, meskipun dia tahu puasa Ramadhan itu diwajibkan agamanya. Sementara di sisi lain, pekerjaan itu adalah kewajiban utamanya juga agar mampu menafkahi keluarganya.
“Tapi kalau puasa sambil bekerja berat kayak gini, terus terang saya gak kuat, Mas,” ungkapnya kepada ABI Press.
Dilema bagi Kasman, sebagai Muslim di tengah belitan kebutuhan ekonomi, memaksanya harus tetap bekerja. Dan menjadi kuli itulah satu-satunya yang bisa dia lakukan saat ini. Padahal pada saat yang sama agama mewajibkannya berpuasa.
Berbeda dengan Kasman, Okky Suryono, karyawan swasta di sebuah perusahaan di Jakarta ini tak perlu berpanas-panasan saat bekerja. Kantornya, bangunan tinggi yang meneduhinya dari panas terik matahari, masih juga dilengkapi dingin AC yang membuatnya makin nyaman bekerja. Sehingga sebagai Muslim, ia tetap dapat berpuasa tanpa halangan berarti.
Lain Kasman, lain lagi Supardi. Sebagai sesama pekerja bangunan, meski berat, lelaki paruh baya asal Pekalongan ini memutuskan bertahan tetap puasa sambil bekerja seperti biasa.
Ditemui tim ABI Press di tempat kerjanya, di daerah Pejaten, Jakarta Selatan Selasa (1/7), Supardi mengaku ingin berusaha bertahan tetap berpuasa di bulan Ramadhan sebagai pemenuhan kewajiban.
“Sebenarnya berat juga sih. Yang penting sudah nyoba. Kalau nanti akhirnya tidak kuat, ya terpaksa saya batalkan puasanya,” ungkapnya.
Kata Supardi, selain sebagai kewajiban, puasa Ramadhan sudah menjadi semacam tradisi buatnya. Karenanya, akan menjadi beban juga kalau ditinggalkan. Sama halnya dengan bekerja, yang juga merupakan kewajiban yang harus dilakukan demi menafkahi keluarga.
Selain Supardi, ada juga Warnoto. Pemuda asal Pekalongan ini juga tetap berpuasa sambil bekerja. Bersama belasan temannya dari Pekalongan, termasuk Supardi, mereka bekerja di satu proyek. Di antara mereka, ada juga yang sengaja tidak berpuasa. Namun hal itu tak menjadi masalah. Mereka tetap bekerja sama, dan saling senyum sapa. Tak ada sikap saling menyalahkan satu sama lain, sebaliknya justru saling mengerti dan memahami keadaan masing-masing di tengah dua kewajiban yang harus mereka jalani bersamaan yaitu bekerja dan berpuasa.
Bagi umat Islam, alangkah baiknya bila dilema wong cilik seperti tersebut di atas dapat menjadi bahan kajian khusus untuk kemudian dirumuskan jalan keluarnya di tengah kesenjangan sosial masyarakat Indonesia, saat perbedaan jarak antara si miskin dan si kaya terlampau lebar.
Artinya, jika si kaya mau berbagi, membantu meringankan beban saudaranya sesama Muslim, terutama mereka yang hidup dalam kemiskinan, tentu hal ini akan dapat menjadi solusi. Mereka yang tadinya bekerja berat, dapat berkurang bebannya, atau bahkan bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih ringan dan mudah, sehingga dapat berpuasa dalam kondisi normal seperti yang lain tanpa harus terbebani dilema. (Malik/Yudhi)