Sejarah
Imam Ali Senantiasa Bersama Nabi saw
Begitu besar perhatian Nabi saw kepada Ali bin Abi Thalib as hingga beliau hilir mudik ke rumah pamannya Abu Thalib, sekalipun beliau dan Khadijah sudah hidup mandiri. Nabi senantiasa menumpahkan perhatian yang lebih kepada Ali as. Nabi saw begitu menyayanginya dan sering menggendongnya. Nabi saw pun sering menggoyang tempat tidur Ali as hingga tertidur.
Sebuah nikmat Ilahi yang meliputi kehidupan Imam Ali as manakala pada masa itu, bangsa Quraisy tertimpa krisis ekonomi yang cukup besar. Abu Thalib termasuk orang yang paling menderita dengan kondisi ini. Melihat kenyataan itu, Rasulullah saw mengusulkan kepada Abbas, dan orang-orang kaya di kalangan Bani Hasyim, untuk meringankan beban Abu Thalib.
Nabi saw berkata, “Wahai Abbas! Saudaramu Abu Thalib memiliki banyak keluarga. Di sisi lain, bukankah engkau tahu apa yang tengah menimpa masyarakat. Mari kita bersama-sama meringankan tanggungannya. Aku akan mengambil salah satu dari anak-anaknya dan menjadi tanggunganku dan engkau mengambil yang lainnya sebagai tanggunganmu.”
Abu Thalib menerima usulan keduanya. Nabi saw mengambil Imam Ali as yang saat itu berusia enam tahun. Sementara Abbas mengambil Ja’far. Sejak itu, Ali as senantiasa bersama Nabi Muhammad saw hingga beliau diangkat sebagai nabi. Ketika beliau telah menjadi nabi, Ali as lalu mengikuti, mengimani, dan membenarkan kenabian Muhammad saw.
Setelah memilih Ali as, Rasulullah saw berkata, “Aku telah memilih seseorang yang dipilihkan Allah untukku, yaitu Ali.”
Imam Ali as hidup sejak kecil bersama Nabi Muhammad, Rasulullah saw. Beliau dibesarkan di bawah naungan akhlak Nabi saw yang mulia. Beliau minum dari sumber-sumber kecintaan dan kasih-sayang Nabi. Muhammad saw. Rasulullah saw membimbingnya sesuai dengan cara pendidikan yang diajarkan Allah Swt. Semenjak itu, Ali as tidak pernah terpisah dari Rasulullah Muhammad saw, Nabinya.
Imam Ali as sendiri menyebutkan sisi-sisi edukatif yang dipelajarinya dari sang guru dan pendidiknya, Nabi Muhammad saw. Bagaimana pendidikan yang diterimanya memiliki dampak yang mendalam dan sangat membekas dalam dirinya. Itu disampaikannya dalam khutbahnya yang terkenal dengan al-Qashi’ah.
“Bukankah kalian telah mengetahui bagaimana hubungan dan kedekatanku dengan Nabi Muhammad, Rasulullah saw dan posisi serta kekhususanku di sisinya. Beliau meletakkanku di kamarnya di usiaku yang masih kecil. Beliau sering merengkuh dan menarikku dalam dekapannya. Ia senantiasa menjagaku di pembaringannya. Tubuhku sering bergesekan dengan tubuh Nabi. Beliau memberiku kesempatan untuk mencium aroma tubuhnya yang wangi dari dekat. Nabi saw biasa mengunyah makanan hingga halus kemudian menyuapkannya ke mulutku. Beliau tidak pernah menemukanku berkata bohong dan melakukan perbuatan salah karena tidak tahu.
Aku mengikuti jejak Nabi saw bak anak unta yang terus mengikuti ke mana induknya pergi. Setiap hari beliau mengangkat derajatku dengan menunjukkan akhlaknya yang mulia dan memintaku mengikutinya. Setiap tahun, Nabi saw pergi menyepi ke Gua Hira. Tak ada yang tahu keadaan ini kecuali aku. Di masa itu, tak satu rumah pun yang meyakini Islam kecuali rumah Rasulullah saw. Di rumah ini, Nabi saw, Khadijah dan aku jadi orang ketiga yang memeluk Islam.
Aku melihat cahaya wahyu dan risalah. Aku mencium semerbak aroma kenabian (di dalamnya). Aku dapat mendengar suara setan (merintih) ketika diturunkan wahyu untuk pertama kalinya. Ketika itu, aku memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah saw, ‘Wahai Rasulullah, suara apa ini?’ Beliau menjawab, ‘Itu suara setan yang berputus asa dari orang-orang yang menyembahnya. Engkau mendengar apa yang kudengar. Melihat apa yang kulihat. Sayangnya, engkau bukan nabi. Akan tetapi engkau seperti seorang menteri. Dan engkau berada di atas kebaikan.’”
Tim al-Huda, Teladan Abadi Imam Ali bin Abi Thalib