Opini
Kibarkan Bendera Untuk Kemerdekaan Palestina #1
Oleh: Abdul Hakim Dj.
Perampasan Syaikh Jarrah: Langkah Pertama Realisasi The Deal of The Century
Tersebutlah seorang tabib dan pemimpin militer di era Salahuddin, bernama Husamuddin al Jarrahi, yang dikenal dengan nama Syaikh Jarrah. Ia mendirikan lembaga pendidikan di sebuah kawasan yang kelak dinamakan dengan namanya, yang juga menjadi lokasi peristirahatan terakhirnya. Kawasan itu berada di Yerusalem Timur, dihuni oleh warga Palestina, yang sebagiannya merupakan warga gusuran dari wilayah barat Yerusalem.
Beberapa waktu lalu, rezim zionis secara sepihak memutuskan menggusur semua warga Arab Palestina yang menghuni kawasan Syaikh Jarrah. Tujuannya untuk menyatukan Yerusalem Timur dan Barat demi Yerusalem sebagai ibukota israel. Dalam The Deal of The Century (Kesepakatan Abad Ini), sebuah proyek “perdamaian” yang digagas Donald Trump untuk melegalkan aneksasi total rezim kolonial zionis di bumi Palestina, disebutkan bahwa Yerusalem akan jadi ibukota rezim zionis “israel”. Rezim Amerika Serikat lalu menindaklanjuti dengan memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem (Landler, 2017). Skema “perdamaian” itu dipresentasikan penasihat Trump yang juga menantunya, Jared Kushner, dalam forum Peace to Prosperity, The Economic Plan: A New Vision for The Palestinian People yang dilaksanakan pada 25-26 Juni 2019 di Manama, Bahrain (Doha Institute, 2019). Tentu saja rencana itu mendapat penolakan banyak pihak, terutama faksi pejuang pro kemerdekaan Palestina.
Alhasil, Syaikh Jarrah jadi trending topic sejak Mei 2021. Saat itu dunia menyaksikan rezim teroris zionis bertindak brutal terhadap warga Palestina. Sebuah video singkat viral yang memperlihatkan dialog seorang perempuan warga Syaikh Jarrah dengan lelaki zionis pemukim ilegal yang berniat merampas rumah dan tanah milik perempuan itu. Setelah mendapat perlawanan, lelaki itu beranjak pergi seraya berkata, “Jika aku tak merampas rumahmu, maka yang lain tetap akan melakukannya!” Ya, keputusan sewenang-wenang rezim pendudukan zionis melegalkan perampasan hak-hak warga Palestina dimaksudkan untuk meratakan jalan Yerusalem sebagai ibukota rezim zionis “israel” (Saldaña, 2021).
Bagi rakyat Palestina, rumah dan tanah mereka di Syaikh Jarrah merupakan simbol perjuangan Palestina secara keseluruhan, perlawanan mereka terhadap keputusan sewenang-wenang dan ilegal yang menindas rakyat Palestina. Lalu rakyat Palestina pun melawan lewat aksi damai.
Respon Palestina direaksi brutal oleh rezim teroris zionis. Orang tua, perempuan, anak-anak, bahkan bayi, tak luput dari brutalitas serdadu zionis. Kebrutalan itu tak hanya dialami warga Muslim Palestina. Pemeluk agama lain juga memgalami hal yang sama. Sebelum menyerang Muslimin Palestina pada 7 Mei 2021, serdadu teroris zionis telah menyerang sejumlah biarawati Kristen Palestina pada 1 Mei 2021, yang saat itu hendak melakukan ritual Sabath-Light (Days of Palestine, 2021).
Palestina bukanlah tanah kosong atau padang pasir gersang yang boleh diklaim sembarang orang. Sudah ada peradaban modern di sana, bangunan dengan arsitektur tinggi, kehidupan berbudaya dan beradab, serta koeksistensi harmonis di antara penduduknya yang majemuk secara etnik dan keagamaan. Muslim, Kristen, dan pemeluk Yudaisme, juga Arab dan Yahudi Palestina telah lama hidup berdampingan dengan damai. Namun, mereka akhirnya “dipisahkan secara paksa” sejak “negara ilegal” berdasar identitas rasial dideklarasikan sepihak pada 1948.
Dimulainya Aneksasi
September 1947, Inggris mengumumkan berakhirnya kekuasaan mereka atas Mandat Palestina. Momen ini penting dicatat karena terhubung dengan peristiwa 14 Mei 1948. Pada 29 November 1947, PBB mengusulkan Partition Plan yang membagi wilayah Palestina dalam dua negara: satu untuk etnik Yahudi, satu lagi untuk etnik Arab, serta menjadikan Yerusalem zona internasional di bawah kendali PBB. Rancangan usulan yang dikenal dengan Resolusi PBB No. 181 itu disetujui 33 negara, 13 negara menolak, dan 10 negara abstain (israel Ministry of Foreign Affairs, n.d.). Anehnya, pihak Palestina sendiri tidak disertakan dalam seluruh proses tersebut. Sejak itu, teroris zionis memulai gerakan penaklukan wilayah dan mengintensifkan kekerasan terhadap warga Palestina.
Salah satunya yang paling tragis adalah Deir Yassin massacre pada April 1948. Saat itu kawanan teroris zionis menyerang warga Palestina di Deir Yassin. Rumah warga Palestina dilempari granat dan diberondong senapan mesin. Alih-alih menutupi tragedi itu, teroris zionis justru memanfaatkannya untuk meneror dan menciptakan ketakutan massal di kalangan warga Palestina. David Ben Gurion, yang kelak jadi “perdana menteri” pertama rezim zionis “israel”, sesumbar bahwa bangsa Arab Palestina hanya punya satu kesempatan tersisa: hengkang dari tanahnya sendiri.
14 Mei 1948, pukul 16.00, bertempat di Rothschild Boulevard, David Ben Gurion mendeklarasikan sepihak negara ilegal bernama “israel”. “Bangsa Yahudi akhirnya memiliki tanah air,” ujarnya angkuh. Bagi rezim ilegal dan kolonial zionis “israel”, tanggal itu diperingati sebagai hari kemerdekaan koloni zionis–yang belakangan mulai digugat dan dinyatakan ilegal oleh khalayak internasional.
Sementara itu, bagi rakyat Palestina, periode brutal yang mereka alami hingga 1949 tak lebih dari Nakbah (malapetaka, bencana). Selama itu, lebih dari 750 ribu warga terusir dari kampung halamannya, terjadi 155 massacre (pembantaian massal), dan 531 kota dan perkampungan warga Palestina dibumihanguskan. Terjadilah diaspora besar-besaran warga Palestina ke berbagai negara. Sampai hari ini, Nakbah diperingati setiap tanggal 15 Mei. Bahkan bagi warga Palestina, setiap hari adalah Nakbah.
Berdirinya rezim “israel” yang selamanya ilegal sebagai “negara” justru kian melegitimasi kolonialisme, penindasan, dan diskriminasi terhadap rakyat Palestina yang masih bertahan di sana. Husam Zomlot, Kepala Misi Palestina untuk Inggris, dalam wawancara dengan presenter BBC, Emily Maitlis, mengatakan, rezim zionis mengusir orang-orang dari rumah mereka, merampas hak untuk bergerak, hak memiliki tanah/rumah, hak bekerja, hak memilih dalam pemilu yang bebas. “Ini bukan tentang Muslim saja, ini tentang semua warga Palestina, ini tentang (rezim kolonial zionis) ‘israel’ yang berkeras menjadikan kami warga kelas dua, bahkan bukan sebagai warga. Kami tidak punya hak, kami bahkan harus diam saat diperlakukan dengan brutal,” ujarnya (Donnelly, 2021).
Proses aneksasi dalam skema kolonalisme yang terjadi sejak 1947 itu menyebabkan Palestina kehilangan teritorinya. Perampasan Syaikh Jarrah merupakan yang paling aktual. Jalur Gaza dan Tepi Barat yang kini menjadi wilayah Palestina pun tak luput dari ancaman aneksasi rezim zionis.