Daerah
Mengenang Ustad Husein Al Habsyi: Ulama Kharismatik Teladan Ukhuwah dari Jatim
Haul adalah tradisi yang diadakan setahun sekali di kalangan kaum Muslimin untuk mengenang hari wafatnya seseorang. Terkadang acara tahunan itu diikuti jamaah sampai ribuan orang apabila yang diperingati hari wafatnya dianggap sebagai pribadi mulia atau tokoh terhormat di kalangan masyarakat daerah tersebut.
Salah satu contohnya adalah haul yang dilaksanakan hari Minggu (22/4) lalu oleh Yayasan Pesantren Islam (YAPI) Bangil untuk mengenang wafat almarhum Ustad Husein Al-Habsyi, pendiri pondok pesantren yang terletak di kawasan Pasuruan, Jawa Timur tersebut.
Acara yang dimulai pukul 9 pagi itu dihadiri sekitar 2000-an jamaah. Sebagiannya adalah alumni pelajar/santri YAPI dari berbagai wilayah di Indonesia, baik Jawa maupun luar Jawa, yang memadati area masjid Ats-Tsaqalain di dalam kawasan ponpes itu.
Acara dibuka oleh Habib Ali Bin Husein Al Haddad yang sekaligus memimpin pembacaan surah Yasin dan Tahlil, diikuti oleh para asatid, santri dan para tamu undangan.
Selain itu, setelah pembacaan ayat suci Al Quran, haul juga dimeriahkan dengan lantunan qasidah diiringi musik hadrah atau marawis. Lalu dilanjutkan sambutan-sambutan, pembacaan biografi Ustad Husein, hingga masuk ke acara inti berupa tausiyah atau ceramah agama.
Ceramah pertama disampaikan Ustad Ali bin Umar Al Habsyi, memaparkan tentang sosok Ustad Husein Al Habsyi yang dinilainya sangat tepat untuk dijadikan figur teladan bagi generasi muda saat ini dan yang akan datang. Terutama dari sisi akhlak, kepemimpinan, dan ma’rifah terhadap Allah Swt. Menurut Ustad Ali, dalam berdakwah Ustad Husein lebih mengedepankan metode istiqamah di jalan kebenaran menuju keridhaan Allah Swt.
Selain itu, dipaparkan juga tentang perkembangan pondok pesantren berikut prestasi para santrinya, baik di tingkat kabupaten/kota maupun propinsi, bahkan hingga di tingkat nasional.
Selesai sambutan, sempat juga diperdengarkan isi rekaman tausyiah almarhum Ustad Husein Al Habsyi tempo dulu. Dengan sangat serius dan khusuk para hadirin mendengarkan rekaman tersebut. Khususnya mereka yang dulu pernah berinteraksi secara langsung dengan Ustad Husein Al Habsyi. Dengan mendengarkan rekaman tausyiah itu meski durasinya sangat pendek, diharapkan akan memberikan arti mendalam dan kenangan tersendiri bagi para jamaah.
Dr. Umar Ibrahim Assegaf selaku penceramah inti, mengawali tausiyahnya dengan penjelasan singkat ayat “Shummun bukmun umyun fahum la yarji’un” (QS: 18:1). Menurutnya, istilah orang-orang yang buta, tuli dan bisu itu mengacu pada siapa pun yang gemar berbuat dosa dengan sengaja sementara mereka menikmati perbuatannya, hingga mereka pun lupa cara kembali pada fitrahnya masing-masing.
Dalam kesempatan itu Dr. Umar tak lupa menegaskan tentang arti penting menjaga persaudaraan dan memperkokoh persatuan. Karena seperti diketahui, almarhum Ustad Husein Al Habsyi, selain sangat alim (berilmu) juga dikenal luas sebagai seorang ulama sepuh yang sangat bijak, toleran, dan penganjur sekaligus teladan ukhuwah di kalangan kaum Muslimin di Jawa Timur khususnya, dan di Indonesia pada umumnya.
“Sejak dulu negara kita sudah terkenal dengan slogan Bhinneka Tunggal Ika. Karena itu, meskipun berbeda-beda bangsa dan golongan, kita harus tetap menjunjung tinggi ukhuwah Islamiyah, kecuali kita termasuk dari tiga golongan orang-orang yang gemar berbuat dosa dengan sengaja tadi,” tegasnya.
“Barang siapa yang mengunggulkan diri atau kelompoknya dan merasa dirinya sebagai yang paling benar daripada kelompok lain, lalu ia menjatuhkan vonis dengan menyalahkan kelompok lain itu, maka merekalah sesungguhnya orang-orang yang telah melanggar piagam Madinah,” pesan Dr. Umar tentang arti penting merawat hubungan persaudaraan sesama Muslim dan perlunya mempererat persatuan sebagai sesama anak bangsa.
Karena itulah Dr. Umar juga menekankan kepada kita selaku Muslim agar bisa berfikir dalam kerangka Islami saat memahami perbedaan.
Menurutnya, perbedaan-perbedaan yang terjadi selama ini seringkali bukan terletak pada esensi Islam namun lebih mengarah pada perbedaan produk-produk atau hasil pemikiran para ulama Islam. Inilah yang oleh pihak tak bertanggung jawab sering dijadikan “bola” mainan untuk menyerang kelompok atau mazhab lain yang berbeda.
Padahal, lanjut Ustad Umar, ad-dien itu adalah apa yang berasal dari Al Quran dan sunnah Nabi. Tidak ada unsur pribadi dari manusia, melainkan semuanya murni dari Allah dan Rasul-Nya.
Namun, dari sisi ijtihad, meskipun semua bersumber dari Al Quran dan Sunnah, tetap saja berpotensi melahirkan beragamnya pandangan dari para mujtahid dalam memahami agama. Itulah yang biasanya terjadi; umat Islam tidak berbeda dalam agama namun berbeda dalam memahami dan menafsirkan ajaran atau pengetahuan agama.
Jadi intinya, Al-Haq itu satu, Al Quran satu, Rasul terakhir pun satu. Namun sebagaimana yang selama ini kita ketahui, adanya perbedaan dan keragaman penafsiran itu justru sebuah keniscayaan agar sesama manusia saling belajar dan mengenal satu sama lain dan melahirkan kemajuan. Jika produk pemahaman semua manusia dituntut (mesti) sama, maka Allah Swt tentu tidak perlu mengisi bumi ini dengan manusia melainkan cukup dengan malaikat saja.
Nah, aneka produk befikir itulah yang kemudian diaktualisasikan atau diwujudkan melalui amaliah dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya perbedaan kaum Muslimin dalam upaya mengamalkan sunnah Nabi itulah maka lahirlah berbagai budaya agama. Tak bisa dihindari, wajar jika ada sebagian orang yang menganggap budaya dan ilmu agama sama dengan agama itu sendiri.
Piagam Madinah menegaskan bahwa dari semua manusia yang ada, pada dasarnya kaum Muslimin itu adalah satu ummah. Maka seandainya masih ada yang mendakwahkan tentang kelompoknya sebagai Muslim sementara yang berbeda pandangan dengannya dicap bukan Muslim bahkan dianggap kafir, maka berarti orang atau kelompok seperti inilah yang tidak memahami semangat piagam Madinah sebagaimana diajarkan Nabi.
Padahal yang jauh lebih penting dalam Islam, adalah bagaimana caranya menjadi Muslim yang menjunjung tinggi prinsip rahmatan lil ‘alamin, yang mampu menjadi rahmat bagi semesta alam. Jadi bukan hanya untuk kelompok atau mazhabnya, namun untuk semua Muslim secara universal tanpa dibatasi sekat-sekat geografis yang memisahkan. (Fuad-Arif/Yudhi)