Nasional
Tiga Alasan Terjerumus dalam Terorisme
Serangan teror yang cukup massif akhir-akhir ini memunculkan pertanyaan, apa penyebab seseorang rela bergabung dengan kelompok teror.
Menjawab pertanyaan itu, Ketua Umum Ahlulbait Indonesia, Habib Zahir bin Yahya mengatakan, setidaknya ada tiga asumsi yang menyebabkan seseorang terjerumus dalam terorisme.
Pertama, faktor ekonomi. Alasan ini terdengar cukup klise. Namun, terdapat pihak yang mengalami kesulitan ekonomi dan faktor keterpaksaan. Sementara di sisi lain, terdapat pihak yang menawarkan keuntungan ekonomi jika bergabung dengan kelompoknya.
“Seperti menawarkan gaji, insentif dari kelompok tertentu untuk melakukan tindakan tertentu. Makah hal ini dapat menjadi sarana rekrutmen dan ketertarikan,” kata Habib Zahir dalam acara Mukalamah ke-VI dengan tema “Perempuan, Terorisme dan Solusinya”, Minggu (11/4).
Kendati begitu, Habib Zahir menggarisbawahi bahwa kasusnya sangat terbatas. Di kalangan petinggi kelompok teroris, alasan ini mungkin dapat diterima. Namun di kalangan bawah, khususnya para pelaku, alasan ini sulit diterima.
“Sebab, bagaimana mungkin seseorang mengorbankan dirinya untuk kepentingan ekonomi. Sedangkan dengan bunuh diri, maka pelaku tak akan dapat menikmati keuntungan ekonomi tersebut,” ujar Habib Zahir.
Kedua, pendekatan doktrinal. Ini artinya, kata Habib Zahir, terdapat pihak-pihak yang secara sistematis, terstruktur, dan massif melakukan praktik-praktik cuci otak terhadap mangsanya, sehingga kehilangan sikap kritisnya.
Akibatnya mereka seakan teryakinkan bahwa apapun yang kemudian disarankan, seperti berbagai bentuk kekerasan, membunuh mencederai, dan sebagainya, dipahami sebagai sesuatu yang baik dan benar.
“Ini bukan proses ketertarikan seseorang, namun orang banyak yang terjebak di dalamnya kemudian tidak bisa keluar sampai menyadarinya dengan satu dan lain cara,” ujarnya.
Ketiga, yang lebih lumrah, namun ujar Habib Zahir bilang, termasuk yang paling berbahaya, yaitu pola-pola persuasif. Artinya, terdapat pihak-pihak yang menyampaikan teori-teori mereka, seperti analisis-analisis sosial, politik, dan ketiakadilan, yang terkesan ilmiah. Namun pada akhirnya disimpulkan untuk membuat mereka tertarik bergabung dengan kelompok-kelompok teroris.
“Pola persuasif seperti ini, yang membahayakan karena mampu menarik orang sebanyak-banyaknya bahkan di kalangan yang mungkin secara pekerjaan, status ekonomi, cukup terhormat di tengah masyarakat,” ujar Habib Zahir.
Bisa jadi, lanjutnya, mereka berasal dari kalangan profesional, orang-orang yang memiliki pendidikan cukup bergengsi, sarjana, dan sebagainya. Namun akibat kontruksi keagamaannya rapuh, karena metodologi keagamaan yang tidak argumentatif, mereka berada di posisi harus menerima apa yang disampaikan atas nama agama sebagai sesuatu yang harus didengarkan dan diamalkan.
“Artinya orang-orang ini siap menggadaikan akalnya ketika berhadapan dengan apa yang dianggap sebagai bagian dari ajaran agama,” katanya.
Fenomena ini sangat patut diwaspadai. Sebab ada anggapan bahwa agama itu bukan ranah akal. Agama itu sifatnya dogma, hanya untuk didengar dan diamalkan, bukan untuk diargumentasikan.
Cara seperti ini, tambah Habib Zahir, merupakan senjata ampuh bagi kalangan yang pendidikannya luar biasa. Artinya, mereka punya basis berpikir kritis yang cukup baik, namun kemudian mudah dipatahkan dan dimatikan dengan pernyataan bahwa agama bukan ranah akal sehat.
“Ini permasalahan yang menurut saya perlu dikikis. Bahwa anda menerima agama karena akal, bagaimana mungkin anda meninggalkan akal ketika masuk agama? Pertama kali orang bergabung dalam agama karena akal. Maka akal-lah yang mengawalinya untuk menerima dan bergabung dengan agama,” tutur Habib Zahir.
Karena metodologi keagamaan yang rapuh tersebut, menganggap agama bukan rana akal sehat, mereka dapat melakukan apapun yang diperintahkan oleh kelompok teroris di tempat di mana mereka memang sudah dilucuti semua kemampuan mereka untuk berpikir.
“Ini yang menurut saya sangat berbahaya,” pungkas Habib Zahir.