Mutiara Hikmah
Jaminan Rezeki Allah Bagi yang Mencari
Ada satu ketakutan yang sering menghantui manusia dan mengeruhkan ketenangan hidupnya; “takut miskin”. Namun, akidah mampu mencegah merasuknya rasa takut ini dalam hati mukmin dengan menegaskan bahwa rezeki berada di tangan Allah Swt yang telah menjamin rezeki para hamba-Nya sesuai kadar yang telah ditentukan. Atas dasar ini, tak ada alasan bagi mereka untuk mengkhawatirkan rezeki tersebut.
Sesiapa yang membaca al-Quran, akan menemukan beberapa ayat yang menganjurkan kita untuk memusnahkan faktor-faktor yang dapat mengundang rasa takut miskin–perkara yang telah memaksa kaum Jahiliyah untuk membunuh anak-anak mereka hidup-hidup.
Allah Swt berfirman: Sesungguhnya Dialah Maha pemberi rizki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh. [QS. adz-Dzariyat: 58]
Dalam ayat lain, Dia berfirman: Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. [QS. al-Isra: 31]
Rasulullah saw dan keluarga suci beliau as juga menegaskan hal itu.
Rasulullah saww bersabda, “Pintu-pintu surga terbuka bagi orang-orang fakir dan miskin, hujan rahmat akan turun atas orang-orang yang penuh kasih sayang, dan Allah rela atas orang-orang yang dermawan.” [Raudhatul Wa’idhin, jil. 2, hal. 454]
Imam Ali as berkata, “… Keluarga-Nya adalah para makhluk-Nya, Dia yang menjamin rezeki mereka dan menentukan makanan mereka sehari-hari.” [Nahjul Balaghah, khutbah ke-91]
Di sisi lain, mereka juga meluruskan dan membenarkan pemahaman manusia tentang rezeki. Benar, Allah Swt menjamin rezeki para hamba-Nya. Namun, itu bukan berarti Allah Swt mendorong mereka bermalas-malasan, duduk berpangku tangan, dan enggan bekerja. Namun, Dia akan memberi rezeki pada manusia dengan syarat usaha dan bekerja. Amirul Mukminin as berkata, “Carilah rezeki, karena rezeki itu akan dijamin bagi orang yang mencarinya.” [Syaikh Mufid, al-Irsyad, hal. 160]
Beliau kerap membajak tanah dan bercocok tanam, serta membebaskan seribu budak dengan uang tebusan yang beliau hasilkan dari jerih payah sendiri. Beliau juga sering menyirami kebun kurma milik masyarakat Yahudi hingga tangan beliau lelah, lalu bersedekah dengan upah yang dihasilkan dari bekerja itu. Sebagai gantinya, beliau mengikat perutnya dengan batu untuk menahan lapar. [Syarh Nahjul Balghah]
Dengan kerja keras ini, beliau tak punya keinginan untuk mengumpulkan harta. Imam Ali as tidak tertipu oleh gemilaunya harta. Namun, beliau mencari rezeki yang halal dari pekerjaan halal dan menginfakan pada tempatnya.
Sayyid Mahdi Shadr menulis, “Ketika orang lain telah terpedaya oleh harta, gemar mengumpulkan dan menyimpannya, maka selayaknya bagi seorang mukmin yang sadar dan berakal untuk tidak tertipu oleh gemerlapnya harta dan tidak terperdaya oleh keelokannya. Hendaknya ia mengambil pelajaran dari keterhalangan orang-orang yang tertipu oleh harta benda dan rakus terhadapnya untuk memperoleh pahala akhirat, dan keterlaluan mereka mengumpulkan harta lebih di dunia ini. Mereka tidak lebih dari sekadar penyimpan harta yang jujur (untuk orang lain). Mereka telah membanting tulang dan bekerja keras untuk menyimpan harta, tapi akhirnya mereka akan meninggalkannya begitu saja sebagai makanan yang siap dilahap para ahli waris mereka. Akhirnya mereka (akan pergi dari dunia ini) dengan menanggung dosa, sedangkan putra-putra mereka akan berfoya-foya dengan harta itu.” [Akhlaq Ahlil Bayt, hal. 143]
Ringkasnya, akidah akan mencabut rasa takut miskin dari setiap jiwa mukmin dan mendorongnya berusaha terus dengan penuh kemantapan untuk menjamin tuntutan-tuntutan hidupnya.
Markaz ar-Risalah, Peran Akidah