Opini
Astrofotografi: Sebuah Metode Baru Rukyatul Hilal?
Saat sebagian besar umat Islam Indonesia menunggu sidang itsbat penetapan 1 Ramadhan 1435 H, sore ini (27/6) di Semarang sebuah tim Rukyatul Hilal mengabarkan keberhasilannya memfoto hilal dengan menggunakan teleskop. Metode ini dikenal dengan nama Astrofotografi, yaitu dengan menggabungkan kemampuan beberapa alat dalam satu waktu. Alat yang digunakan tentu saja sebuah teleskop dengan kemampuan canggih untuk menganasir pergerakan benda-benda langit, khususnya dalam hal ini adalah matahari dan bulan. Alat ini mampu secara otomatis mengikuti peredaran bulan secara khusus meskipun di siang hari
Tidak cukup dengan teleskop, ia mesti dikelambu dengan filter untuk mencegah kerusakan optik dari radiasi sinar matahari. Kemudian teleskop juga dikaitkan dengan sebuah GPS dan kamera yang sigap mencandra dan mengabadikan peristiwa penting terlihatnya hilal. Lalu merekamnya dalam bentuk beberapa bongkah foto.
Namun, ada beberapa hal penting untuk diperhatikan di sini. Pertama, data hilal yang diperoleh dari beberapa aplikasi modern seperti starrynight menyebutkan bahwa konjungsi/ijtimak (peristiwa sejajarnya bulan, matahari dan bumi dalam satu garis bujur) terjadi pada jam 15:09:40. Hal ini menunjukkan usia hilal pada tanggal 27/6/14 terhitung pada jam tersebut.
Kedua, berita terlihatnya hilal dengan metode Astrofotografi tersebut diposting oleh sebuah situs pada jam 16.44 wib. Maka pada jarak waktu antara ijtimak dan waktu posting tersebut hilal dapat direkam oleh alat. Padahal metode rukyatul hilal mensyaratkan tidak hanya ijtimak, namun juga ghurub al-syams, peristiwa terbenamnya matahari sebagai syarat munculnya hilal. Hal ini tentu saja telah membatalkan hasil astrofotografi tersebut untuk dijadikan sebagai hujjah datangnya Ramadhan 1435 H.
Ketiga, astrofotografi biasanya memerlukan proses berkali-kali untuk membersihkan hasil rekaman sejernih mungkin untuk diperlihatkan keberadaan hilal. Keempat, metode ini sah-sah saja digunakan untuk bahan pembelajaran para pencinta astronomi pada umumnya dan umat Islam khususnya, namun metode ini perlu legalisasi dari ulama mengingat pengambilan gambar dilakukan bukan setelah matahari terbenam. Kelima, sebagaimana kita ketahui, para ulama secara umum mensyaratkan rukyatul hilal dengan menggunakan mata telanjang dan membolehkan penggunaan alat sekedar alat bantu untuk mengetahui posisi hilal dari matahari untuk ditindaklanjuti dengan mata telanjang.
Sekedar diketahui, data hilal Ramadhan 1435 H (27/6/14) dengan kordinat 6° 6 menit 37 detik LS dan 106° 53 menit BT adalah sebagai berikut: tinggi hilal saat matahari terbenam jam 17:48 adalah -0,4° di atas azimuth 287,2°. Hal ini sangat mustahil untuk dilihat dengan alat bahkan mata telanjang. Berdasarkan pemantauan beberapa tim di PP. Al-Huseiniyyah, Cakung, Jakarta, misalnya dapat disimpulkan bahwa secara umum langit tertutup awan tebal sehingga matahari bahkan hilal tidak terlihat. Sehingga Sya’ban dibulatkan menjadi tiga puluh hari dan1 Ramadhan jatuh pada Ahad, 29 Juni 2014. Hal senada juga disampaikan oleh hasil sidang Dewan Itsbat Departemen Agama RI, meskipun PP. Muhammadiyyah telah menetapkan 1 Ramadhan jatuh pada tanggal 28 Juni 2014. (Hatem)