Internasional
Memilih Pemimpin Masa Depan Indonesia
Pancasila sebagai dasar negara kita sering kali dipertentangkan dengan Islam. Hal ini menyebabkan sejumlah golongan umat Islam bermaksud untuk mengubah dasar negara Pancasila. Sebenarnya seperti apa kepemimpinan dalam Islam dan kepemimpinan dalam Pancasila? Benarkah keduanya bertentangan?
Seminar Internasional “Kepemimpinan dalam Perspektif Islam dan Pancasila; menuju Pilpres 2014” yang dilaksanakan Kamis (5/6) lalu di Sekolah Tinggi Bintul Huda Jamiah Al-Musthafa, Qom, Iran, berusaha menjawab tanda tanya umat Islam tentang kriteria kepemimpinan dalam Islam dan Pancasila, serta seperti apa seharusnya pemimpin Indonesia selanjutnya.
Acara yang digagas Himpunan Pelajar Indonesia (HPI) Iran ini diikuti sekitar seratus mahasiswa Indonesia yang berada di negeri Mullah itu. Dibuka pukul 10 hingga pukul satu siang, seminar diisi oleh tiga pembicara, yaitu Dian Wirengjurit, Duta Besar Indonesia untuk Iran, Dr. Mushin Labib salah satu anggota Dewan Syura Ormas Islam Ahlulbait Indonesia dan Muhammad Syamsul Arif, MA, Mahasiswa Program Doktoral jurusan Fikih Politik.
Dian Wirengjurit dalam seminar tersebut menyatakan bahwa seorang pemimpin tidak lahir dengan sendirinya, namun harus dibentuk. Dengan cara membentuk karakternya sesuai dengan tuntunan Islam dan Pancasila maka akan dihasilkan seorang pemimpin yang berkualitas bagi Indonesia.
“Untuk mencapai hal itu, pendidikan adalah kuncinya,” jelas Dian.
Menyikapi pemimpin yang ada di Indonesia saat ini, Dian menyatakan bahwa visi kepemimpinan kita masih lemah sehingga kita tidak memiliki seorang pemimpin teladan. Beberapa akibatnya, terjadilah kasus intoleransi dan kekerasan bersifat sektarian di Sampang, Bogor, Cianjur dan lain-lain. Dian berpendapat, kalau saja para pemimpin memiliki karakter keteladanan seperti Sidiq, Amanah, Tabligh dan Fathanah, tentu kejahatan atas nama agama semacam itu tak akan pernah terjadi.
Muhammad Syamsul Arif, MA, sebagai pemateri kedua menerangkan bahwa seorang pemimpin adalah seseorang yang mendapatkan amanat dari rakyat.
Lebih lanjut Syamsul menjelaskan tentang prinsip amanah, bahwa pertama, kekuasaan dan kepemimpinan bukanlah sebuah tujuan. Yang kedua, tujuan kepemimpinan adalah untuk berkhidmat kepada rakyat. Ketiga, Islam tidak pernah mengenal kekerasan, jadi prinsip amanah harus dijalankan dengan lemah lembut dan santun.
Syamsul juga menerangkan dua karakter penting pemimpin ideal dalam Islam. Pertama, seorang pemimpin harus paham betul peraturan perundang-undangan yang diterapkan di negara tersebut. Kedua, dia harus mampu bersikap adil terhadap semua kalangan masyarakat yang dipimpinnya.
Sebagai pembicara terakhir, Dr. Mushin Labib, MA menerangkan bahwa Islam dan Pancasila tidak berada dalam posisi dikotomis. Yaitu bahwa kepemimpinan dalam Islam ibaratnya tak jauh beda dengan kepemimpinan dalam Pancasila. Yang membedakannya adalah Islam dipandang sebagai wahyu yang berarti mutlak, suci dan bersifat vertikal, sedangkan Pancasila dipandang sebagai capaian kesepakatan sosial yang dibangun dengan akal sehat dan bersifat horizontal.
Pancasila dalam hal ini berfungsi sebagai pengikat kesepakatan sosial dalam berbangsa dan bernegara, sehingga apapun agama seseorang yang berada dalam lingkup sosial Pancasila, maka secara otomatis akan terikat dengan kesepakatan sosial itu.
“Pancasila itu menurut Saya adalah salah satu upaya untuk membreakdown Islam yang di dalamnya ada akal sehat yang tidak bertentangan dengan Islam,” ujar Mushin Labib.
Konteks kepemimpinan bagi Mushin Labib ada dua, yaitu konteks keumatan dan kebangsaan. Maksudnya, pemimpin umat adalah pemimpin yang terbebas dari lingkup geografis dan terikat dalam konteks keberagamaan. Sedangkan pemimpin kebangsaan adalah pemimpin yang terikat dalam kontrak sosial yang berlaku di wilayah kepemimpinannya.
Sementara pemimpin bangsa merupakan penghubung antar bangsa, antar individu bangsa agar kepentingan mereka bisa terintegrasi dan tidak terjadi perpecahan. “Maka biasanya pemimpin kebangsaan itu cenderung plural,” ujar Mushin Labib.
Menyoroti permasalahan bangsa Indonesia saat ini, Mushin Labib membaginya menjadi dua masalah serius, yaitu soal korupsi dan intoleransi. Jika kedua permasalahan ini tidak segera ditangani maka habislah NKRI. Karena itu pada pilpres kali ini, calon presiden mana pun yang fokus dan berkomitmen untuk menghapus korupsi dan intoleransi, menurutnya patut didukung.
“Baik Jokowi atau Prabowo, bila menurut kita, dia berkomitmen pada janjinya untuk menghapus korupsi dan intoleransi maka itu akan menjadi pilihan kita,” pungkas Muhsin Labib. (Ali/Yudhi)