Berita
Wabah Takfirisme: Ancaman Nyata Bagi Semua
Dampak buruk arus deras fenomena takfirisme yang dikhawatirkan oleh banyak pihak, terus menyebar di berbagai penjuru dunia. Tak terkecuali di Indonesia.
Dalam beberapa waktu terakhir, tercatat tak lagi hanya seminar-seminar bernuansa provokasi dan kebencian yang mereka gelar, bahkan secara vulgar ancaman pembunuhan terhadap kelompok yang berbeda pandangan dengan golongan yang suka mengkafirkan ini pun dipamerkan dan dideklarasikan di depan umum tanpa ada tindakan tegas dari pemerintah.
Salah satunya adalah ujaran kebencian yang dilakukan oleh Abu Jibril dalam Deklarasi Aliansi Nasional Anti Syiah di Bandung belum lama ini.
Menyikapi hal ini, makin gencar pula upaya kalangan pengusung toleransi melakukan perlawanan dengan menyebarkan pemikiran-pemikiran moderatnya. Salah satunya adalah apa yang digagas Universitas Paramadina berupa seminar bertajuk ‘Extremism and Social Peace” bertempat di Paramadina Graduate School, Sudirman Center Bussines School (SCBD), Jakarta, Senin (12/5) kemarin.
Dalam seminar yang dihadiri para dosen dari berbagai universitas ini, Wakil Menteri Agama, Dr. Nazaruddin Umar yang membuka seminar menegaskan bahwa Islam sejatinya adalah agama cinta. Bahwa Islam adalah agama yang penuh kasih. Terbukti hadis-hadis Nabi sendiri pun didominasi oleh pengajaran tentang cinta kasih terhadap sesama makhluk-Nya.
Nazaruddin menyayangkan bahwa hadis yang banyak diketahui dan disebarkan di tengah umat justru hadis yang meriwayatkan tentang sikap keras saja. Sementara riwayat yang mengajarkan cinta dan kasih-sayang tidak begitu dikenal luas.
Jangan Anggap Remeh Takfirisme
Salah satu pembicara dari International Institute of Advanced Islamic Studies (IAIS) Malaysia, Prof. Karim Douglas Crow, dalam seminar kali ini menyebutkan bahwa paham ekstrimisme itu muncul dari pemahaman keberagamaan yang dangkal dan sempit.
Hal senada diungkapkan oleh Haidar Bagir. Menurutnya di zaman modern ini, ketika teknologi informasi berkembang pesat, masyarakat yang pemahaman keberagamaannya dangkal lalu mereka kerap mendapat benturan informasi yang menghantam keyakinannya, biasanya akan cenderung terpengaruh pandangan takfirisme.
“Kalau orang ilmunya luas, ia justru akan memperkuat keyakinannya dengan belajar sebanyak-banyaknya. Tapi kalau orang yang digedor-gedor keyakinannya ilmunya rendah, tak mustahil ia akan memilih sesuatu yang mudah, yang sempit, yang mudah dipegang. Di situlah ia terpengaruh paham takfiri,” papar Haidar Bagir.
Haidar juga mengingatkan agar bangsa Indonesia jangan sampai meremehkan fenomena takfirisme ini. Tak hanya bisa menimbulkan kekacauan sosial, jika sudah berafiliasi dengan kekuatan politik, bisa terjadi perang saudara seperti yang terjadi di Suriah.
“Coba lihat saja sekarang, gak usah jauh-jauh. Ketika ada Jokowi dan Prabowo. Di Bandung itu jelas mereka bilang kalau Prabowo mau gilas Syiah, mereka siap dukung Prabowo,” tekan Haidar Bagir.
Bagaimana Menghadapi Takfirisme?
Dalam menghadapi fenomena takfirisme ini, salah seorang pembicara lain, Dr. Husein Heriyanto menyebutkan, ada dua langkah yang mesti ditempuh; langkah jangka pendek, dan langkah jangka panjang. Jangka pendek adalah, pemerintah mesti menindak tegas pelaku kekerasan dari kelompok takfiri sehingga ada efek jera, dan dalam jangka panjang membentuk cara berpikir masyarakat menjadi lebih luas, lebih bijak, dan lebih toleran.
Sementara menurut A. Rifai Hasan, Ph. D, orang Islam mesti menyepakati definisi minimal seseorang bisa disebut sebagai Muslim. Yaitu menghukumi seseorang dari penampakan lahiriahnya. Di antaranya, selama ia mengucapkan syahadat dan shalat menghadap kiblat (Kakbah), maka dia adalah Muslim.
Hal ini menurutnya sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam memperlakukan Abdullah bin Ubay yang beliau ketahui kemunafikannya, tetapi tetap dihukumi sebagai Muslim karena Nabi menghukuminya dari apa yang nampak secara lahiriahnya saja. Karena Islam mengakui, bahwa persoalan batiniah merupakan urusan pribadi yang bersangkutan sendiri dengan Tuhannya. (Muhammad/Yudhi)