Berita
Apa Kabar Pengungsi Muslim Syiah Sampang?
Kabar pilpres menyesaki surat kabar, media online dan layar kaca, seolah Indonesia hari ini adalah milik para capres-cawapres semata. Makin pudar kabar berita tentang sebagian rakyat Indonesia yang hari demi hari tak tentu nasibnya, seperti nasib para pengungsi Muslim Syiah Sampang yang hingga kini tetap tertahan di kamp pengungsian Puspo Agro, Jemundo, Sidoarjo.
Terhitung setahun sepuluh bulan sudah pengungsi belum mendapat kepastian tentang nasib mereka ke depannya seperti apa. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan biaya hidup Rp. 709 ribu/kepala bagi pengungsi sebagai konsekuensi dari keputusan politik yang telah diambilnya, namun semua itu tidaklah cukup.
Selasa (10/6) kemarin para pengungsi kembali mendapatkan jatah bulanan untuk bulan Juni 2014 sejumlah Rp. 709 ribu. Sementara bulan Mei sebelumnya jatah bulanan yang sampai ke tangan mereka hanya 400-an ribu rupiah saja, karena kabarnya harus dikurangi biaya berbagai hal.
Tak banyak yang bisa pengungsi lakukan selain menerima keputusan pemerintah tersebut. Meski menurut salah satu dari mereka, uang Rp. 709 ribu itu tentu saja tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apalagi di tempat pengungsian itu segala sesuatu harus dibeli, sangat jauh berbeda dengan di kampung halaman mereka sendiri.
“Di sini segala sesuatu harus beli,” ujar Nurcholis. “Kalau di kampung untuk makan kita tinggal ambil di ladang, semuanya sudah ada,” tambahnya.
Saat ini, setelah diusir dari kampung halamannya, hanya demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja, para pengungsi pria terpaksa harus bekerja di pasar sebagai kuli pengupas kulit kelapa. Padahal, sebelum menjadi pengungsi mereka punya ladang dan ternak serta rumah yang layak sebagai tempat berteduh.
Keluhan yang sama disampaikan Marnia. Wanita pengungsi dengan satu orang anak yang masih duduk di bangku PAUD Rusunawa itu mengungkapkan bahwa uang jatah bulanan dari pemerintah itu tidaklah cukup. Terlebih bagi para orangtua seperti dirinya yang mesti memenuhi sekian banyak kebutuhan anaknya yang masih kecil.
Saat ABI Press bertanya apa sebenarnya yang Marnia inginkan, dia hanya menjawab singkat, “Kami ingin cepat pulang.”
Begitulah rintihan para pengungsi semakin tak didengar dan pupus dalam gelora kampanye capres-cawapres. Dalam debat pertamanya, masing-masing kandidat tak sedikitpun menyinggung derita pengungsi Sampang, anak bangsa yang masih terpenjara dan hidup di pengungsian.
“Kapan kami pulang?” Itulah satu pertanyaan sederhana para pengungsi, yang tak mampu di jawab oleh penguasa hingga detik ini. (Lutfi/Yudhi)