Siaran Pers
Segera Adili Pelanggar HAM Hak Atas Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan!
Jaringan Nasional untuk Advokasi Keberagaman
Segera Adili Pelanggar HAM HAK ATAS KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN!
Para pendiri bangsa bercita-cita menjadikan Republik Indonesia sebagai Negara yang menjamin keamanan dan kenyamanan setiap rakyatnya dalam beragama, beribadah dan berkeyakinan. Apakah komitmen penyelenggara negara saat ini pada cita-cita luhur tersebut telah luntur? Mengapa negeri ini penuh dengan kelompok-kelompok intoleran yang mengatasnamakan agama? Dan mengapa aksi-aksi kriminal dan pelanggaran HAM mereka dibiarkan begitu saja oleh negara?
Dalam lima tahun terakhir, pelanggaran HAM dilakukan secara sistematis oleh negara terhadap jamaah Ahmadiyah, umat Kristiani, pemeluk mazhab Syiah dan komunitas-komunitas sufi/tarekat di berbagai provinsi Indonesia. Fakta dan data menunjukanbahwa Jaminan atas Kebebasan Beragama, Berkeyakinan dan Beribadah [HAK ATAS KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN] di Indonesia terus memburuk. Akibatnya, sebagian masyarakat korban terusir dari tempat tinggalnya, kehilangan harta benda, anak-anak mereka tidak dapat melanjutkan pendidikan, mendapatkan perlakuan diskriminatif dari lingkungan dan negara, hingga pelanggaran hak-hak fundamental, semisal menjadi korban pembunuhan dan beragam bentuk perampasan kemerdekaan lainnya.
Hasil pemantauan Jaringan Nasional untuk Advokasi Keberagaman menemukan faktor mendasar penyebab kekerasan dan beragam bentuk pelanggaran HAM terhadap kelompok agama dan keyakinan di Indonesia adalah:
Pertama, negara dalam hal ini pemerintah serta alat kelengkapannya, tidak pernah tampil sebagai satu kesatuan yang utuh ketika menangani HAM dalam beragama, beribadah dan berkeyakinan. Satu sisi pemerintah mempromosikan HAM, yakni berupa ratifikasi beberapa instrument penting hukum HAM internasional untuk memperkuat sistem hukum nasional. Namun di sisi lain, pemerintah [termasuk pemerintah daerah] terus memproduksi peraturan-peraturan yang kontra-produktif dengan jaminan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Pemerintah dan pemerintah daerah juga turut andil dalam memicu kekerasan, yakni dengan menerbitkan peraturan atau surat edaran yang melarang pemeluk agama atau kepercayaan yang dianggap sesat untuk menjalankan ibadah, semisal pelarangan Ahmadiyah di Samarinda, Pandeglang dan di Jawa Timur. Bahkan pelarangan pendirian tempat ibadah juga masih menjadi persoalan serius di tahun 2013, sebagaimana di GKI Taman Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi, kasus enam belas Gereja di Aceh Singkil.
Kedua, alat negara, dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia [Polri], yang seharusnya tampil di garda terdepan dalam memberikan jaminan perlindungan; justru melakukan pembiaran ketika massa intoleran melakukan serangan, kekerasan, pembunuhan dan beragam bentuk pelanggaran HAM lainnya terhadap kelompok agama dan keyakinan yang dianggap sesat atau ilegal. Polri yang seharusnya mengambil tindakan tegas, justru tidak berdaya menghadapi massa intoleran. Adapun tindakan minimalis yang diambil Polri, yakni melakukan evakuasi kelompok yang menjadi target serangan massa intoleran.
Pelanggaran yang dilakukan Polri: [1] pembiaran; yakni Polri tidak mengambil tindakan effektif untuk menghentikan penyerangan, intimidasi dan ancaman yang dilakukan oleh kelompok intoleran. Bentuk pelanggaran HAM lainnya yang dibiarkan oleh Polri, berupa penggusuran dan pengusiran paksa, penganiayaan dan diskriminasi; [2] Polri bersama dengan massa intoleran turut serta membubarkan acara / ritual keagamaan yang diselenggarakan oleh kelompok minoritas. Misalkan, Polisi Polres Kapuas membubarkan paksa sekitar 400 orang jamaah pengajian di Masjid Nur Hidayah, Anjar Mambulau Barat, Kabupaten Kapuas, pada hari Sabtu, 5 Januari 2013 dengan alasan tidak ada ijin.
Maka penyelenggara negara harus menjawab apakah masyarakat korban tidak dapat lagi menggantungkan harapan mereka kepada negara? mengapa korban dibiarkan melindungi dirinya sendiri dari serangan kaum intoleran? Padahal pembiaran yang berlarut-larut pada penyerangan beruntun terhadap korban akan memaksa masyarakat korban membela diri mereka dengan kekuatan. Maka siklus kekerasan akan terus diproduksi di masyarakat. Karena kegagalan alat-alat negara memberi perlindungan.
Kami, Jaringan Nasional untuk Advokasi Keberagaman menuntut:
- Calon presiden dan wakil presiden saat ini berkomitmen menjamin terpenuhinya hak kebebasan beragama, beribadah dan berkeyakinan kepada seluruh warga negara tanpa kecuali.
- Presiden dan Wakil Presiden terpilih menjadikan penyelesaian kasus-kasus intoleransi dan kekerasan berbasis agama sebagai agenda prioritas tahun pertama pemerintahannya.
- Presiden hasil pemilu 2014 mengambil langkah-langkah serius untuk memperbaiki cara pandang dan kinerja kepolisian Indonesia (Polri) dalam menangani kasus-kasus tindak kekerasan berbasis agama terhadap kelompok komunitas agama, mazhab dan kepercayaan tertentu.
- Pemerintah RI mencabut kebijakan dan perundang-undangan yang berpotensi menimbulkan konflik dan kekerasan berbasis agama terhadap kelompok komunitas agama, mazhab dan kepercayaan tertentu.
- Kepolisian RI harus melakukan penyelidikan dan memastikan penghukuman terhadap anggotanya yang terlibat dan atau membiarkan praktik pelanggaran HAM [pelanggaran hukum] dalam kasus-kasus pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
- Komnas HAM agar melakukan upaya-upaya untuk memastikan terjadinya pengadilan HAM bagi para pelaku pelanggaran hak atas kebebasan beragamadan berkeyakinan.
- Pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah nyata untuk memastikan terpenuhinya hak-hak korban intoleransi khususnya kelompok perempuan dan anak, atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.
Para pelanggar harus diadili !!
Solidaritas Perempuan, KontraS, Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah [JMSPS] Aceh;
Forum Islam Rahmatan Lil’Alamin Aceh; Komunitas SEHATI Makassar; Global Inklusi Perlindungan Aids [GIPA] Makassar; LBH Makassar, Komunitas Peace Maker Kupang [KOMPAK];
Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial [LKIS];