Opini
Perempuan dalam Pusaran Terorisme
Oleh : Euis Daryati, Lc.MA.
“Aksi terorisme sejatinya bertentang dengan kosmologi perempuan yang merupakan perwujudan sifat Jamaliyah (keindahan), Lathifiyah (kelembutan), dan Rahmaniyah (kasih sayang) Tuhan di alam semesta. Jiwa perempuan adalah jiwa perawat bukan jiwa perusak.”
Radikalisme adalah paham yang melatarbelakangi aksi terorisme. Kelompok radikal dan ekstrem tidak khusus pada Islam, namun juga ada pada agama ataupun aliran lainnya. Perkembangan gerakan kelompok radikal, kini kian mengkhawatirkan yang akan mengancam kestabilan NKRI. Saya termasuk orang yang pernah terpapar paham radikalisme. Saat duduk di kelas dua SMA, pesantren kami didatangi seorang ustad, yang ternyata kemudian diketahui seorang mantan residivis aksi teror. Ia menyampaikan materi yang sangat menghipnotis kami semua, yang pada saat itu sangat haus ilmu agama dan memiliki semangat keislaman yang tinggi. Apalagi ia bercerita tentang Islam Kaffah, Islam yang tidak akan sempurna jika tidak ditegakkan Negara Islam.
Doktrin-doktrin pertama yang disampaikan adalah; mana yang lebih baik, hukum Islam atau UUD 45? Negara Islam atau negara kafir? Al-Quran atau Pancasila? Presiden atau Nabi Muhammmad? Hormat bendera itu syirik dan lainnya. Tentunya, pada level kami yang masih dangkal ilmu agama juga minim literasi, dengan semangat mengatakan bahwa Hukum Islam lebih baik dari UUD 45, Al-Quran lebih baik dari Pancasila.
Dengan kata lain, pertanyaan tersebut ditanyakan kepada level usia tersebut, juga perbandingan yang tidak tepat. Pancasila tidak dapat dibandingkan dengan Al-Quran, presiden tidak dapat dibandingkan dengan Nabi Muhammad saw dan lainnya.
Sejak saat itu kami intens mengikuti kajiannya dan kita termakan doktrin-doktrinnya. Sikap kita mulai berubah, tidak mau hormat bendera, tidak ikut baca Pancasila dan menyanyikan lagu Indonesia Raya pada saat upacara. Menganggap diri paling baik dan paling benar, bahkan menganggap buruk ajaran orang tua. Ustad tersebut juga mengatakan bahwa untuk membentuk negara Islam dan mencapai tujuan dalam melawan pemerintah yang thaguth diperbolehkan dengan merampok, kekerasan dan lainnya. Kita mulai mempengaruhi teman-teman, “Ngapain hormat bendera? Itu syirik.” Dan lainnya. Kondisi itu berlangsung hingga kelas tiga SMA beruntung tersadarkan dan berhasil keluar dari kelompok mereka.
Itulah di antara strategi kelompok radikal dalam mempengaruhi dan merekrut para pelajar, usia rentan terpapar radikalisme karena semangat keagamaan dan keingintahuan yang tinggi, namun minim pengalaman, wawasan dan literasi.
Geliat Perempuan dalam Gerakan Terorisme
Baru-baru ini, Maret 2021, kembali dikejutkan oleh kejadian teror yang pelakunya adalah perempuan. Bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar oleh saudari YSF dengan suaminya dan penyerangan ke Mabes Polri oleh saudari ZA, warga Ciracas, Jakarta Timur, Sekitar 21 jam sebelum beraksi mengunggah bendera kelompok militan ekstremis (ISIS) dalam akun media sosialnya.
Terjadi pergeseran peran dalam gerakan terorisme menjadikan perempuan sebagai pelaku. Kalau sebelumnya aksi-aksi teror berwajah maskulin, belakangan aksi-aksi teror memanfaatkan perempuan sebagai pelaku dan dengan pendekatan feminin.
Peneliti dari Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Milda Istiqamah Mengatakan, sebelum 2016 perempuan mendukung terorisme bergerak di balik layar.[1] Di antara peran mereka sebagai pabrik/penghasil jundullah/tentara Tuhan, sehingga menjadi kebanggaan saat memiliki banyak anak laki-laki, sebagai pembawa pesan, motivator, edukator, perekrutan, alat propaganda, suplayer logistik, menjadi agen/kurir, inisiator dan perancang aksi amaliyah.
Namun mulai tahun 2016 perempuan dalam aksi teroris mulai berperan sebagai eksekutor dan bomber. Dian Yulia Novi (27 tahun) pengantin bom bunuh diri di Istana Merdeka pada tahun 2016, bom panci tapi kemudian tertangkap sebelum meledakkan diri. Kemudian Ika Pupita Sari, Buruh Migran yang bukan hanya pelaku bom bunuh diri, namun juga perancang aksi teroris dan mendanai. Berselang beberapa hari setelah Dian, Ika pun ditangkap dengan tuduhan merencanakan bom bunuh diri di Bali pada malam tahun baru 2017. Ika yang bekerja di Hongkong menikahi seorang pendukung ISIS bernama Zaenal Akbar.[2]
Berbagai penelitian dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor terpapar paham radikalisme dan ekstremisme pada tiap kelompoknya yang mempunyai kerentanan masing-masing. Pada kelompok pelajar, kelompok radikal dalam mempengaruhi dan merekrut para pelajar, usia rentan terpapar radikalisme karena semangat keagamaan dan keingintahuan yang tinggi, serta heroisme yang menganggap aksi terorisme dan bom bunuh diri sebagai bentuk heroisme, namun minim pengalaman, wawasan dan literasi.
Di antara faktor perekrutan perempuan menjadi pelaku serangan kekerasan adalah alasan keamanan, taktik agar tidak mudah dicurigai untuk alasan keamanan. Namun kenapa rentan terpapar paham intoleran dan radikal, bahkan sampai menjadi pelaku teror seperti yang terjadi pada Dian Yulia Novi dan Ika Puspita Sari, Buruh Migran terdapat beberapa faktor di antaranya mereka sebagai kelompok rentan karena baru mengenal agama, namun semangat tinggi dan ingin menjadi lebih baik tapi minim literasi kemudian terjebak dalam jaringan radikal melalui medsos. Mereka merasa mendapatkan ideologi yang menarik untuk mengatasi titik jenuh dan semangat Islam yang tinggi namun terjebak dalam jaringan radikal.
Dapat dilihat dari wawancara eksklusif TV One dengan Dian Yulia Novi, semangat agama yang tinggi namun minim literasi dan terjebak dalam jaringan radikal, doktrin-doktrin salah tentang Islam menancap dalam pikirannya hingga ingin meraih surga dengan cara bom bunuh diri yang akan mencelakai orang. Ia tidak dapat menjawab dengan logis terkait doktrin-doktrin agama yang terpapar radikal, tentang kekufuran, tentang meraih ridha Allah dengan membunuh manusia tak berdosa lainnya, tentang thagut dan lainnya.[3]
Faktor relasi sosial-personal seperti suami istri dan pertemanan. Di luar negeri mereka kesulitan terlibat dengan masyarakat luas. Mereka kesepian dan menggunakan medsos untuk menemukan relasi, baik teman atau jodoh, merasa diterima dalam grup ini muncul gratifikasi instan yang tak mereka dapatkan dari lingkungan sekitarnya, akhirnya terjebak relasi dengan kelompok radikal. Faktor ekonomi bahwa sistem khilafah akan memperbaiki sistem ekonomi. Ingin ikut terlibat dalam apa yang diyakini sebagai perjuangan melawan kezaliman dan kemungkaran kepada Allah
Menurut analisa Institute of Policy Analysis Conflict (IPAC) di Jakarta, Ika Puspita Sari awalnya ingin menjadi lebih baik dengan belajar agama secara online. “Dalam prosesnya Ika yang sangat bersemangat dieksploitasi oleh suaminya untuk berkontribusi secara finansial kepada ISIS. ISIS selalu menarget kelompok rentan ini dan mengakomodasi mereka untuk melakukan jihad, ketika visa Ika habis dan mulai kehabisan uang, dia pun menawarkan dirinya untuk menjadi pengebom bunuh diri.[4]
Kemudian pada tahun 2018 dikejutkan dengan seorang ibu dan dua orang anaknya menjadi pelaku bom di gereja GKI Surabaya. Antonius, salah seorang saksi mata kejadian mengungkapkan, “Saya sempat melihat dua orang anak dan ibunya datang membawa dua tas. Awalnya, petugas menghadang ibu tersebut di depan pagar halaman gereja. Namun ibu itu tetap mencoba masuk. Tiba-tiba saja ibu itu memeluk petugas. .Tiba-tiba meledak.” (13/4/2018).[5]
Dari fenomena bom Surabaya, keterlibatan itu tak lagi bersifat individual sebagai hasrat untuk diakui dalam kelompok radikal sebagai perempuan pemberani, melainkan karena peran tradisionalnya sebagai istri dan ibu yang memiliki kekuatan nyata untuk melibatkan suami dan anggota keluarga sebagai pelaku teror dan kekerasan.
Perhatian kepada perempuan tak bisa lagi hanya dilihat dalam fungsi pendamping dan pendukung radikalisme melainkan harus sudah dilihat sebagai pelaku utama. Mereka tak sekadar memiliki impian untuk mencium bau surga melalui suaminya belaka, melainkan melalui peran sendiri dengan membawa anak-anak yang telah ia manipulasi dalam suatu keyakinan.
Dalam konsep kaum radikal terdapat dua tingkatan jihad yaitu jihad kecil dan jihad besar. Jihad besar merupakan puncak dari pengorbanan seorang manusia dengan pergi ke medan tempur dan mati sebagai syuhada, martir. Namun, karena terdapat pemilahan peran secara gender, otomatis hanya lelaki yang punya tiket maju ke medan tempur, sementara istri hanya kebagian jihad kecil, seperti menyiapkan suami atau anak lelaki maju ke medan tempur.
Peran mereka akan cepat diakui dan dihormati jika mereka dapat menunjukkan keberanian dalam berkorban, termasuk korban jiwa dan raga. Pengakuan peran ini merupakan salah satu kunci penting dalam mengenali keterlibatan perempuan dalam kelompok radikal. Dorongan untuk menjadi terkenal kesalehannya, atau keikhlasannya atau keberaniannya melepas suaminya berjihad menjadi idaman setiap perempuan dalam kelompok radikal, apalagi untuk ikut berjihad.
Dalam perkembangannya, menjalani jihad kecil sebagai penopang dalam berjihad tak terlalu diminati, utamanya oleh kalangan perempuan muda yang merasa punya agenda untuk ikut berjuang dengan caranya. Dan seperti kita saksikan, di sejumlah negara, perempuan muda menghilang dari keluarga dengan alasan yang mengejutkan. Mereka meninggalkan rumah untuk bergabung dengan kelompok teroris dengan ideologi agama, seperti ISIS atau menikah dengan lelaki yang menjadi bagian dari kelompok itu.
Jika tidak ikut berjihad mereka punya cara sendiri untuk melakukannya di negara mereka sendiri. Hal ini bisa dilihat dalam kasus Hasna Aitboulahcen, perempuan pertama pelaku bom bunuh diri di Saint- Denis Perancis beberapa tahun lalu. Sebelumnya Hasna tidak dikenal sebagai perempuan alim, malah sebaliknya ia dianggap perempuan “bebas”. Namun entah bagaimana setelah berkenalan dengan seseorang yang mengajaknya bertaubat dan ‘berhijrah,’ ia kemudian dikenali jadi sangat salih, mengenakan hijab, rajin beribadah, dan hanya butuh satu bulan baginya untuk kemudian tewas bersama bom yang ia ledakkan sediri.[6] Faktor ini adalah faktor aktualisasi diri.
Faktor ketaatan dan kepatuhan terhadap suami juga dapat menjadikan seorang perempuan menjadi pelaku teror. Atas perintah suaminya ia melakukan aksi teror, dan dengan alasan wajib mentaati perintah suami dan patuh terhadap suami maka ia melakukannya.
Peran Perempuan dalam Pencegahan Radikalisme dan Terorisme
Sungguh mengkhawatirkan muncul tend pelaku teror dari kalangan perempuan, padahal jiwa perempuan adalah jiwa pengasih, jiwa perawat bukan perusak dan kekerasan. Dengan melihat faktor-faktor tersebut maka perempuan dalam mencegah dan melawan paham radikal perlu melakukan gerakan masif;
-. Melalui edukasi dalam perannya sebagai pendidik di sekolah, di rumah, di masyarakat tentang bahaya paham radikal. Melalui kegiatan-kegiatan PKK di tingkat RT, RW, Kelurahan dan selanjutnya.
– Penguatan literasi; dibuat literasi-literasi yang simpel dan menarik mulai tingkat usia dini hingga milenial.
– Membuat narasi-narasi tandingan yang menarik terkait Islam rahmatan lil alamin yang dipublikasikan di Medsos.
– Konsolidasi dan kerjasama dengan berbagai pihak, terutama di lingkungan sekitar.
– Antisipasi dan deteksi dini jika terdapat hal-hal yang mencurigakan di lingkungan sekitar terkait pengaruh kelompok radikal.
Menciptakan Indonesia yang damai dan bersaudara dalam keberagaman adalah kewajiban kita semua dengan mencegah dan melawan radikalisme dan terorisme.
Sumber:
[1] (koran.tempo.com – 5 April 2021)
[2] https://republika.co.id/berita/internasional/abc-australia-network/18/06/30/pb4t3k366-pengantin-kisah-perempuan-pertama-calon-pengebom-bunuh-diri
[3] Video wawancara ekslusif TV One dengan Dian Yulia Novi, pengantin bom bunuh diri Istana Merdeka
[4] https://republika.co.id/berita/internasional/abc-australia-network/18/06/30/pb4t3k366-pengantin-kisah-perempuan-pertama-calon-pengebom-bunuh-diri
[5] https://news.detik.com/berita/d-4018168/polisi-lacak-identitas-ibu-anak-terduga-pelaku-bom-gereja-di-surabaya.
[6] https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44106870