Sahabat
Kisah Mus’ab bin Umair, Anak Saudagar Quraisy Masuk Islam
Suatu hari Mus’ab mendengar peristiwa yang baru terjadi di Mekah. Saat itu, Nabi Muhammad saw mulai mengajak orang-orang untuk masuk Islam. Mus’ab memutuskan untuk menemui Nabi Muhammad saw dan mendengarkan khutbah beliau. Sehingga, ia pun pergi ke rumah Arqam. Tadinya, ia hanya bermaksud meluangkan sedikit saja waktunya bersama Nabi Muhammad saw karena telah berjanji pada teman-temannya untuk pergi mencari hiburan.
Namun, ketika duduk di hadapan Nabi Muhammad saw, Mus’ab mendapatkan sesuatu yang baru. Ia menyadari soal ampunan, cinta sejati, dan akhlak yang baik. Maka, ia pun mendengarkan kata-kata Nabi saw. Tiba-tiba ia berkata, “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah.”
Ketika pulang ke rumahnya, Mus’ab terlihat berbeda dari biasanya. Saat makan malam bersama keluarga pun, ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya makan satu jenis makanan. Ayahnya memandanginya. Ibunya pun heran dengan kebiasaan barunya itu. Ibunya menanyakan hal itu. Ia hanya menjawab, “Tak ada apa-apa.”
Saat tiba waktu tidur, Mus’ab berbaring di ranjangnya sambil memandangi langit yang berbintang. Ia pun merasa sangat kagum atas kebesaran Allah, pencipta langit dan bumi, penguasa jagat raya. Ketika semua sudah tertidur, Mus’ab masih terjaga. Ia bangun dan berwudu dengan hati-hati agar tidak seorang pun melihatnya. Ia memasuki kamarnya dan mulai berdoa kepada Allah, Yang Mahamulia.
Pagi berikutnya, ibu Mus’ab merasa heran dengan perilaku aneh anaknya. Ia tak berhenti di depan cermin untuk menyisir rambutnya. Ia tidak memakai parfum di tubuhnya dan hanya berpakaian seperti orang biasa. Selain itu, ia memperlakukan orang tuanya dengan sopan.
Suatu hari, ibunya mendengar kabar tentang seringnya Mus’ab pergi ke rumah Arqam. Ibunya kontan gusar. Ibu Mus’ab menunggu kedatangannya dengan tidak sabar.
Ketika Mus’ab kembali sore harinya dan langsung menyapa ibunya, namun ibunya malah menampar pipinya dan berkata dengan keras, “Mengapa kau tinggalkan agama leluhurmu dan mengikuti agama Muhammad?”
Mus’ab menjawab, “Ibunda, karena itu merupakan agama terbaik.”
Ibunya kehilangan akal sehatnya karena semua orang telah mengabaikannya, termasuk suaminya. Ia tidak dapat mengendalikan diri lagi. Maka, ia pun menampar kembali pipi anaknya. Mus’ab lalu duduk dengan sedih. Ibunya juga ikut duduk. Ia mulai berpikir bagaimana caranya agar anaknya itu kembali ke agama leluhurnya.
Dengan lembut, ibunya berkata, “Tidakkah kau lihat umat Islam menderita karena penyiksaan? Islam adalah agama para budak. Agama itu cocok untuk Bilal, Suhaib, dan Ammar. Sedangkan engkau bagian dari suku Quraisy yang terhormat.”
Mus’ab memandang ke arah ibunya dan berkata, “Tidak Bu! Islam adalah agama semua orang. Tidak ada perbedaan antara Quraisy dengan selain Quraisy, dan antara yang hitam dan yang putih. Yang membedakan di antara mereka hanyalah ketakwaan pada Allah. Ibu, aku mohon ikutilah agama Allah dan tinggalkan berhala karena mereka tidak berguna!”
Ibunya tetap diam. Ia lalu memikirkan cara lain agar anaknya meninggalkan agama Muhammad saw. Matahari bersinar keesokan paginya. Cahayanya memenuhi rumah-rumah di kota Mekah dan perbukitannya. Rumah itu tampak sepi. Mus’ab bertanya dalam hati, “Ke mana ibuku pergi?”
Mus’ab lalu melangkah keluar. Saat mencoba membuka pintu, ternyata pintu itu terkunci. Mus’ab pun menunggu kedatangan ibunya. Satu jam berlalu. Pintu itu kemudian terbuka. Ibunya bersama seorang lelaki muncul dari belakang pintu. Lelaki itu membawa pedang di tangan kanan dan rantai di tangan kiri.
Ibunya berkata padanya, “Apakah engkau hendak pergi ke rumah Arqam?”
Mus’ab terdiam. Ibunya pun melanjutkan, “Ruangan itu akan menjadi penjara bagimu hingga engkau tinggalkan agama Muhammad.”
Dengan tegas Mus’ab menjawab, “Lebih baik aku mati demi agama Muhammad!”
Orang yang bersama ibunya itu lalu merantai Mus’ab, dan ibunya mendorongnya ke dalam kamar yang menjadi penjara baginya.
Hari demi hari berlalu. Mus’ab menderita kelaparan dan kesepian dalam penjara. Mus’ab tak henti-hentinya menangis. Mendengar apa yang dialami Mus’ab, Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabat Muslim lainnya langsung prihatin. Mereka kagum pada Mus’ab karena memilih dipenjara daripada mengingkari agama Allah.
Selama dikurung, Mus’ab selalu beribadah kepada Allah. Ia ikhlas dengan takdirnya. Namun, ia merasa kebebasan sebagai hal terindah dalam hidup, dan keimanannya pada Allah merupakan jalan menuju kebebasan. Mus’ab pun merasakan nasib dan penderitaan budak-budak di Mekah. Hari dan minggu pun berlalu. Mus’ab masih tetap dikurung. Allah Swt pun berkehendak menyelamatkannya dari penderitaan itu.
Seorang Muslim dengan sembunyi-sembunyi mendatangi penjara Mus’ab. Orang itu memberitahu Mus’ab tentang akan hijrahnya sebagian umat Islam ke Habasyah. Mus’ab pun gembira dan dipenuhi harapan. Orang itu membebaskannya dari penjara. Ia senang dapat ikut bersama kaum Muslim. Mereka melewati gurun pasir menuju ke Laut Merah.
Setelah kembali ke Mekah, Nabi Muhammad saw mengirim Mus’ab ke Madinah untuk mengajarkan al-Quran pada masyarakat. Jadi, ia adalah Muhajirin pertama. Ia termasuk salah satu sahabat terbaik. Rasulullah saw menjulukinya Mus’ab al-Khair. Ia ikut serta dalam Perang Badar dan gugur sebagai syahid dalam Perang Uhud di mana dirinya bertugas sebagai pembawa bendera Nabi saw.
Kamal as-Sayyid, Kisah 14 Sahabat Nabi