Kisah
Proses Pengangkatan Syaikh Murtadha Anshari sebagai Marja
Salah satu keharusan dalam Mazhab Ahlulbait, jika salah sorang pemimpin tertinggi yang mengurusi masalah agama (al-marja’ al-‘ala ad-dini) meninggal dunia, maka harus ditentukan kembali seorang pemimpin baru yang paling pandai untuk mengurusi berbagai kepentingan kaum muslimin dan menerapkan seluruh peraturan dan hukum Islam.
Ketika Ayatullah Hajj Syaikh Muhammad Hasan Jawahari wafat, orang-orang datang kepada Syaikh Anshari ridwanallahu anhu. Mereka meminta kepadanya sebuah risalah yang berisikan cara pengamalan (hukum) agama untuk mereka ikuti. Namun Syaikh Anshari berkata kepada mereka, “Selagi masih ada Allamah Akbar Sayyid Mazandarani yang sangat pandai dan bijak, maka kalian hendaknya merujuk kepada beliau (yang tinggal) di kota Babal, di dekat kota Mazandaran. Adapun aku, tidak memiliki risalah amaliyah tersebut.”
Baca juga Perjumpaan Syaikh Murtadha Anshari dengan Imam Mahdi
Lalu Syaikh Anshari menulis sebuah surat kepada Sayyid Mazandarani meminta agar beliau segera datang datang ke Najaf untuk menerima jabatan baru sebagai pimpinan hauzah ilmiyah dan marja agama. Setelah surat itu diterima, Sayyid Mazandarani menjawab surat itu, “Benar, ketika aku berada di Najaf dan berdiskusi denganmu dalam berbagai masalah agama dan mazhab, dalam bidang fikih aku lebih kuat darimu. Akan tetapi, karena tempat tinggalku yang sangat jauh dari hauzah ilmiyah dan kota Najaf, dan aku tidak memiliki majelis-majelis untuk pengkajian dan penelitian ilmiah, maka aku menganggapmu lebih pandai dan lebih utama daripada aku untuk menjadi marja. Oleh karena itu, aku menerimamu menjadi marja agama tertinggi dalam Mazhab Ahlulbait.”
Baca juga Perjumpaan Syaikh Murtadha Anshari dengan Imam Mahdi
Begitu membaca surat itu, Syaikh Anshari berkata dalam hati, “Karena aku melihat diriku tidak layak menjadi pimpinan agama dan menjadi seorang marja, aku akan meminta pertimbangan dulu kepada Shahib Zaman Imam Mahdi as, agar beliau dapat memberikan izin kepadaku untuk berijtihad dan menempati kedudukan yang tinggi ini.”
Di saat Syaikh Anshari mengajar, tiba-tiba masuklah seorang pria yang tampak sangat gagah dan mulia ke tempat itu. Syaikh Anshari menyambutnya dengan ramah dan penuh penghormatan. Orang itu langsung menghadap ke arahnya dan bertanya, “Bagaimana pendapatmu, jika ada seorang wanita yang muka (wajah) suaminya telah diubah?”
Syaikh Anshari berkata, “Karena masalah tersebut tidak ada dalam buku maupun karya ilmiah, aku tidak dapat menjawabnya.”
Sosok misterius itu bertanya kembali, “Tolong berikan aku ketentuan hukumnya. Apa yang dapat dilakukan oleh seorang istri jika suaminya mengubah bentuk dan paras wajahnya?”
Syiakh Anshari menjawab, “Menurut pendapatku, jika suaminya mengubah bentuk rupa wajahnya seperti binatang, maka secara langsung istrinya memperoleh iddah cerai, sehingga dapat menikah lagi dengan pria lain. Adapun bila diubah menjadi bentuk lainnya, maka ia memperoleh iddah seperti iddah seorang istri yang ditinggal wafat suaminya.”
Begitu Syaikh Anshari selesai menjawab pertanyaan tersebut, Sayyid yang mulia itu berkata, “Engkau adalah seorang mujtahid,” sampai tiga kali. Setelah itu, ia berdiri dan keluar.
Syaikh Anshari tahu bahwa orang itu adalah Shahib Zaman Imam Mahdi as. Beliau telah memberikan izin kepadanya untuk berijtihad dan memimpin hauzah ilmiyah serta menjadi marja tertinggi dalam Mazhab Ahlulbait.
Kepada murid-muridnya, Syaikh Anshari menyuruh untuk segera menyusul sosok mulia tersebut. Seketika itu pula murid-muridnya keluar, mengejar, serta mencarinya ke sana-kemari, namun tidak mendapatkannya. Setelah peristiwa itu, Syaikh Anshari siap untuk memegang tampuk kepemimpinan tertinggi Mazhab Ahlulbait dan memberikan risalah amaliyah kepada semua orang untuk diikuti.
Hasan Abathahi, Bertemu Imam Mahdi