Laporan Utama
Takfirisme Menurut Ahlulbait Indonesia (ABI) (Bag. 2)
Wawancara Eksklusif dengan Sekjen ABI, Drs. Ahmad Hidayat, MA
Ustaz, apa pengaruh dari takfirisme ini bagi Syiah? Terutama bagi Syiah yang ada di Indonesia?
Pertama, saya ingin mengatakan begini. Bahwa gejala takfirisme ini adalah gejala perusakan terhadap peradaban. Gejala perusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Gejala tentang perusakan terhadap hak-hak asasi manusia. Karena itu yang terancam dengan munculnya kelompok takfiri, bukan hanya Syiah.
Betul saya sebagai seorang penganut Islam mazhab Syiah Imamiah Itsna Atsariyah, meyakini bahwa Islam yang saya anut sama dengan Islam yang dianut oleh Islam Ahlusunnah wal Jama’ah. Yang Allah Swt yang disembah sama, Al-Qur’annya sama, Nabinya sama, kiblatnya sama, yang prinsip-prinsip teologinya juga sama, kecuali sistem penjelasnya yang berbeda dan persoalan-persoalan furu’ yang berbeda. Namun itu tidak lantas menyebabkan seseorang boleh disebut kafir.
Nah, karena itu ketika gejala takfirisme itu merebak di mana-mana, maka sungguh, yang pertama kali seharusnya merasa terancam adalah peradaban manusia yang menghargai perbedaan.
Kalau bangsa Indonesia membiarkan kelompok takfiri, ini sama dengan membiarkan kelompok vandalisme, kelompok terorisme, dan kelompok yang akan melakukan perusakan. Yang nantinya sasarannya bukan hanya Syiah, tapi sasarannya adalah siapa saja yang dianggap tidak sepaham atau tidak mengikuti pahaman yang dibangun oleh kelompok takfiri maka layak dilenyapkan dari muka bumi ini. Termasuk eksistensi NKRI.
Karena itu sebenarnya yang harus paling merasa terancam dengan ancaman takfirisme di Indonesia ini adalah negara ini. Dan siapa pun yang menjadi pejabat negaranya atau pemerintahannya bertanggung jawab untuk menertibkan kelompok takfiri ini. Karena gerakan takfirisme tidak saja bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, tapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Prinsip-prinsip ajaran kemanusiaan yang dianut oleh setiap orang yang berakal sehat.
Siapa lagi yang sebenarnya terancam oleh takfirisme ini?
Yang sebenarnya harus merasa terancam lagi adalah mayoritas masyarakat Indonesia ini, yakni Muslim Ahlusunnah wal Jama’ah, yang diwakili oleh Muhammadiyah dan NU. Kita sama tahu, sebagian besar ritual agama yang dijalankan oleh NU itu dianggap bid’ah oleh kelompok takfiri. Dan bid’ah itu ujungnya, kalau kita lihat rentetan hadis itu, ujungnya di neraka. Artinya orang yang masuk neraka itu adalah orang yang kafir.
Dan sesungguhnya ketika mereka membid’ahkan apa yang diamalkan NU, misalnya ziarah kubur, tahlilan, maulidan, dan ritual-ritual lainnya yang ada dan sudah menjadi kebiasaan umat Islam di Indonesia, yang bukan tak punya penjelasan di dalam hadis Nabi, itu dianggap bid’ah, maka itu sama saja dengan menghukumi 90% umat Islam di Indonesia ini akan masuk neraka. Dan siapa saja yang dianggap pantas masuk neraka berarti dianggap kafir juga. Karena itu saya kira kelompok kedua yang harus merasa terancam adalah mayoritas umat Islam di Indonesia.
Bagaimana sikap ABI sendiri dalam menghadapi kelompok takfiri ini?
Kami, masyarakat Muslim Syiah, sebagai bagian tak terpisah dari entitas Muslim Indonesia tentu bertanggung jawab untuk memberikan penjelasan kepada bangsa ini. Kepada setiap kelompok masyarakat, termasuk kepada kelompok yang suka mengkafirkan, bahwa pengkafiran yang mereka lakukan itu keliru, itu salah paham, itu salah kaprah.
Sebaiknya takutlah kepada Allah Swt, untuk menjatuhkan tuduhan pengkafiran kepada setiap orang yang shalat menghadap kiblat, yang haji ke baitullah, yang menyembah Allah Swt, yang di rumahnya membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an, yang mencintai Rasulullah Saw dan keluarga suci beliau. Kalau saudara-saudara kita yang ada di kelompok takfiri itu menyadari, insha Allah gejala-gejala itu akan hilang dari bumi Indonesia yang kita cintai.
Kami juga bersilaturahmi dengan Kiai Said Agil Siradj, ketua PBNU. Kami silaturahmi dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Din Syamsuddin, dan menyampaikan kekhawatiran yang sama. Sekaligus mengajak, ayolah sebagai bagian dari anak bangsa, kita yang sama-sama seagama Islam, kita turut bertanggung-jawab untuk menjaga stabilitas bangsa ini, keharmonisan bangsa ini. Untuk menjaga bangsa ini hidup dalam prinsip tasamuh.
Tasamuh itu adalah prinsip toleransi. Dan toleransi itu adalah ajaran agama Islam yang diakomodir oleh bangsa ini dengan Pancasila dan UUD 1945. Kita sebenanrya sangat berharap Muhammadiyah, NU, dan seluruh ormas Islam yang ada di Indonesia ini untuk duduk bareng, duduk bersama dan mengajak kelompok-kelompok yang saling mengkafirkan itu agar kita sama saling memahami, agar kita saling membangun pengertian di antara kita. Bahwa tidak ada tujuan yang kita lakukan dalam seluruh program yang kita kerjakan ini kecuali mengembalikan pandangan hidup kita, cara hidup kita, sikap kita, dan tujuan hidup kita hanya pada Allah Swt. Karena hanya dengan itulah kita selamat.
Terima kasih atas kesempatan wawancaranya, Ustaz. Sebagai penutup, mungkin ada pesan dan harapan yang ingin ABI sampaikan kepada umat Islam di Indonesia?
Ya. Harus dimengerti bahwa Syiah, dengan ABI sebagai salah satu ormasnya, tidak mengajak siapa pun masuk Syiah. Tidak juga mengajak orang masuk ABI. Tapi kami mengajak orang kembali kepada Allah Swt, pada Al-Qur’an Muhammad Saw. Kita juga berharap bahwa NU, Muhammadiyah dan ormas lain tidak mengajak orang masuk ke NU atau Muhammadiyah. Tapi mengajak orang masuk ke Islam menuju Allah Swt, untuk Rasulullah Saw, untuk Al-Qur’an.
Karena kita ini sebenarnya ‘ndak punya umat. NU ‘ndak punya umat. Yang punya umat itu hanya Muhammad Rasulullah. Ahlulbait Indonesia itu ‘ndak punya umat. ‘Ndak boleh mengklaim punya umat. Muhammadiyah juga tidak boleh mengklaim ini umat propertinya. NU jangan mengklaim ini umat propertinya. Syiah juga jangan mengklaim ini umat propertinya. Ini umat adalah umatnya Muhammad Rasulullah Saw.
Jadi kita semua berbondong-bondong lewat ormas, lewat organisasi kita masing-masing kembali kepada Nabi, kembali kepada Allah Swt. Bukan kepada Syiah, bukan kepada Muhammadiyah, bukan kepada NU, bukan kepada ormas-ormas apa pun. Ormas ini, atau sekte atau pun mazhab ini hanya sebagai media saja. Kita melihatnya sebagai sarana untuk mempelajari Al-Qur’an, untuk mempelajari tauladan hidup Nabi, yang dari itu muncul kecintaan jiwa Islami yang kuat.
Kalau prinsip ini dimiliki semua pihak, saya percaya umat Islam akan bisa hidup rukun di mana pun mereka berada. (Muhammad/Yudhi)