Nasional
LSM Pemerhati HAM Desak Sultan Tindak Tegas Pelaku Intoleransi
Belum genap sebulan Jaringan Antar Iman (JAI) menahbiskan Sultan Hamengku Buwono X sebagai tokoh pluralis yang dinilai mampu menjaga kondusifitas warga dengan berbagai keberagaman di bawah kepemimpinannya, kini gelar tersebut nampaknya mulai dipertanyakan banyak pihak. Terutama para pemerhati isu-isu keberagamaan dan keberagaman yang menyesalkan kembali maraknya aksi kekerasan atas nama agama di kota pelajar yang masyarakatnya selama ini dikenal rukun dan hidup penuh toleransi itu.
Sejumlah LSM yang tergabung dalam jaringan Masyarakat Anti Kekerasan Yogyakarta (Makaryo) tak hanya mendesak JAI mencabut penghargaan itu, melainkan bertekad melaporkan Kesultanan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ke Komnas HAM atas pembiaran terhadap aksi kekerasan atas nama agama yang terjadi beberapa waktu lalu.
“Dalam satu bulan terakhir saja, setidaknya ada lima kasus kekerasan yang dibiarkan begitu saja,” ungkap Benny Susanto, Koordinator Umum Makaryo.
Kepada ABI Press, Benny menjelaskan bahwa selain penyerangan terhadap Julius dan gereja di Sleman kemarin, masih ada tiga kasus lain pada bulan yang sama. Yaitu pembubaran paksa acara Muslim Syiah, aksi pemukulan terhadap ketua Forum Lintas Iman, serta dipersulitnya izin perayaan Paskah di Gunung Kidul.
Sebagai bentuk kekecewaan terhadap aparat pemerintah DIY, selain hendak melaporkan pihak Kesultanan, Makaryo juga menjelaskan bahwa mereka telah melaporkan Bupati Bantul, Bupati Gunung Kidul, dan Bupati Sleman ke Komnas HAM. “Selain itu, kami juga mendesak Kapolri segera mencopt Kapolda,” tegas Benny.
Selain Makaryo, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) kota Yogyakarta diwakili Ketuanya, Samsuddin, kepada ABI Press.
juga memiliki penilaian yang sama. “Semua itu disebabkan oleh aparat pemerintah yang tidak tegas,” ungkapnya.
Menurutnya, pola kekerasan yang terjadi dari berbagai kasus kekerasan atas nama agama hampir sama. “Aktornya hampir sama, dan kejadiannya pun cenderung mirip,” tambahnya.
Dari 22 kasus yang pernah ditangani LBH, rata-rata, menurut Samsuddin, aparat kepolisian yang berada di tempat kejadian cenderung tidak bisa melakukan tindakan pengamanan yang serius. Lebih parah lagi menurutnya, kasus seperti ini tidak pernah diselesaikan secara tuntas oleh aparat. “Dari 22 kasus itu, semuanya berhenti di kepolisian tanpa tindak lanjut yang jelas.”
Dalam dua tahun terakhir ini saja, tingkat kekerasan di Yogyakarta meningkat pesat. Ini yang membuat Samsuddin juga berpandangan sama terkait tidak tepatnya Sultan Hamengkubuwono X mendapat penghargaan sebagai tokoh pluralis versi JAI.
Dari banyaknya kekerasan yang terjadi, baik dari data Makaryo maupun LBH, menunjukkan bahwa para pelaku kekerasan yang terjadi di DIY adalah sekelompok massa Islam garis keras (radikal) yang suka mengkafirkan kelompok lain. “Meskipun terkesan seolah berasal dari kelompok yang berbeda-beda, mereka sejatinya punya payung yang sama,” terang Benny.
Saat ABI Press tanyakan lebih lanjut siapa yang menjadi payung bagi kelompok radikal ini, Benny menjelaskan bahwa Forum Umat Islam (FUI) lah yang menjadi payung bagi kelompok-kelompok itu. Samsuddin pun membenarkan pernyataan Benny terkait kelompok radikal pelaku keonaran di Yogyakarta, kota yang sudah sekian lama dikenal sangat menjunjung tinggi nilai budaya dan menghargai segala bentuk perbedaan itu.
A.M Safwan warga Muslim Syiah DIY yang juga Direktur Rausyan Fikr, menyesalkan meningkatnya aksi-aksi kekerasan di DIY. Ia merasa tak nyaman lagi tinggal di sana, karena beberapa waktu lalu, yayasan yang dipimpinnya juga sempat menjadi sasaran tindak kekerasan kelompok intoleran yang dia anggap tak memiliki tujuan yang jelas. “Yang diancam dan diserang itu subjeknya nggak jelas, bisa siapa saja dijadikan korban oleh mereka,” ujar Safwan.
Sementara itu, Pendeta Palti Panjaitan, Ketua Koordinator Solidaritas Korban untuk Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (Sobat KBB) juga mendesak Sultan Hamengku Buwono X agar menindak tegas para pelaku kekerasan dan memberikan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi siapa saja di wilayahnya. Selain itu, ia juga menyesalkan karena masyarakat umum yang seharusnya tidak berhak menutup dan merusak tempat ibadah tertentu tapi itu tetap saja bisa dilakukan. “Peristiwa itu sungguh melukai rasa kebangsaan, keadilan dan kesetaraan sebagai warganegara Indonesia,” pungkasnya. (Malik/Yudhi)