Opini
Kibarkan Bendera Untuk Kemerdekaan Palestina #2
Oleh: Abdul Hakim Dj.
Melihat Prahara di Tanah Para Nabi
Syaikh Jarrah merupakan puzzle dari sekumpulan kepingan yang harus dilihat dengan lensa lebar, bukan dengan kacamata kuda yang justru akan mempersempit permasalahan Palestina sebagai “konflik sektarian” berlandaskan agama. Teroris zionis memang berupaya membangun narasi bahwa mereka adalah makhluk pilihan Tuhan yang berhak atas “tanah yang dijanjikan”. Narasi itu memang mempengaruhi sebagian kalangan, sehingga melahirkan gelombang dukungan bagi teroris zionis di negara-negara mayoritas Kristen. Menariknya, dalam survei Gallop yang diungkapkan Romo Felix Irianto Winardi di laman media sosialnya, terjadi pergeseran sikap publik, khususnya di Amerika Serikat, terhadap zionis-“israel”. Secara linear, pergeseran sikap itu berpengaruh terhadap dukungan khalayak terhadap kemerdekaan Palestina: 50% responden mendukung berdirinya Negara Palestina merdeka, dan hanya 39% yang menentang. Massifnya dukungan terhadap kemerdekaan Palestina terlihat jelas dengan aksi-aksi solidaritas di hampir setiap penjuru dunia belakangan ini.
Para aktivis pro kemerdekaan Palestina tak hanya demonstran jalanan, tapi juga anggota kongres di parlemen. Rencana rezim Amerika Serikat menyuplai senjata untuk teroris zionis, misalnya, selain mendapat perlawanan publik mereka sendiri juga dibuat mentah di ruang kongres. Beberapa anggota kongres aktif menggalang dukungan terhadap AOC yang menolak penjualan persenjataan tempur sebesar $375 Miliar ke rezim zionis “israel” (Al Jazeera, 2021).
Warga Amerika Serikat memang tak kekurangan aktivis kemanusiaan yang berani membela rakyat Palestina. Salah satunya yang paling tragis sekaligus heroik adalah Rachel Corrie, pegiat kemanusiaan asal Amerika Serikat. Ia menjadi tumbal buldozer teroris zionis pada 2003 silam saat berusaha menghalangi kendaraan raksasa itu menghancurkan rumah warga Palestina (Corrie, 2008). Namun, lagi-lagi peristiwa itu dianggap biasa, bahkan imperatif, oleh rezim ilegal zionis demi membungkam kebenaran. Logika biadab yang sama dipraktikkan teroris zionis saat membombardir kawasan sipil Gaza yang diklaim presiden AS, Joe Biden sebagai self-defence. Padahal, kebrutalan pesawat tempur zionis dalam membombardir rakyat sipil Gaza lebih diakibatkan mereka gagal menemukan situs-situs rudal kelompok perlawanan Hamas dan Jihad Islam yang selama itu menghujani seluruh wilayah pendudukan dengan ribuan rudal.
Kisah agresi brutal rezim zionis terhadap rakyat sipil Gaza selalu dimulai dengan narasi “membalas serangan Hamas”. Padahal Hamas justru didirikan rakyat Palestina untuk merespon tema besarnya berupa kolonalisme Palestina oleh rezim zionis ‘israel” sokongan AS. Dalam setiap peristiwa perlawanan pun, Hamas hanya membalas setiap pukulan zionis yang menghantam warga Palestina tak bersenjata. Hamas dicap kelompok teroris karena membela tanah airnya. Hamas dituduh menjadikan warga sipil Palestina sebagai tameng hidup. Faktanya, Hamas berasal dari rakyat Palestina, sebagaimana TNI bagi rakyat Indonesia di masa revolusi, tanpa pandang latar agama maupun etnik. Tuduhan tak berdasar itu sebenarnya merupakan dalih bagi rezim zionis untuk melakukan progrom yang dikenal dengan istilah “ethnic cleansing“.
Para pejuang Hamas di front terdepan telah mewakili para pejuang kemanusiaan di seluruh dunia untuk memberantas penyakit kemanusiaan yang sebenarnya, rezim zionis israel. Mereka melakukan pembelaan diri atas hak-hak mereka yang dirampas dan kemanusiaan yang diinjak-injak. Noura Erakat, aktivis pembela HAM dan penulis, di laman media sosialnya mengatakan, “Ketika mereka memberi tahu kami bahwa agresi zionis akan berakhir jika Hamas menghentikan tembakan roketnya, ingatkan mereka bahwa Mahmoud Abbas telah menyetujui hampir semua persyaratan yang diajukan israel dan AS, dan sebagai gantinya, yang kami dapatkan hanyalah perambahan kolonial pemukim yang lebih dalam.”
Namun, solidaritas hingga perlawanan terhadap kolonialisme dan penindasan rezim zionis “israel” terhadap Palestina yang mendunia dan fenomenal sekarang ini tak akan pernah terjadi andai Revolusi Islam di Iran pada 1979 tak pernah terjadi. Sebelum revolusi, penjajahan Palestina sama sekali tidak mendapat perhatian dunia. Para monarkis dan negara di kawasan bahkan hanya sibuk memusuhi rezim zionis demi menggantikannya menjajah Palestina. Perang Arab-“israel” pada 1967 dan 1973, misalnya, hanya untuk kepentingan domestik para pihak yang terlibat dan tidak sama sekali berurusan dengan kemerdekaan Palestina.
Imam Khomeini yang memimpin Revolusi Islam langsung menyerahkan kantor kedutaan yang dulunya digunakan untuk kedutaan “israel” kepada bangsa Palestina segera setelah revolusi pecah. Tak hanya itu, beliau juga mencanangkan hari Jumat terakhir di bulan Ramadhan sebagai Hari al-Quds Internasional yang sekarang diperingati di seluruh dunia secara besar-besaran, bukan hanya oleh umat Muslim tapi juga umat agama lain. Menariknya lagi, semenjak itu isu kemerdekaan Palestina makin menggema ke seantero dunia dan menjadi jantung kemanusiaan global. Beberapa kelompok perlawanan yang gigih melawan kolonialisme rezim zionis pun bermunculan. Dimulai dari Hizbullah di Libanon pada 1982, Hamas di Palestina pada 1987, hingga Hashd Shabi di Irak (yang awalanya dibentuk untuk menghancurkan proyek terorisme rezim AS di Irak, namun kemarin menawarkan diri membantu Palestina menghajar rezim zionis), dan Ansharullah di Yaman yang setiap.bersama rakyat turun ke jalan menanti “undangan” Palestina melawan agresi zionis.
Dukungan Republik Islam Iran terhadap Palestina terbilang paling total dan konsisten. Bahkan, dari kesaksian warga Palestina dan kelompok perlawanannya, kemampuan melawan mereka vis-a-vis rezim zionis terus meningkat tajam berkat bantuan Iran. Di sini, peran Jendral “bayangan” Iran, mendiang Qasem Solaemani yang ditugaskan khusus untuk membantu rakyat Palestina sangat signifikan. Berkat kejeniusannya, intifadah Palestina telah berubah drastis dari lemparan batu ke semburan rudal berdaya ledak besar. Maka, bicara Palestina adalah bicara perlawanan demi kemerdekaan dengan Iran sebagai sponsor utamanya.
Gedung Merdeka: Rumah Para Pejuang Kemerdekaan
Gedung Merdeka menjadi saksi peristiwa bersejarah yang dimotori Republik Indonesia, yang menghadirkan para pemimpin negara dari 29 negara di dunia dalam Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika (KAA). Salah satu tujuan pelaksanaan KAA yang dilaksanakan pada tahun 1955 adalah melawan berbagai bentuk kolonialisme yang dilakukan negara imperialis. KAA menghasilkan 10 butir Dasasila Bandung yang berisikan dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia. Pada tahun 2015, KAA dilaksanakan kembali dengan menghasilkan 3 dokumen: Pesan Bandung (Bandung Message), Deklarasi Penguatan Kemitraan Strategis Baru Asia Afrika, dan Deklarasi Kemerdekaan Palestina.
Meski bisu, dinding Gedung Merdeka merekam sikap bulat dan tegas Bangsa Indonesia dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Toh, sebagai isu internasional yang dibahas di PBB, krisis di Palestina menghendaki jalinan tangan dari segenap bangsa, termasuk Indonesia, untuk menunjukkan solidaritas. Demikian halnya dalam Pembukaan UUD 1945 yang telah secara tersurat menyatakan kemerdekaan sebagai hak segala bangsa dan menolak berbagai bentuk penjajahan terjadi di seluruh dunia, termasuk di Bumi Palestina. Demikian halnya dengan Pancasila, kredo Bangsa Indonesia, menjamin terlindungnya kemanusiaan yang adil dan beradab, sebuah harapan yang juga ada di dalam benak Bangsa Palestina.
Sedemikian sehingga, mendukung kemerdekaan Palestina merupakan amanat Konstitusi Indonesia, sekaligus manifestasi kemerdekaan dan nasionalisme kita sebagai bangsa terhormat, bangsa merdeka, dan bangsa berdaulat. Gedung Merdeka telah menjadi rumah bagi para pejuang kemerdekaan, untuk menyuarakan dukungan dan solidaritas mereka terhadap negara-negara yang masih tertindas dan dalam belenggu penjajahan. Merdeka Palestina!
Bagian Pertama : Kibarkan Bendera untuk Kemerdekaan Palestina#1