Kajian Islam
Washî dan Wasiat
Istilah washî dan wasiat (washiyah) beserta seluruh derivasinya disebutkan dalam bahasa Arab dengan berbagai arti. Seorang yang masih hidup pada saat menentukan orang lain untuk melaksanakan sebuah tugas penting baginya setelah ia meninggal dunia, dinamakan mûshî (pemberi wasiat). Sedangkan orang yang telah ditetapkan untuk tugas itu disebut washî (pengemban wasiat), dan tugas yang telah diwasiatkan untuk dilaksanakannya dinamakan washiyah (wasiat).
Penyerahan wasiat dilakukan dengan menggunakan kata washiyah dan seluruh derivasinya; seperti mûshî berkata kepada washî, “Aku berwasiat kepadamu sepeninggalku untuk memelihara keluargaku atau mengurus sekolahku.” Juga dengan menggunakan kalimat yang mengindikasikan makna wasiat; seperti mûshî berkata kepada washînya, “Aku memohon kepadamu untuk memelihara keluargaku dan mengurus sekolah itu sepeninggalku.”
Orang yang berwasiat (mûshî) terkadang menyampaikan wasiatnya dengan ungkapan “awshaitu ilâ fulân” atau “washiyî fulân”, namun adakalanya menggunakan ungkapan “‘ahidtu ilâ fulân” atau “awkaltu ilaih an(y) yaqûm bi kadzâ”. Dua kata tersebut mengungkapkan arti yang satu. Begitu juga kata-kata yang serupa dengannya.
Inilah ringkasan pengertian washî, wasiat, dan derivasinya dalam bahasa Arab. Bahkan, pengertian seperti itu juga disebutkan dalam al- Quran dan sunah Nabawi. Dalam surah al-Baqarah, Allah Swt berfirman: Diwajibkan atasmu, apabila [tanda-tanda] kematian telah menghampiri seseorang di antaramu, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat. [Akan tetapi] barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka. (QS: al-Baqarah: 180-182)
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang dari kamu menghadapi kematian, sedang ia akan berwasiat, hendaklah [wasiat itu] disaksikan oleh dua orang yang adil di antaramu. (QS. al-Maidah: 106)
Sayyid Murtadha Askarî, Syiah dan Ahli Sunnah