Nasional
Diskusi Publik: Rusuh Politik dari Masa ke Masa
Sosok lelaki paruh baya dengan rambut yang mulai memutih tampak mengangguk-anggukkan kepala seperti memberi isyarat setuju atas pernyataan yang didengarnya. Ia memilih duduk di kursi paling belakang di antara puluhan kursi yang berjejer rapi di sebuah Auditorium Perpustakaan Nasional Jakarta.
Berada tepat di samping kami selaku tim ABI Press, sesekali ia terlihat mengulangi anggukannya saat menyimak acara diskusi dengan tema “Rusuh Politik dari Masa ke Masa” yang juga kami hadiri siang itu, Rabu (4/6).
Sesekali ia hentikan anggukannya dan menyapa peserta di kanan-kirinya termasuk kami. “Mas wartawan ya?” tanya dia. “Ya,” jawab kami. Dengan rasa penasaran kami pun mulai berbincang dengannya di sela diskusi yang bercerita banyak tentang sejarah kekerasan terutama di masa Orde Lama yang ketika itu kami belum lahir. Terutama kisah pembantaian terhadap PKI tahun 1965 yang jumlah korban pastinya masih simpang-siur. Ada yang mengatakan 500 ribu ada yang mengatakan lebih.
Kembali ke acara diskusi tadi. Bapak yang duduk di samping kami memperkenalkan dirinya sebagai Alay. Umurnya waktu itu masih tujuh bulan saat pembantaian itu terjadi. “Tapi ibu saya selalu menceritakan kejadian itu ketika umur saya mulai beranjak belasan tahun,” ungkapnya. Lambat laun ia pun paham juga. Ketika ia mulai dewasa kekerasan demi kekerasan di masa Orde Baru pun mulai ia amati sendiri.
Masa seperti itu adalah masa-masa mencekam dan mengerikan baginya. Dengan dahi berkerut ia bercerita lebih detail mengenai kengerian masa itu. Tidak hanya Partai Komunis Indonesia (PKI) yang jadi korban. Orang yang dituduh PKI juga bisa jadi korban. Misal saja ada orang yang benci dengan orang lain. “Tinggal dituduh PKI saja besoknya udah jadi nggak hidup lagi,” jelasnya. Sebab itulah Alay merasa ketakutan jangan sampai ada orang membencinya atau keluarganya karena jika sampai dilaporkan sebagai PKI ia yakin malaikat pencabut nyawa akan segera menghampirinya.
Saat itulah kami mulai paham kenapa ia menganggukkan kepala mendengar pembicara yang mengutarakan pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu.
Kembali ke acara diskusi. Di tengah waktu yang terus berjalan pembahasan diskusi mulai membahas kejadian tahun 1998 yang pada tahun itu dikenal sebagai tonggak awal era Roformasi. Bertepatan dengan penggulingan Presiden Soeharto yang dinilai sebagai penguasa otoriter ini pun diwarnai jatuhnya banyak korban.
Jajang Jamaluddin salah satu pembicara diskusi itu mengatakan bahwa banyak massa misterius yang terlibat dalam aksi itu. “Mereka kumpul di Trisakti dan orang-orang itu tidak jelas siapa dan dari mana,” ungkap Jajang. Menurutnya kelompok misterius inilah yang juga ia nilai sebagai salah satu penyebab terjadinya banyak korban. Jajang selaku tim penulis buku “Masa Misterius Malari (Malapetaka 15 Januari)” yang juga dibedah dalam acara itu menilai korban yang sesungguhnya bisa lebih banyak dari yang disebutkan selama ini. “Karena masa itu adalah masa yang sangat tidak transparan,” tuturnya.
Selain itu masih banyak cerita yang diungkapkan narasumber terkait kerusuhan politik dari masa ke masa. Yang tidak kalah menarik adalah ketika di masa Orde Baru banyak media massa dibredel gara-gara pemberitaannya yang dinilai merugikan penguasa saat itu. Penculikan aktivis serta penembak misterius (petrus) juga mewarnai sejarah pemerintahan Orde Baru. “Pembungkaman ini menjadi efektif bagi kelanggengan kekuasaan Soeharto hingga 32 tahun menjadi presiden,” pungkasnya.
Ramdan salah satu peserta diskusi mengungkapkan kekhawatirannya. Ia takut tahun pemilu ini dapat memicu konflik dan kekerasan seperti di masa lalu. “Karena kekuatan kedua calon penguasa sekarang ini hampir sama,” ujarnya mengungkap alasan kekhawatirannya. Karena menurutnya pihak yang kalah nanti belum tentu akan menerima begitu saja dan itu yang ia nilai akan menjadi pemicu kerusuhan. Mari berharap hal itu tidak terjadi. (Malik/Yudhi)