Berita
IGJ: Kampanye Pilpres Jualan Mimpi Nasionalisasi?
Seperti terlihat dalam visi-misi kedua kubu, baik Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta, nasionalisasi dan normalisasi aset merupakan salah satu tema jualan kampanye Pilpres mereka tahun ini.
Namun bagi Indonesia for Global Justice (IGJ) “jualan” itu dianggap belum cukup mengenai sasaran dan hanya sebatas janji manis belaka.
Hal ini terungkap dalam diskusi sekaligus pemaparan hasil riset dan monitoring lembaga ini terhadap perjanjian antara Indonesia-European Union (EU) yang disebut CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement) setebal 106 halaman di Dapur Salera, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat siang (30/5).
Salamudin Daeng, mewakili pandangan IGJ menyatakan janji nasionalisasi para capres harus dilihat dari komitmen mereka terhadap sejumlah perjanjian internasional, terutama dalam tiga hal pokok. Pertama, bagaimana para kandidat memandang perjanjian internasional? Apakah akan membatalkan atau mengevaluasinya? Kedua, apa yang akan dilakukan terkait undang-undang yang lahir pada era reformasi dan dianggap pro-liberal, apakah akan membatalkan atau mengevaluasinya? Terakhir, soal kontrak-kontrak Indonesia dengan pihak luar, baik kontrak investasi sumber daya alam, kontrak kerja pertambangan batubara, HPH, dan kontrak penjualan sumber daya alam ke luar negeri, apa yang akan dilakukan para capres terkait hal itu?
“Itu semua tidak tampak, padahal kalau kita cermati, kunci masalah-masalah ekonomi nasional kita itu ada pada aspek-aspek tersebut,” ungkap Salamudin saat sesi wawancara usai acara.
Seperti disebutkan sebelumnya, salah satu perjanjian internasional yang dipandang sangat mengkhawatirkan IGJ adalah perjanjian CEPA. Perjanjian ini meliputi isu investasi, perdagangan, jasa-jasa dan Intelectual Property Right (IPR). Bagi IGJ perjanjian ini adalah bentuk penyerahan kedaulatan Indonesia kepada rezim internasional dengan menyerahkan penyelesaian konflik akibat ketidak adilan ekonomi yang terjadi pada keputusan hukum internasional.
“Orang-orang di sekitar capres ini adalah para pebisnis. Tentu mereka paham betul soal ini,” kata Salamudin. ”Tinggal mereka mau atau tidak saja,” lanjutnya.
Merujuk hasil penelitian IGJ dan apa yang disampaikan Salamudin pada diskusi kali ini, benarkah Indonesia akan mengalami perubahan signifikan terkait nasionalisasi dan normalisasi aset pasca pilpres? Kita tunggu saja. (Lutfi/Yudhi)
Namun bagi Indonesia for Global Justice (IGJ) “jualan” itu dianggap belum cukup mengenai sasaran dan hanya sebatas janji manis belaka.
Hal ini terungkap dalam diskusi sekaligus pemaparan hasil riset dan monitoring lembaga ini terhadap perjanjian antara Indonesia-European Union (EU) yang disebut CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement) setebal 106 halaman di Dapur Salera, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat siang (30/5).
Salamudin Daeng, mewakili pandangan IGJ menyatakan janji nasionalisasi para capres harus dilihat dari komitmen mereka terhadap sejumlah perjanjian internasional, terutama dalam tiga hal pokok. Pertama, bagaimana para kandidat memandang perjanjian internasional? Apakah akan membatalkan atau mengevaluasinya? Kedua, apa yang akan dilakukan terkait undang-undang yang lahir pada era reformasi dan dianggap pro-liberal, apakah akan membatalkan atau mengevaluasinya? Terakhir, soal kontrak-kontrak Indonesia dengan pihak luar, baik kontrak investasi sumber daya alam, kontrak kerja pertambangan batubara, HPH, dan kontrak penjualan sumber daya alam ke luar negeri, apa yang akan dilakukan para capres terkait hal itu?
“Itu semua tidak tampak, padahal kalau kita cermati, kunci masalah-masalah ekonomi nasional kita itu ada pada aspek-aspek tersebut,” ungkap Salamudin saat sesi wawancara usai acara.
Seperti disebutkan sebelumnya, salah satu perjanjian internasional yang dipandang sangat mengkhawatirkan IGJ adalah perjanjian CEPA. Perjanjian ini meliputi isu investasi, perdagangan, jasa-jasa dan Intelectual Property Right (IPR). Bagi IGJ perjanjian ini adalah bentuk penyerahan kedaulatan Indonesia kepada rezim internasional dengan menyerahkan penyelesaian konflik akibat ketidak adilan ekonomi yang terjadi pada keputusan hukum internasional.
“Orang-orang di sekitar capres ini adalah para pebisnis. Tentu mereka paham betul soal ini,” kata Salamudin. ”Tinggal mereka mau atau tidak saja,” lanjutnya.
Merujuk hasil penelitian IGJ dan apa yang disampaikan Salamudin pada diskusi kali ini, benarkah Indonesia akan mengalami perubahan signifikan terkait nasionalisasi dan normalisasi aset pasca pilpres? Kita tunggu saja. (Lutfi/Yudhi)
Continue Reading